17 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Manusia Tikus”, Gen Z yang Terjebak di Kolong Kasur

Petrus Imam Prawoto JatibyPetrus Imam Prawoto Jati
June 17, 2025
inEsai
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

Petrus Imam Prawoto Jati

ADA satu istilah yang lagi rame di China sana, shǔ rén alias “manusia tikus”. Bagi sidang pembaca yang belum tahu, ini bukan soal orang yang cosplay jadi makhluk pengerat yang doyan kabel dan tinggal di gorong-gorong kota. Ini tentang manusia, yang merupakan anak-anak muda gen Z, yang hidup seperti ritmenya tikus, siang tidur, malam main gim, rebahan, medsos-an, menghabiskan waktu di dalam kamar, jarang keluar rumah, dan rutin bangun hanya untuk mengulangi siklus itu lagi. Mereka tidak miskin secara kasat mata, tapi juga bukan manusia yang “hidup” sepenuhnya.

Kalau Anda pikir ini cuma tren iseng anak Tiongkok yang seolah-olah kebanyakan waktu, Anda keliru. Fenomena ini bukan sekadar lifestyle. Konon dari pengakuan para pegiatnya, ini adalah respons eksistensial terhadap dunia yang makin absurd dan kehilangan arah. Alasannya cukup mendasar. Mereka merasa lelah. Mereka kecewa. Mereka tidak percaya lagi pada narasi sukses dan kerja keras.

 Jadi daripada jadi gila, mereka memilih jadi “tikus”. Dan seperti hal viral lainnya, ini bisa menular.  Sekarang bayangkan  bagaimana jika “virus tikus” ini menular ke Indonesia? Bagaimana nasib generasi emas 2045 yang katanya digadang-gadang  bakal jadi pahlawan ekonomi digital? Bisa-bisa bukan “generasi emas”, tapi “generasi lemas”, karena udah diremas duluan sama realitas hidup yang bengkok-bengkok.

Pemerintah agak gagap kalau ditanya soal tambang  Nikel di Raja Ampat dan Halmahera yang merusak alam, soal PHK di mana-mana,  investasi di IKN yang gak jelas, atau laut yang dipagari. Tapi lalu kelihatan happy banget kalau bicara soal “bonus demografi”. Narasinya manis,  jumlah penduduk usia produktif tinggi. Katanya ini berkah,  ini peluang besar untuk jadi negara maju. Padahal bonus yang satu ini sebenarnya cuma dan baru potensi, bukan jaminan. Analoginya bagai punya benih unggul berkarung-karung, tapi ladangnya tandus dan petaninya malas nyiram. Ya, buat apa?

Media Sosial, Senjata Makan Tuan

Fenomena manusia tikus ini mestinya harus dilihat tidak sekadar  soal magernya anak muda. Ini mirip “hikikomori” di Jepang, mirip juga dengan “N-po Generation” di Korea, yang sudah menyerah dari urusan rumah, pernikahan, dan impian hidup layak. Di Barat ada “quiet quitting”. Kerja secukupnya, nggak mau drama, karena capek jadi budak sistem yang busuk. Dan di Indonesia, versi lokalnya sudah kelihatan, meme “rebahan is life” menggantikan motivasi.

Filsafat hidup berubah jadi “kerja secukupnya, hidup semampunya.” Anak muda makin sinis terhadap masa depan, tapi tetap update Instagram. Semua ini bukan karena mereka malas, tapi karena mereka sadar bahwa hidup bukan cuma soal kerja keras. Mereka sudah mual dengan sistem yang terus menyuruh mereka lari, padahal ujungnya cuma tembok.

Yang agak mengkhawatirkan, penyebaran virus manusia tikus ini bukan lewat seminar atau doktrin dosen, tapi lewat meme. Konten 3 detik yang lebih tajam dari kuliah 3 SKS. Kira-kira begini doktrinnya, “Kerja keras cuma bikin bos kaya.” “Tidur dulu ah, biar nggak kecewa sama hidup.”“Lulus S1, nganggur. Lulus rebahan, damai.” Lucu, menghibur dan membuat tawa. Tapi kalau dikonsumsi tiap hari, ini bukan lagi hiburan. Ini akan jadi filsafat hidup. Meme ini kini sudah jadi doa, diulang-ulang sampai jadi kenyataan.

Fenomena “manusia tikus” yang kita bahas bukan semata-mata gejala kemalasan generasi muda. Ia adalah ekspresi eksistensial dari kebuntuan makna hidup dan di sinilah Albert Camus bisa masuk sebagai pisau analisis yang tajam. Mitos Sisifus dari Albert Camus adalah esai filsafat yang mengangkat tokoh Sisifus, seorang figur dalam mitologi Yunani yang dihukum oleh para dewa untuk terus-menerus mendorong batu besar ke atas bukit, hanya untuk melihat batu itu jatuh kembali. Begitu terus menerus hidup Sisifus ini. 

