Oleh: NI Putu Merta Bhuana Ningsih – SMA PGRI 1 Amlapura
Kembang api mulai bertebaran di langit hitam. Hari sudah menunjukkan pukul tengah malam. Rumahku terlalu ramai untuk diriku menikmati tidur di kasur. Tanpa membuang waktu, aku pejamkan mataku yang lelah. Lalu bersandar pada dinding, dan mulai berharap. Tahun baru, pacar baru, teman baru, kerjaan baru, kenangan, dan pengalaman baru.
Setidaknya itu yang aku pikirkan 3 bulan lalu. Aku yang sekarang sangat yakin. Semua permohonan itu terkabulkan. Tapi tidak dengan topik “virus baru” yang muncul di media akhir-akhir ini. Semua tempat sepi, bahkan beberapa negara di-lockdown akibat virus ini. Corona virus itu panggilannya, nama lainnya Covid-19.
Sekolah ditutup, tak ada lagi kebahagian saat jam kosong. Yang tersisa hanya tugas sekolah yang menumpuk disetiap harinya lewat online. Semua siswa dan mahasiswa diliburkan agar tidak terjadi interaksi yang memungkinkan penyebaran virus menjadi cepat. Selama 14 hari anak-anak diharuskan belajar dirumah. Akibatnya semua anak berkeluh kesah kepada wali masing² yang terlalu banyak memberikan tugas setiap jamnya.
Mengeluh setiap pagi menjadi kebiasaan para pelajar, termasuk aku. Hari ini pun sama, banyak sekali tugas menumpuk. Dibarengi niat dan camilan, aku menyelesaikan tugas tepat waktu. Namun ada yang janggal, tak biasanya adikku pagi ini tidak ribut dan tidak menggangguku. Terasa hening sekali, padahal rumah pinggir jalan selalu ribut akan bunyi kendaraan.
Tugasku kini tuntas, segera aku mengambil ponselku. Aku langsung mengirimkan tugasku secara online kepada guru mapel. Selepasnya, mataku beralih untuk mengabari pacarku. Tidak lupa, aku menyetel lagu K-Pop kesukaanku.
“Eh suaranya hilang? Apa volumenya belum aku atur?” tanyaku dalam hati. Aku meraba tombol volume, yang ternyata volume sudah mencapai batas maksimum. Aku putuskan untuk menonton youtube agar tidak bosan. Bahkan di youtube pun sama halnya, videonya bergerak tanpa suara. Aku menyerah, dan memilih untuk meninggalkan sofa. Otakku berputar saat baru ku sadari bahkan tak ada suara sedikitpun dari langkahku. Aku berteriak memanggil Ibuku. Tapi mustahil ini terjadi, bahkan tak ada suara yang keluar dari mulutmu.
Panik, aku mulai memukul telingaku sendiri. Aku pergi keluar gerbang untuk memeriksa apa yang terjadi. Kendaraan berhenti tak beraturan, pengemudinya seakan berteriak kepada pengemudi lain. Tapi tak ada suara sedikit pun. Aku berusaha menyimpulkan segala kejadian barusan. “Apakah di dunia ini sudah tak ada suara?” ucapku dalam hati. Aku masih belum percaya akan ekspektasiku, lalu aku bergegas menyalakan semua barang yang menghasilkan suara. Tak ada satupun yang berbunyi, tapi aku masih merasakan getaran dari barang tadi.
Aku berlari hendak mempertanyakan ini kepada orang tuaku. Aku berlari kecil, tapi beberapa detik aku kehilangan keseimbanganku. Telinga bagian dalam pasti terkena pengaruh tentang kejadian barusan. Aku memanggil orang tuaku dengan bahasa isyarat. Mereka membalasnya dengan via chatagar lebih jelas. “Kami juga belum tau apa yang sebenarnya terjadi, kemungkinan terbesar karena dunia ini sudah jarang menggunakan suara akibat virus corona, yang membuat seluruh desa bahkan kota menjadi sepi.” begitulah isi chatnya. Aku meninggalkan orang tuaku dan berbaring di kasur, ingin tidur siang dan berharap ini tak nyata. Terbangun dari tidur, tetap saja kenyataan tidak berubah.
Seminggu lewat dunia tanpa suara, semua orang hanya mengandalkan internet sebagai media komunikasi. Sebulan lewat, orang sering kehilangan keseimbangan berjalannya. Satu semester lewat, klakson kendaraan jenis gelombang telah diciptakan sehingga pengemudi dapat menerima getaran dari pengemudi lain.
Hampir setahun terlewati, masyarakat sampai lupa cara menggunakan lidah mereka sendiri dan para dokter mencari alat yang membantu menjaga keseimbangan berjalan manusia. Terlalu banyak insiden yang terjadi akibat hilangnya suara dari muka bumi. Aku menggelengkan kepalaku pelan, karena aku merasa halusinasiku sudah mencapai puncaknya. Terlalu mengerikan untuk dilanjutkan. “Astaga tugas ekonomiku belum dikerjakan, aku mikir apa sih!” Gumamku . Masihlah beruntung jika hal kecil seperti suara, udara, air, api, dan hal kecil lainnya masih ada di dunia. [T]
NI Putu Merta Bhuana Ningsih siswa kelas X Mipa 2 SMA PGRI 1 Amlapura. WA.082146422305. Pernah meraih juara harapan 1 Lomba Cerpen Festival Bali Jani 2019.