Sebagai seorang penikmat sastra, pengagum sosok sastrawan tak ada salahnya kalau saya mempunyai khayalan liar. Entah kapan waktunya presiden saya adalah Goenawan Mohamad, menteri pendidikan saya adalah Sapardi Djoko Damono dan bupati saya adalah Made Adnyana Ole. Saya tak sanggup membayangkan betapa indahnya dunia kalau khayalan saya itu menjadi kenyataan. Untuk yang pertama dan ketiga mungkin saya perlu tidur nyenyak dulu biar bisa bermimpi seperti itu. Tapi untuk yang kedua itu, saya kira kita tak perlu mimpi. Cukup kita menengok sebentar ke perjalanan negeri kita tercinta ini.
Hari-hari ini dunia disibukkan oleh makhluk tak kasat mata, turunan kesekian dari virus corona yang mewabah dari negeri tirai bambu dan menyebar cepat ke penjuru dunia, nyaris tanpa terkecuali. Saya tak akan membahas tentang pandemi virus ini, karena sudah teramat banyak informasi yang berkelindan di media, baik media konvensional maupun jagat maya. Saat ini yang diperlukan cuma kecerdikan kita dalam memilah informasi tersebut, dan menjaga tangan untuk tak gatal menyebarkan informasi yang tak terbukti kebenarannnya.
Karena siapa tahu karena kegenitan jari jari kita, undang undang ITE bisa menjerat dan mengantar kita ke gerbang hotel prodeo.
Mari menengok sebentar ke dunia pendidikan kita. Apa yang bisa anda ingat dari ide ide besar sang menteri termuda dalam sejarah Indonesia. Apa kabar kampus merdeka ? Merdeka belajar yang terdengar menggiurkan itu. Saya yakin tak terlalu banyak yang mengingatnya.
Kita terlalu sibuk membantu anak anak kita mengerjakan tugas tugas sekolah yang didiktekan gurunya lewat aplikasi Whatsapp nyaris setiap hari. Entah sampai kapan kebingungan orang tua (khususnya ibu) dalam menggantikan peran guru belajar di rumah sendiri bagi putra putrinya. Waktu luang akibat pandemi corona yang melanda dunia membuat saya sempat membaca tulisan beberapa pakar pendidikan yang meragukan program pendidikan yang ditawarkan oleh pak menteri Nadiem.
Dan dari argumentasi dan penalaran yang ditawarkan, saya sendiri sampai pada kesimpulan untuk tak terlalu berharap banyak pada sang menteri muda untuk bisa membawa pendidikan kita mendekati Finlandia misalnya. Saya terpaksa menurunkan sedikit standar saya padanya.
Kembali sedikit ke awal tulisan. Seorang sastrawan di puncak pimpinan nasional bukanlah hal yang baru di dunia. Nun di awal 90 an saat kejatuhan komunis Uni Soviet mulai membayang. Satu persatu negeri di eropa timur bebalik haluan memilih jalan demokrasi. Saat itulah terpilih seorang penyair cum pengritik pemerintah menjadi presiden Cekoslowakia.
Vaclav Havel, sang penyair terpilih secara demokratis untuk memimpin negeri dari puing puing kebangkrutan komunisme. Sebagai individu yang kritis, Havel muda juga sempat merasakan hangatnya penjara di bawah rezim komunis yang menguasai Cekoslowakia waktu itu.
Tak ada yang bisa kita ingat dari kepemimpinan sang penyair, yang jelas berapa saat setelah dia lengser, Cekoslowakia terpecah menjadi dua negara yang berdiri sendiri. Ceko yang beribukota Praha, dan Slowakia yang berpusat di Bratislava. Kelembutan hati seorang penyair , yang mungkin berbeda tipis dengan kelemahan sikap. Dan pilihannya terhadap demokrasi mungkin yang menyebabkan negerinya terbagi dua.
Pada masa reformasi, kita pernah berharap seorang sastrawan kawakan tampil ke panggung jasional. Goenawan Mohamad, yang dimusuhi Soeharto karena pemberitaan majalahnya (Tempo) yang kritis. Bahkan sampai dua kali majalahnya dibreidel oleh rezim orde baru karena keberaniannnya itu.
Begitu rezim jatuh, GM bersama beberapa tokoh salah satunya Amien raies mendirikan partai yang menandai mulainya era baru, orde Reformasi. Tapi mungkin dunia politik memang bukan dunianya, disamping karena salah memilih kawan beliau mundur dari panggung politik dan kembali ke dunia yang membesarkannya. Dunia sstra dan pemikiran yang sampai saat itu tetap beliau jalani dengan tekun.
Tak terbayangkan seandainya saat itu rakyat Indonesia memberinya kesempatan menjadi presiden seperti halnya si Vaclav di Cekoslawakia. Apakah Indonesia masih seperti ini, lebih maju atau justru terpecah menjadi banyak negara. Hanya Tuhan yang tahu.