Camus menggunakan kisah ini sebagai simbol absurditas hidup manusia.  Kita semua terus bekerja, berjuang, mencari makna, namun pada akhirnya semuanya akan berulang dan berakhir sia-sia, seperti batu yang terus jatuh dari puncak bukit. Camus, dalam The Myth of Sisyphus, tidak berbicara soal kemalasan atau produktivitas, tapi soal absurditas. Menyoal adanya jarak antara pencarian manusia akan makna dan dunia yang bungkam terhadap pertanyaan itu. Dunia yang tak memberi jawaban,  hanya rutinitas, sistem, dan penderitaan tanpa arah. Sangat relate dengan yang dirasakan anak-anak muda tikus itu bukan? Jadi bukan soal anak muda yang malas atau ada yang bilang kurang asupan asam sulfat saat masih dikandung ibunya.

Pengangguran Terdidik , Sang Sisyphus yang Menolak Mendorong Batu

Para lulusan kampus keren yang tidak terserap dunia kerja bukan gagal karena bodoh, melainkan karena sadar bahwa meritokrasi adalah ilusi, dan koneksi adalah jalan pintas.  Mereka menuntut ilmu, belajar keras agar dapat ijazah yang asli, tapi nasib tak jelas. Sementara yang ijazahnya tak jelas, konon dapat cuan triliunan, atau dinaikkan jadi pejabat.

Mereka lantas menolak mendorong batu seperti Sisyphus, bukan karena malas, tapi karena telah memahami absurditas sistem. Camus menyebut ini sebagai “momen kesadaran akan absurditas”,  saat manusia menyadari bahwa sistem tidak memberi makna apa-apa, dan semua kerja keras bisa jatuh begitu saja.

Tapi Camus tidak menyarankan menyerah. Ia menyuruh kita untuk memberontak secara sadar, tetap dorong batu, tapi dengan tawa. Jika dilihat dari perspektif ini, di sinilah “manusia tikus” itu gagal. Mereka menyadari absurditas, tapi memilih tidur di kolong kasur sambil main PUBG. Camus tidak menolak absurditas, ia menyarankan memeluk absurditas dan menantangnya dengan keberanian. Tanpa itu, yang lahir bukan kebebasan, tapi stagnasi. Stagnasi yang lahir dari apatisme.

Dalam pandangan Camus, apatisme ini lebih jauh adalah bentuk bunuh diri filosofis. Bukan dengan peluru, tapi dengan diam. Ketika seluruh generasi muda merasa nggak ada gunanya berjuang, maka kehendak untuk hidup secara otentik lenyap. Ini lebih berbahaya daripada kerusuhan sosial, karena apatisme menyebar senyap, seperti gas beracun dalam ruangan tertutup. Ia membunuh semangat kolektif bangsa, generasi yang bernapas tapi tidak berpikir, hidup tapi tak bermakna. Ketika bangsa kehilangan makna, ia sedang berada di ujung eksistensialnya.

Pendidikan sebagai Arena Pemberontakan terhadap Kesia-siaan

Kita butuh pendidikan yang memberi nutrisi bagi otak, bukan sekedar memberi nasi kotak. Kita tidak butuh generasi yang hanya tahu rumus, tapi tidak tahu alasan kenapa hidup. Kita butuh generasi yang bisa bertanya: “Kenapa saya harus bekerja? Untuk siapa? Dan apakah saya masih manusia ketika hanya jadi alat produksi?”

Bonus demografi tidak akan jadi anugerah jika manusia di dalamnya tidak percaya pada hidupnya sendiri. Tentu kita harus waspada terhadap fenomena lao shǔ rén, manusia tikus,  yang menyasar gen Z ini. Maka tugas kita bukan membuat generasi muda “bersemangat”, tapi membantu mereka menemukan alasan untuk tetap hidup, walau dunia ini absurd. Dan itu berarti mendengarkan mereka, membangun ruang reflektif, serta menciptakan sistem sosial yang layak dipercaya.

Fenomena “manusia tikus” bukan penyakit. Mereka adalah gejala dari sistem yang sudah lama rusak. Mereka bukan ancaman. Mereka adalah alarm. Dan kalau kita tidak mendengar alarm ini, maka kita bukan sedang menanti generasi emas,  tapi sedang menggali liang kubur sosial, diam-diam dan perlahan, tapi pasti. Jika hidup memang absurd, bagaimana pun kita tetap bisa memilih  hidup dengan sadar.

