Di sudut dekat gerbong
Yang tak terpakai
Perempuan ber-make up tebal
Dengan rokok di tangan
Menunggu tamunya datang
Terpisah dari ramai
Berteman nyamuk nakal
Dan segumpal harapan
Kapankah datang
Tuan berkantong tebal?
_____
Potongan lirik lagu Iwan Fals yang berjudul Doa Pengobral Dosa mungkin menjadi gambaran keseharian Sinta (bukan nama sebenarnya), 42 tahun, yang menjadi pekerja seks sekaligus sebagai penyuluh lapangan di Yayasan Kerti Praja, Denpasar.
“Di Bali kerja seks sudah tidak tabu,” katanya, 29 April 2019. Dengan kondisi itu kesadaran para pekerja seks untuk memeriksakan kesehatannya jadi lebih tinggi. “Kalau di Jawa, datang ngecek ke Puskesmas aja sudah dituduh HIV/AIDS,”
Perempuan asal Bandung ini diminta menjadi penyuluh lapangan oleh Yayasan Kerti Praja karena rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dan mengajak teman satu profesinya.
Menjadi penyuluh lapangan, kadang Sinta absen melakukan pekerjaan sebagai penjaja cinta sesaat. “Utamakan pelanggan saja, saat ini enggan mencari yang baru,” ujarnya. Ia juga lebih sering bertransaksi melalui internet atau online.
Sinta merinci setidaknya memiliki 20 orang pelanggan yang aktif diajaknya berhubungan melalui dunia maya. Umumnya, pelanggan perempuan ini adalah pebisnis yang datang ke Bali.
“Ada dari Jakarta, Jogja, Manado dan Makasar,” katanya.
Kadang Sinta menemukan rekan satu profesi yang masih enggan diajak untuk melakukan pengecekan HIV terutama yang ‘bermain’ di online. “Alasannya karena sudah punya dokter pribadi,” ujarnya. “Saya yakin itu gak ada,”
Dalam memberikan pelayanan kepada pelanggannya, Sinta mengutamakan kenyamanan dan kesehatan. Menurutnya hal itu yang membuat para pria ketagihan dengan servisnya. “Saya buat nyaman,” ujarnya.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah kesehatan pelanggan yang dilayani oleh Sinta. Hal pertama yang menjadi acuannya adalah kebersihan organ intim. “Jika rambut kelaminnya lebat, saya cek dulu,” katanya.
Ia pernah menemukan pelangganya yang terkena penyakit herves pada organ intim. Setelah mengetahui hal itu, Sinta memberitahu dan meminta melakukan pemeriksaan ke dokter.
“Katanya malu, akhirnya saya yang konsultasi ke apotek dan mencarikan obat,” ujarnya.
Setelah pelanggan Sinta tersebut sembuh karena pengobatan rutin, akhirnya Sinta mendapatkan bonus berupa uang. “Saya sempat diajak ‘main’ tapi tak tolak,” katanya sembari tertawa. Selain itu, Sinta pernah menemukan calon pelanggannya terkena kutil kelamin.
“Kebersihan organ intim itu penting untuk mencegah Infeksi Menular Seksual (IMS),” ujarnya.
Perempuan yang bercerai dan akhirnya memutuskan menjadi pekerja seks karena tuntutan ekonomi ini menyebutkan, sebagai penyuluh lapangan kadang ada rekan satu profesi yang sudah melakukan pengobatan HIV dan kondisinya mulai membaik tidak konsisten melakukan pengobatan.
“Kalau sudah makin parah jadi repot,” katanya.
Saat ini di Yayasan Kerti Praja ada 11 orang pekerja seks termasuk kordinatornya menjadi penyuluh lapangan.
Puspa Reni, 52 tahun mantan pekerja seks yang saat ini menjadi penyuluh lapangan di Yayasan Kerti Praja menyebutkan dirinya sempat down mengetahui terjangkit HIV. “Dua bulan setelah menjadi PS (pekerja seks), itu terjadi,” ujarnya.
Reni akhirnya diajak ke Yayasan Kerti Praja oleh koordinator petugas lapangan bernama Pak Dewa. Dari perkenalannya itu Reni mulai membuka diri dan rutin melakukan pengobatan.
“Saat ini berat saya 65 kilogram, turun 3 kilo karena begadang nonton televisi,” katanya.
Setelah mengetahui menjadi seorang ODHA saat aktif menjadi pekerja seks, Reni mewajibkan pelanggannya menggunkan kondom. “Jika tidak mau, saya juga tidak melayani,” ujarnya.
Sejak 2009 hingga kini Reni mengalami banyak perubahan terutama pada kepercayaan dirinya sebagai orang dengan HIV AIDS (ODHA) setelah mulai terbuka. “Saya bangga karena menjadi pembicara dibanyak tempat soal masalah saya,” ujarnya.
Pada masa kampanye pemilihan legislatif perempuan dengan rambut sebahu ini sempat diajak oleh calon anggota dewan untuk penyuluhan di banjar-banjar. “Saya sudah biasa tampil di publik,” kata Reni. [T]