ADA satu istilah yang lagi rame di China sana, shǔ rén alias “manusia tikus”. Bagi sidang pembaca yang belum tahu, ini bukan soal orang yang cosplay jadi makhluk pengerat yang doyan kabel dan tinggal di gorong-gorong kota. Ini tentang manusia, yang merupakan anak-anak muda gen Z, yang hidup seperti ritmenya tikus, siang tidur, malam main gim, rebahan, medsos-an, menghabiskan waktu di dalam kamar, jarang keluar rumah, dan rutin bangun hanya untuk mengulangi siklus itu lagi. Mereka tidak miskin secara kasat mata, tapi juga bukan manusia yang “hidup” sepenuhnya.
Kalau Anda pikir ini cuma tren iseng anak Tiongkok yang seolah-olah kebanyakan waktu, Anda keliru. Fenomena ini bukan sekadar lifestyle. Konon dari pengakuan para pegiatnya, ini adalah respons eksistensial terhadap dunia yang makin absurd dan kehilangan arah. Alasannya cukup mendasar. Mereka merasa lelah. Mereka kecewa. Mereka tidak percaya lagi pada narasi sukses dan kerja keras.
Jadi daripada jadi gila, mereka memilih jadi “tikus”. Dan seperti hal viral lainnya, ini bisa menular. Sekarang bayangkan bagaimana jika “virus tikus” ini menular ke Indonesia? Bagaimana nasib generasi emas 2045 yang katanya digadang-gadang bakal jadi pahlawan ekonomi digital? Bisa-bisa bukan “generasi emas”, tapi “generasi lemas”, karena udah diremas duluan sama realitas hidup yang bengkok-bengkok.
Pemerintah agak gagap kalau ditanya soal tambang Nikel di Raja Ampat dan Halmahera yang merusak alam, soal PHK di mana-mana, investasi di IKN yang gak jelas, atau laut yang dipagari. Tapi lalu kelihatan happy banget kalau bicara soal “bonus demografi”. Narasinya manis, jumlah penduduk usia produktif tinggi. Katanya ini berkah, ini peluang besar untuk jadi negara maju. Padahal bonus yang satu ini sebenarnya cuma dan baru potensi, bukan jaminan. Analoginya bagai punya benih unggul berkarung-karung, tapi ladangnya tandus dan petaninya malas nyiram. Ya, buat apa?
Media Sosial, Senjata Makan Tuan
Fenomena manusia tikus ini mestinya harus dilihat tidak sekadar soal magernya anak muda. Ini mirip “hikikomori” di Jepang, mirip juga dengan “N-po Generation” di Korea, yang sudah menyerah dari urusan rumah, pernikahan, dan impian hidup layak. Di Barat ada “quiet quitting”. Kerja secukupnya, nggak mau drama, karena capek jadi budak sistem yang busuk. Dan di Indonesia, versi lokalnya sudah kelihatan, meme “rebahan is life” menggantikan motivasi.
Filsafat hidup berubah jadi “kerja secukupnya, hidup semampunya.” Anak muda makin sinis terhadap masa depan, tapi tetap update Instagram. Semua ini bukan karena mereka malas, tapi karena mereka sadar bahwa hidup bukan cuma soal kerja keras. Mereka sudah mual dengan sistem yang terus menyuruh mereka lari, padahal ujungnya cuma tembok.
Yang agak mengkhawatirkan, penyebaran virus manusia tikus ini bukan lewat seminar atau doktrin dosen, tapi lewat meme. Konten 3 detik yang lebih tajam dari kuliah 3 SKS. Kira-kira begini doktrinnya, “Kerja keras cuma bikin bos kaya.” “Tidur dulu ah, biar nggak kecewa sama hidup.”“Lulus S1, nganggur. Lulus rebahan, damai.” Lucu, menghibur dan membuat tawa. Tapi kalau dikonsumsi tiap hari, ini bukan lagi hiburan. Ini akan jadi filsafat hidup. Meme ini kini sudah jadi doa, diulang-ulang sampai jadi kenyataan.
Fenomena “manusia tikus” yang kita bahas bukan semata-mata gejala kemalasan generasi muda. Ia adalah ekspresi eksistensial dari kebuntuan makna hidup dan di sinilah Albert Camus bisa masuk sebagai pisau analisis yang tajam. Mitos Sisifus dari Albert Camus adalah esai filsafat yang mengangkat tokoh Sisifus, seorang figur dalam mitologi Yunani yang dihukum oleh para dewa untuk terus-menerus mendorong batu besar ke atas bukit, hanya untuk melihat batu itu jatuh kembali. Begitu terus menerus hidup Sisifus ini.