Kita bisa jadi Sisifus yang nyengir, bukan Sisifus yang pasrah. Kita bisa pilih untuk melawan dengan cara tertawa, tapi tetap bermakna. Jika Camus bicara tentang absurditas, maka teringat saya akan  Sartre yang bicara tentang tanggung jawab radikal atas kebebasan. Bagi Sartre, “L’existence précède l’essence”, yang berarti eksistensi mendahului esensi. Manusia ada terlebih dahulu, baru kemudian menentukan siapa dirinya melalui pilihan dan tindakan.

Maka ketika anak muda merasa tidak berguna, bukan karena mereka benar-benar tidak punya nilai, tapi karena mereka belum benar-benar memilih menjadi sesuatu. Saya yakin, para pembaca yang budiman di sini bisa membantu mereka dalam kebijaksanaan. Tabik. [T]

Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole

BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI

Komunikasi Egaliter di Era Predator Citra
Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita
AI dan Seni, Karya Dialogis yang Sarat Ancaman?
Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?
Ogah Baca, Nyalakan Bom Waktu
Tags: Chinamedia sosial
Previous Post

Bicara-bicara Atas Nama Air di Desa Panji Buleleng

Petrus Imam Prawoto Jati

Petrus Imam Prawoto Jati

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

“Manusia Tikus”, Gen Z yang Terjebak di Kolong Kasur

by Petrus Imam Prawoto Jati
June 17, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

ADA satu istilah yang lagi rame di China sana, shǔ rén alias “manusia tikus”. Bagi sidang pembaca yang belum tahu,...

Read more

Kriteria dan Syarat Sosok Pemimpin di Suku Baduy

by Asep Kurnia
June 17, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

KRISIS kualitas kepemimpinan nasional sedang terjadi dan melanda secara dahsyat, moralitas dan tingkat keamanahan seorang pemimpin yang terpilih menunjukan kurva...

Read more

Han Kang dan Kolase Enigmatik Novel Vegetarian

by Lintang Pramudia Swara
June 16, 2025
0
Han Kang dan Kolase Enigmatik Novel Vegetarian

BEGITU enigmatik dan diabolis, saya rasa Han Kang memberi tawaran segar di kancah sastra dunia. Sejak diumumkan sebagai pemenang Nobel...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Piagam Gumi Delod Ceking untuk Pariwisata Berkelanjutan 

Piagam Gumi Delod Ceking untuk Pariwisata Berkelanjutan

June 16, 2025
Pesta Perilisan Buku “(Se-)Putar Musik” dari Beatriff: Ruang Produksi Pengetahuan yang Lebih Inklusif

Pesta Perilisan Buku “(Se-)Putar Musik” dari Beatriff: Ruang Produksi Pengetahuan yang Lebih Inklusif

June 15, 2025
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Bicara-bicara Atas Nama Air di Desa Panji Buleleng
Khas

Bicara-bicara Atas Nama Air di Desa Panji Buleleng

MENJAGA hutan desa, tidak cukup dengan hanya berkoar—atau mengajak sesama mari menjaga hutan dan air; untuk hidup yang sedang berlangsung,...

by Sonhaji Abdullah
June 17, 2025
Tidak Ada Petruk dalam Drama Gong Lawas Banyuning Singaraja di Pesta Kesenian Bali 2025
Khas

Tidak Ada Petruk dalam Drama Gong Lawas Banyuning Singaraja di Pesta Kesenian Bali 2025

TIDAK ada Petruk dalam Drama Gong Banyuning, Singaraja, yang bakal pentas di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025. Tentu saja. Yang...

by Komang Puja Savitri
June 16, 2025
Yan Mintaraga, Seniman Pinggir Taman Kota Singaraja
Persona

Yan Mintaraga, Seniman Pinggir Taman Kota Singaraja

SETIAP Minggu pagi, Taman Kota Singaraja menjelma menjadi panggung kecil bagi berbagai aktivitas. Ada anak-anak berlarian, ibu-ibu berbincang sambil menemani...

by Arix Wahyudhi Jana Putra
June 16, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Teman Sepanjang Perjalanan | Cerpen Putu Gede Pradipta

Teman Sepanjang Perjalanan | Cerpen Putu Gede Pradipta

June 15, 2025
Sajak-Sajak Angga Wijaya | Radio Tidak Kumatikan

Sajak-Sajak Angga Wijaya | Radio Tidak Kumatikan

June 15, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [19]: Mandi Kembang Malam Selasa Kliwon

June 12, 2025
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co