Oleh: Made Yanti – SMA PGRI 1 Amlapura
April 2020 Indonesia mulai terpapar virus covid-19 atau lebih dikenal dengan nama virus corona. Virus ini lah yang membuat banyak orang resah dan gelisah sampai-sampai pemerintah membuat kebijakan 3B (belajar di rumah, bekerja di rumah, beribadah di rumah) selama 14 hari ke depan, bahkan diperpanjang hingga 21 April 2020. Ini merupakan cara pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus ini. Lebih-lebih ada kecenderungan jumlah positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Mungkin untuk sebagian orang ini merupakan waktu yang tepat untuk beristirahat setelah sekian lama bekerja dan waktu yang pas untuk membuat ikatan keluarga mereka jauh lebih erat.
Tapi tidak untuk diriku, hanya ada rasa resah, takut, gelisah, menderita, dan bingung akan keadaan ini.
Di satu sisi aku harus mengerjakan tugas dari guru-guru sesuai mapel pembelajaran di sekolah yang cukup banyak, terkadang aku kesal dengan guru-guru yang memberikan tugas di saat pekerjaan ku belum selesai dan aku harus bekerja bekejar-kejaran dengan waktu karena harus mengikuti kuis online tepat waktu. Mungkin guru berpikir jika siswa itu libur maka tidak ada pekerjaan lain selain makan dan tidur yang dilakukan di rumahnya.
Di satu sisi aku harus membantu orang tuaku bekerja, lebih tepatnya paman si pemilik rumah sebab aku tinggal bersamanya. Ya.. kehidupan menumpang di rumah orang lain tidaklah mudah, tidak seperti di rumah sendiri. Di rumah sendiri, entahrumah kita bersih, kotor, bahkan seperti kapal pecahpun tak ada yang menghiraukanku. Kehidupan menumpang berbeda 180 derajat dari kehidupan di rumah sendiri.
Aku lahir dan remaja di Lampung. Bapak dan ibuku adalah penggarap kebun sawit di sana. Menginjak SMA aku pulang ke kampung halaman, di Padangkerta, Karangasem dan di tinggal di kerabat bapakku. Aku memanggilnya we (paman). Aku tidak begitu tahu kekerabatan kami, apakah pamanku ini saudara bapakku (misan misalnya) atau hanya sebatas kenalan (suatu saat pasti aku tanyakan). Ini adalah tahun kedua aku di Karangasem, mengenyam pendidikan di SMA PGRI 1 Amlapura. Membantu pekerjaan rumah bukanlah hal yang sulit bagiku sebab saat di Lampung, pekerjaan orang tuaku di dapur atau di kebun sering aku lakukan. Namun, menjadi petani di sawah, menuruni lumpur, ngulah kedi, dan memetiki bungapacah tidak pernah aku bayangkan. Akhirnya, bisa juga aku lakoni. Biasanya siang hari saat pulang sekolah aku akan duduk di sawah: ngulah kedis hingga sore. Lalu, sore harinya nektek dagdag untuk pakan babi. Jadi, waktu istirahatku adalah saat berada di sekolah dan tidur di malam hari.
Di saat darurat Covid-19, aku lebih banyak di rumah. Sekolah ditutup. Pembelajaran dilaksanakan secara daring. Semula aku menduga bahwa semua akan menyenangkan: mengerjakan tugas, membantu kerabat bapakku yang kupanggil paman, kemudian istirahat. Namun, tidak demikian adanya.
Ada banyak pikiran yang bergelindan. “Jika tidak melakukan apa-apa dan hanya mengerjakan tugas sekolah mungkin pamanku berpikir aku mengerjakan tugas untuk menghindari pekerjaan di rumahnya?” Setiap kali aku masuk ke kamar, pamanku selalu masuk dan menyuruhku ini dan itu. Ada banyak pikiran lain yang berkeliaran dan itu membuatku rindu dengan sekolah.
Aku yang harus membagi waktu untuk mengerjakan tugas dan membatu pamanku, memang sulit. Terkadang aku harus memilih sesuatu antara mengikuti kuis atau memetik bunga sebagai sambilan ku sepulang sekolah yang kini aku kerjakan di pagi hari setelah matari terbit dan cuaca mulai panas. Waktu sudah menunjukan siang hari, aku masih tetap di tengah sawah yang tersebar ratusan bunga, mungkin seperti padang bunga di taman tapi tidak beraturan tapi tidak seindah yang di bayangkan. Hingga jam 11 siang.
Panas, gelisah, haus, capek itu yang terasa kala itu. Jika belum jam dan belum merasa lelah sekali aku belum ingin pulang jika aku pulang mungkin ada pekerjaan lain yang menanti dirumah, itu pikirku. Tapi agaknya keinginan menghindari pekerjaan yang lebih berat aku malah merasa kepalaku mulai pusing akibat panasnya terik matahari yang begitu menyengat, baru lah aku pulang kerumah.
Di perjalanan pulang aku sering membayangkan lembutnya kasur dan bantal, dinginnya air di kulkas, lezatnya makanan, duhhhmenyenangkan rasanya bisa menikmati itu semua.
