Tanah HGB, Kerjasama dan Jaminan Kredit : Pasca Putusan MK Nomot 67/PUU-XI/2013
Penulis:
Dr. I Made Pria Dharsana, SH., MHum
Indrasari Kresnadjaja SH., MKN
I Putu Lingga Dhananjaya, SH., MKN
TANAH memiliki arti yang sangat penting bagi eksistensi kehidupan manusia (Daniel Dhakidae, 2019), begitu pula bagi sebuah negara Indonesia yang sedang berkembang. Tanah yang sebelumnya lebih banyak berfungsi sosial, sekarang sudah lebih banyak sebagai komuditi ekonomi dengan nilai yang melenting tinggi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dihitung seberapa besar investasi dapat ditarik bagi penanam modal ke Indonesia. Penanamaan modal langsunglah yang diharapkan hadir dan tentu memerlukan tanah serta akan menghasilkan multiplier effect, tenaga kerja, pajak bagi negara. Peralihan hak atas tanah tidak bisa dihindari, bagaimana perolehannya, apakah memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat ataukah merugikan, tentu tidak bisa dihindari.
Oleh karena itu ada beberapa hal perlu dipelajari agar dapat meminimalisir masalah hukum di bidang pertanahan muncul serta bagaimana memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat pemilik tanah di masa sekarang dan di kemudian hari serta bagaimana memberikan jaminan kepastian hukum atas peralihan atau kerjasama dalam bentuk perjanjian antara pemilik tanah dengan penanaman modal termasuk kepada kreditur.
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) sampai (3) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), Hak Guna Bangunan (“HGB”) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Hak Guna Bangunan diberikan untuk Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia. Jadi secara prinsip, HGB merupakan hak yang diberikan oleh Negara kepada WNI ataupun Badan Hukum Indonesia tersebut untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Negara, Hak Milik maupun Hak Pengelolaan (PP 18 tahun 2021). HGB ini dapat beralih, dialihkan dan dijadikan sebagai jaminan hutang , sedangkan HGB diatas HPL atau HM tergantung isi perjanjian dengan pemegang HPLatauHM.
Bicara Hak Tanggungan (UU Nomor 4 Tahun 1996) berdasarkan sifatnya tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Objek Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), HGB atau HP diatas HPL, HGB dan HP diatas HM, Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
Dalam Pasal 10 UU 4 tahun 1996, disebutkan bahwa pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut (Ivan Setiady, hukumproperti, dikutif pada tanggal 16 Oktober 2022, pukul 19.06 wita). Kedudukan hak tanggungan sesungguhnya sebagai perjanjian tambahan (accessoir) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang piutang. Dengan demikian antara perjanjian hutang piutang dan hak tanggungan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, ketika suatu perjanjian hutang piutang diletakkan, maka dengan sendirinya hak tanggungan akan mengikutinya.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa eksistensi atas suatu hak tanggungan selalu diperjanjikan dan mengikuti (accessoir) perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang. Keberadaan hak tanggungan adalah untuk melindungi pemberi pinjaman uang, apabila di kemudian hari pemberi hak tanggungan tidak memenuhi kewajiban membayar hutangnya. Dalam hak tanggungan ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu benda yang ditanggungkan dan hutang yang menjadi pokok perjanjian yang diikuti oleh hak tanggungan tersebut.
Pasal 3 ayat (1) UU 4 tahun 1996, utang yang dijaminkan dapat berupa; pertama, utang yang sudah ada pada waktu dibebankan hak tanggungan; kedua, utang yang belum ada akan tetapi sudah diperjanjikan. Selanjutnya, diatur bahwa jumlah utang yang pelunasannya dijamin dengan hak tanggungan dapat ditentukan secara tetap pada saat diperjanjikan (diperjanjikan dalam perjanjian yang bersangkutan) atau ditentukan pada saat permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan, berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan utang-piutang yang bersangkutan.
Dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia terhadap pembebanan Hak Guna Bangunan sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan tidak ada yang menjelaskan secara eksplisit tentang Hak Guna Bangunan yang mana yang dapat dibebani hak tanggungan, karena ada tiga macam Hak Guna Bangunan yaitu Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara, Hak Guna Bangunan atas Hak Pengelolaan dan Hak Guna Bangunan atas Hak Milik, baik di dalam Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT) maupun dalam PP Nomor 40 tahun 1996 dan hanya peralihannya saja yang diatur, maka berdasarkan Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), (2) dan (7) PP Nomor 40 Tahun 1996 tersebut di atas dan memperhatikan Surat Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor 630.1-3433 tertanggal 17 September 1998, perihal Agunan Sertifikat di atas tanah Hak Pengelolaan, dan sekarang berdasarkan PP 18 tahun 2021 dilakukan perubahan atas PP 40 tahun 1996, HGB di atas HPL atau HGB di atas HM dapat dijadikan jaminan hutang dengan dipasang Hak Tanggungan. Ini menandakan politik pertanahan kita semakin maju dengan memberikan kemudahan dan jaminan kepastian hukum bagi penanam modal di Indonesia.
Hak Guna Bangunan di atas HM atau HPL dapat atau tidak dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan, namun terlebih dahulu harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan atau pun pemegang Hak Milik. Jika dalam pengajuan permohonan kredit dengan obyek jaminan berupa Hak Guna Bangunan yang berdiri di atas Hak Pengelolaan atau Hak Milik tersebut dalam pembebanannya dengan Hak Tanggungan telah dilengkapi dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan atau Hak Milik dan telah dicantumkan dalam pembuatan APHT antara pihak bank selaku kreditur dengan pemohon kredit sebagai debitur, maka dalam hal pihak debitur cidera janji atau wanprestasi dan pihak bank dapat melaksanakan eksekusi lelang terhadap obyek jaminan tersebut, pihak bank tidak perlu lagi untuk minta persetujuan tertulis dari pihak pemegang Hak Pengelolaan atau Hak Milik. Hal ini tentu harus sudah diatur dalam perjanjian permulaan pemberian HGB diatas HM atau HPL.
Soal hapusnya Hak Tanggungan maka tidak menghapuskan perjanjian pokok. Dengan hapusnya hak atas tanah dengan sendirinya menghapuskan Hak Tanggungan, Pandangan ini sejalan dengan pandangan Maria SW Sumardjono, bahwa penetapan sebagai tanah terlantar bisa berdampak terhadap pemegang Hak Tanggungan bila tanah yang bersangkutan dijadikan Hak Tanggungan. Jika hak atas tanah tersebut hapus, Hak Tanggungan juga hapus tetapi hutang yang membebani tetap berlangsung.
Mengenai kedudukan subjek pemegang Hak Tanggungan telah diatur dengan tegas bahwa pemegang Hak Tanggungan mempunyai kedudukan yang didahulukan atas kreditur yang lain (preferent). Artinya apabila pemberi hak tanggungan pailit maka pemegang hak tanggungan didahulukan pelunasannya. Hak ini akan menjadi lain apabila ternyata pemberi hak tanggungan menanggungkan hak atas tanah yang oleh pemerintah dinyatakan sebagai tanah terlantar, kemudian dinyatakan sebagai tanah negara kemudian oleh negara didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya. Tentunya hal ini berakibat kedudukan pemegang hak tanggungan yang preferent menjadi hilang dengan sendirinya, seiring dengan dinyatakannya hak atas tanah tersebut sebagai tanah terlantar.
Sebagai akibat dari hapusnya hak atas tanah sebagai jaminan Hak Tanggungan, dengan sendirinya dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP-PPTT) begitu pula dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 67/PUU-XI/2013, telah mengesampingkan keberadaan kreditur preferent dari pemegang Hak Tanggungan. Namun begitu perlu analisis yang lebih mendalam untuk mengetahui, apakah PP-PPTT dapat menghapuskan status preferent, namun dengan adanya putusan MK nomor 67/PUU-XI/2013 jelas mengenyampingkan kreditur preferent dengan lebih mengutamakan tenaga kerja jika badan hukum Perseroan Terbatas sebagai debitur dipailitkan.
Sebagaimana diketahui bahwa status preferent merupakan status yang mengistimewakan seorang pemegang hak tanggungan untuk didahulukan pelunasan hutangnya apabila pemberi hak tanggungan lalai membayar hutangnya.
Kebijakan pemerintah menerbitkan PP-PPTT, yang inti dari peraturan pemerintah tersebut dapat menghapuskan hak atas tanah, membawa akibat terhadap pemegang hak tanggungan. Permasalahan ini yang belum ada ketentuan dalam UUHT yang mengatur atau ada kekosongan hukum dalam UUHT. Namun begitu, dengan hapusnya hak atas tanah tidak menghapuskan perjanjian pokok yang telah ada. Lantas, bagaimana pemegang hak tanggungan menuntut kembali hak nya sebagai pemegang hak tanggungan yang mempunyai sifat preferent masih menjadi masalah tersendiri sejak diundangkannya PP-PPTT.
Mengenai status utang yang masih ada, bagaimana pemegang Hak Tanggungan untuk memperoleh uangnya kembali tidak diatur dalam PP-PPTT maupun dalam UUHT. Hal ini apabila melihat PP-PPTT adalah jelas apabila hak atas tanah dinyatakan sebagai tanah terlantar maka tanah tersebut menjadi milik negara dan akan dipergunakan oleh negara didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara (ketentuan Badan Bank Tanah dalam PP 18 tahun 2021). Tidak disinggung bagaimana dengan uang kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan dapat kembali. Ini akan sangat sulit dan sangat merugikan bagi seorang pemegang Hak Tanggungan atas hak tanah yang dibebani Hak Tanggungan apabila hapus karena dinyatakan sebagai tanah terlantar. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan status preferent sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang menyebutkan kebendaan tersebut mejnadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Kesimpulan :
a. Terkait dengan masih lemahnya perlindungan hukum bagi pemegang Hak Tanggungan pasca diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, serta implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-IX/2013 terkait Kedudukan Upah Pekerja dalam Kepailitan ( Implementation of Constitutional Court Decesion Number 67/PUU-IX/2013 Related to the position of Workers’ Wages in Bankruptcy) maka diharapkan pemerintah dapat segera melakukan perubahan atau merevisi UUHT dan atau aturan pelaksananya untuk memberikan kepastian hukum yang kuat dan seimbang kepada pemegang Hak Tanggungan, pemberi Hak Tanggungan, dan pihak ketiga yang berkepentingan.
b. Dalam rangka meningkatkan perlindungan hukum dan jaminan atas pengembalian piutangnya, pihak pemegang Hak Tanggungan diharapkan lebih hati-hati dalam melakukan penilaian secara fisik dan yuridis terhadap tanah hak atas tanah yang akan dijadikan obyek Hak Tanggungan, agar dikemudian hari dapat dihindari munculnya penetapan penelantaran tanah yang akan merugikan pihak pemegang Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
c. Pemegang Hak Tanggungan juga mesti lebih hati-hati apabila debiturnya adalah perusahaan yang mempunyai banyak tenaga kerja, mengingat implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-IX/2013 terkait Kedudukan Upah Pekerja dalam Kepailitan ( Implementation of Constitutional Court Decesion Number 67/PUU-IX/2013 Related to the position of Workers’ Wages in Bankruptcy) yang lebih diutamakan untuk dibayarkan adalah upah tenaga kerja, setelah itu baru kreditur preferentnya. [T]
Penulis I Made Pria Dharsana
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain tentang hukum, agraria, dan kenotarisan dari penulis I MADE PRIA DHARSANA