Tiba saatnya untuk tak berandai andai, tapi menengok sejenak ke belakang perjalanan negeri tercinta. Pada masa orde baru pernah terpilih seorang sastrawan, Nugroho Notosusanto menjadi menteri pendidikan (dan kebudayaan) saat itu. Nugroho termasuk dalam sastrawan angkatan 66 sesuai buku pegangan bahasa dan sastra yang saya baca waktu SMP. Dua karyanya yang tercantum di sana adalah roman berjudul Hujan Kepagian danRasa Sayange.
Dan sayangnya sepanjang usia saya tak pernah sekalipun sempat membaca buku itu langsung, ataupun tulisan yang membahas tentang karya Nugroho itu. Satu hal yang bisa kita ingat dari beliau adalah penulisan ulang sejarah nasional Indonesia. Dan yang paling menonjol di buku itu dalah penulisan sejarah tentang peristiwa 65 yang menjadi tragedi terburuk sepanjang sejarah Indonesia modern. Mungkin karena jasa beliau inilah pak Harto memberinya kesempatan untuk menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan saat itu.
Pada kenyataannya, buku sejarah yang beliau tulis, termasuk yang membahas peristiwa 65 jarang sekali dikutip ataupun dijadikan acuan oleh penulis sejarah yang lebih muda, baik dari luar negeri ataupun sejarawan nasional, semisal Hermawan Sulistyo. Mungkin karena kesahihan fakta yang beliu pakai diragukan oleh banyak pihak. Dalam kasus ini tepat kiranya kata History diplesetkan menjadi His story. Sejarah yang dibuat berdasarkan kebenaran ataupun pesanan satu orang atau golongan.
Terlepas dari catatan yang kurang bagus terkait reputasi beliau sebagai sastrawan merangkap sejarawan. Beliau tetaplah menteri pendidikan terbaik yang pernah ada di Indonesia, dimata almarhum ayah saya. Setidaknya dibandingkan beberapa nama yang pernah menjabat semasa hidup bapak saya, entah itu sang profesor lintas ilmu Daoed Joesoep, Fuad Hassan maupun Wardiman. Tak cukup meninggalkan kenangan dan legacy di hati bapak saya. Saya teringat kata kata beliau saat menasehati kami dulu, “Made, Ketut ingatlah selalu, kalau tak ada pak Nugroho Notosusanto kalian tak akan bisa seperti ini. Bapak tak akan bisa menyekolahkan kalian tinggi tinggi. Barangkali bisa tamat SMP adalah pendidikan tertinggi kalian.”
Nugroho Notosusanto yang memperkenalkan ujian nasional ( Ebtanas ) dengan bukti hasilnya satu lembar NEM (Nilai Ebtanas Murni). Dengan berbekal NEM ini kalian bisa sekolah ke SMA manapun yang kalian inginkan, asalkan nilai kalian mencukupi. Nilai NEM siswa di puncak gunung seperti kami akan dinilai sama dengan milik siswa yang bersekolah di kota.
Bapak pasti tak melupakan betapa susahnya mendaftarkan kakak tertua saya ke sekolah di kota Tabanan, saat belum diberlakukannya NEM ini.Beberapa kali saya ingat beliau bolak balik dari Buleleng ke Tabanan menemui guru, kepala sekolah dan pihak yang bisa membantu memasukkan nama kakak ke seklah itu. Pengorbanan waktu, tenaga dan biaya yang beliau rasakan saat itu pastilah menjadi beban yang berat untuk niatnya mmemberikan pendidikan yang baik untuk kami anak anaknnya.
Begitu diterapkannya aturan penerimaan siswa baru hanya berdasarkan NEM, segalanya terlihat lebih sedrhana. Mulai kakak nomer dua sampai si bungsu keluarga kami bisa sekolah di sekolah terbaik di kota Singaraja dan Tabanan. Kebetulan nilai ujian kami (NEM) termasuk yang terbaik di sekolah dan masih bisa bersaing untuk mencari sekolah favorit di kota.
Seandainya bapak saya masih hidup. Dan kepadanya ditanyakan pendapat tentang sistem pendidikan yang hendak terapkan oleh menteri Nadiem. Barangkali bisa saya bayangkan jawaban beliau akan seperti ini, ” Jangan repot repot mengubah sesuatu yang sudah terbukti baik dan berpihak pada rakyat kecil, tinggal lanjutkan program pak Nugroho, lengkapi kekurangannya, sesuaikan dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi “
Pada konteks ini kata kata sakti Bung Karno seperti mendapat pembenarannya kembali. JASMERAH, jangan sekali sekali melupakan sejarah. Bagaimanpun situasinya sejarah selalu aktual. [T]