Tapi yang kudapatkan sesampainya di rumah adalah rumah kotor dan babi-babi yang harus aku siram. Pernah aku tidak menghiraukannya. Aku masuk kamar mengambil handphone untuk mengerjakan tugas secara online. Membiarkan rumah kotor dan bau kotoran babi yang menyengat. Yang kudapatkan adalah lirikan aneh. Ada suara senyap lewat bibir paman dan bibiku yang kemakmak-kemikmik. Pikiranku, itu pasti membicarakanku.
Seringkali tubuh ini tak kuat berdiri lagi setelah berjam-jam berdiri di tengah sawah, tapi babi-babi terus saja memanggil dengan bahasanya yang membuat telingaku serasa pecah saat mendengarkan suara mereka. Tak tega rasanya melihat babi-babi itu berteriak-teriak dan aku memutuskan memandikan mereka dulu sebelum mengerjakan tugas. Belum setengah babi yang aku mandikan bibiku datang menghampiriku, “Sudah selesai mandikan babinya?”. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi suaranya terdengar agak tinggi. Saat itu aku hanya bisa diam dan menggelengkan kepala.
Terlintas di pikiranku, aku yang dari dini hari bangun, bergegas ke sawah, memandikan babi dan rumah masih dalam keadaan kotor dan dia dengan mudahnya berkata seperti itu. Astaga apa yang sudah ia pikirkan tentangku.
Dua pekan di rumah, hanya begitu saja tidak ada yang istimewa. Bahkan, merasa jauh lebih bodoh dari biasanya. Aku berada dalam rutinitas yang penuh dengan tekanan. Setiap langkahku seolah ada yang mengintai. Tidak ada keceriaan sebab momen ngobrol bersama teman: curhat, bercanda dan sebagainya hilang semua.
Waktu itu Kasanga, ternyata pamanku belum pergi ke pura dan aku disuruh untuk mengantarkannya ke pura. Belum jauh dari rumah masih di sekitar gang rumah seketika pemilik rumah terjatuh dari motor tanpa aku sadari, banten yang dibawanya berserakan kemana-mana, kepalanya mengeluarkan darah dan aku tidak bisa melakukan apa-apa. Yang hanya bisa ku lakukan saat itu adalah terdiam, menatapi pamanku yang sudah berbaring lemas di atas jalan.
Untung saja ada yang melintas digang itu dan membantu ku membawa pamanku ke rumah sakit terdekat. Di sepanjang jalan, wajah pamanku terus bergelindan. Terus pula terngiang kata-katanya yang menyakitkan. Sebagian isi kepalaku bersorak. Bersorak bahagia sebab ini adalah imbalan atas rasa sakit yang selama ini kurasakan. Namun, sebagian lagi isi otakku berkata sinis, menentangku, menghinaku seolah aku takpunya belas kasihan. Sepanjang perjalanan aku terus menangis. Yang ada dipikiranku saat itu adalah “aku tidak sengaja, aku tidak sengaja dan aku tidak berniat melakukan itu semua!”
Setelah diperiksa oleh dokter ternyata penyakit hepilepsi yang dideritanya 5 tahun belakangan ini kumat lagi dan itu yang membuatanya pingsan ketika mengendarai motor dan membuatnya terjatuh. Jadi, itu bukan salahku. Walaupun demikian, masih pula ada hal yang mengganjal, tentang pikiranku terhadap pamanku, juga bibikku. Melihatnya terbaring, aku seperti melihat kembali kenangan saat pertama kali pulang ke kampung halaman, tinggal bersamanya, ditunjukkan tempat tidur dan dimasakkan.
Melihatnya terbaring, aku melihat kembali kenangan saat biaya SPP belum dikirimkan bapakku, ia bersedia meminjamkan. Melihatnya terbaring, aku seperti mendengar kembali omelannya saat aku pulang malam sehingga besoknya aku hanya diam di rumah. Omelan itu adalah pertanda sebab jika aku keluar bersama temanku, musibah mungkin terjadi seperti temanku. Melihatnya terbaring, aku seolah disadarkan bahwa ada banyak kebaikan yang sudah dilakukan pamanku untukku. Saat tertekan, aku seolah melupakan itu, hanya mengingat suara-suaranya yang meninggi dan tugas-tugas yang dibebankan.
Mungkin ini ujian bagi diriku agar aku lebih bisa memahami seseorang dan mengargai kehidupan. Dari kejadian itu aku sadar bahwa itu semua demi kebaikanku sendiri dan agar aku lebih mandiri, mungkin dulu aku terlalu disayang dan dimanja oleh kedua orang tuaku, apa saja yang aku minta pasti diberikan dan semua yang aku lakukan seolah benar di mata mereka, saat itu aku merasa aku lah anak paling beruntung di dunia, mungkin karna aku adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga. [T]
____
Biografi
Made Yanti adalah siswa kelas XI MIPA 1 SMA PGRI 1 Amlapura. Ia adalah pimpinan redaksi majalah Waskita, majalah SMA PGRI 1 Amlapura