Camus menggunakan kisah ini sebagai simbol absurditas hidup manusia. Kita semua terus bekerja, berjuang, mencari makna, namun pada akhirnya semuanya akan berulang dan berakhir sia-sia, seperti batu yang terus jatuh dari puncak bukit. Camus, dalam The Myth of Sisyphus, tidak berbicara soal kemalasan atau produktivitas, tapi soal absurditas. Menyoal adanya jarak antara pencarian manusia akan makna dan dunia yang bungkam terhadap pertanyaan itu. Dunia yang tak memberi jawaban, hanya rutinitas, sistem, dan penderitaan tanpa arah. Sangat relate dengan yang dirasakan anak-anak muda tikus itu bukan? Jadi bukan soal anak muda yang malas atau ada yang bilang kurang asupan asam sulfat saat masih dikandung ibunya.
Pengangguran Terdidik , Sang Sisyphus yang Menolak Mendorong Batu
Para lulusan kampus keren yang tidak terserap dunia kerja bukan gagal karena bodoh, melainkan karena sadar bahwa meritokrasi adalah ilusi, dan koneksi adalah jalan pintas. Mereka menuntut ilmu, belajar keras agar dapat ijazah yang asli, tapi nasib tak jelas. Sementara yang ijazahnya tak jelas, konon dapat cuan triliunan, atau dinaikkan jadi pejabat.
Mereka lantas menolak mendorong batu seperti Sisyphus, bukan karena malas, tapi karena telah memahami absurditas sistem. Camus menyebut ini sebagai “momen kesadaran akan absurditas”, saat manusia menyadari bahwa sistem tidak memberi makna apa-apa, dan semua kerja keras bisa jatuh begitu saja.
Tapi Camus tidak menyarankan menyerah. Ia menyuruh kita untuk memberontak secara sadar, tetap dorong batu, tapi dengan tawa. Jika dilihat dari perspektif ini, di sinilah “manusia tikus” itu gagal. Mereka menyadari absurditas, tapi memilih tidur di kolong kasur sambil main PUBG. Camus tidak menolak absurditas, ia menyarankan memeluk absurditas dan menantangnya dengan keberanian. Tanpa itu, yang lahir bukan kebebasan, tapi stagnasi. Stagnasi yang lahir dari apatisme.
Dalam pandangan Camus, apatisme ini lebih jauh adalah bentuk bunuh diri filosofis. Bukan dengan peluru, tapi dengan diam. Ketika seluruh generasi muda merasa nggak ada gunanya berjuang, maka kehendak untuk hidup secara otentik lenyap. Ini lebih berbahaya daripada kerusuhan sosial, karena apatisme menyebar senyap, seperti gas beracun dalam ruangan tertutup. Ia membunuh semangat kolektif bangsa, generasi yang bernapas tapi tidak berpikir, hidup tapi tak bermakna. Ketika bangsa kehilangan makna, ia sedang berada di ujung eksistensialnya.
Pendidikan sebagai Arena Pemberontakan terhadap Kesia-siaan
Kita butuh pendidikan yang memberi nutrisi bagi otak, bukan sekedar memberi nasi kotak. Kita tidak butuh generasi yang hanya tahu rumus, tapi tidak tahu alasan kenapa hidup. Kita butuh generasi yang bisa bertanya: “Kenapa saya harus bekerja? Untuk siapa? Dan apakah saya masih manusia ketika hanya jadi alat produksi?”
Bonus demografi tidak akan jadi anugerah jika manusia di dalamnya tidak percaya pada hidupnya sendiri. Tentu kita harus waspada terhadap fenomena lao shǔ rén, manusia tikus, yang menyasar gen Z ini. Maka tugas kita bukan membuat generasi muda “bersemangat”, tapi membantu mereka menemukan alasan untuk tetap hidup, walau dunia ini absurd. Dan itu berarti mendengarkan mereka, membangun ruang reflektif, serta menciptakan sistem sosial yang layak dipercaya.
Fenomena “manusia tikus” bukan penyakit. Mereka adalah gejala dari sistem yang sudah lama rusak. Mereka bukan ancaman. Mereka adalah alarm. Dan kalau kita tidak mendengar alarm ini, maka kita bukan sedang menanti generasi emas, tapi sedang menggali liang kubur sosial, diam-diam dan perlahan, tapi pasti. Jika hidup memang absurd, bagaimana pun kita tetap bisa memilih hidup dengan sadar.
Kita bisa jadi Sisifus yang nyengir, bukan Sisifus yang pasrah. Kita bisa pilih untuk melawan dengan cara tertawa, tapi tetap bermakna. Jika Camus bicara tentang absurditas, maka teringat saya akan Sartre yang bicara tentang tanggung jawab radikal atas kebebasan. Bagi Sartre, “L’existence précède l’essence”, yang berarti eksistensi mendahului esensi. Manusia ada terlebih dahulu, baru kemudian menentukan siapa dirinya melalui pilihan dan tindakan.
Maka ketika anak muda merasa tidak berguna, bukan karena mereka benar-benar tidak punya nilai, tapi karena mereka belum benar-benar memilih menjadi sesuatu. Saya yakin, para pembaca yang budiman di sini bisa membantu mereka dalam kebijaksanaan. Tabik. [T]
Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI