SIDANG pembaca yang budiman, akhirnya kita mengalami hidup di zaman sekarang ini, zaman paling komunikatif dalam sejarah manusia. Tapi anehnya, saya rasa kita juga hidup di zaman paling sepi makna. Semua bisa bicara bebas, semua bisa posting, semua bisa jadi seleb. Kedengarannya sih memang kita semua jadi setara, dan jadi anggota masyarakat tanpa kesenjangan. Tapi apakah itu berarti, dengan model komunikasi semacam ini kita semua sudah setara?
Tanggal 10 Juni diperingati sebagai Hari Media Sosial Nasional, di hari-hari menjelang peringatan inilah saya curiga, memangnya benar media sosial bisa menciptakan masyarakat egaliter? Atau jangan-jangan, kita cuma sedang hidup dalam simulasi kesetaraan, di mana semua orang boleh tampil, asal tunduk pada algoritma dan estetika pencitraan.
Saya mengajak kita semua untuk membongkar ilusi ini pelan-pelan. Tapi tidak perlu cemas, karena di sini tidak akan membawa-bawa teori berat, macam ikut kuliah yang mana dosennya juga bikin ngantuk. Mungkin lebih cocok untuk tema nongkrong di warung kopi sambil sedikit belajar nyinyir ala Foucault.
Egaliter, Dengan Syarat di Etalase yang Sama
Dulu, kita tahu bahwa komunikasi hanya milik yang punya kuasa. Tengok saja para raja, gereja, negara, media arus utama. Sekarang sudah berubah, semua bisa bersuara. Bahkan anak SMP pun bisa viral cuma karena main lato-lato sambil ceramah soal bagaimana jadi orang tua yang tidak nakal. Tapi sepertinya tidak semudah itu. Karena di era medsos ini, meski akses terbuka lebar-lebar untuk bicara bukan berarti punya kekuasaan untuk didengar.
Di media sosial, memang semua tampak setara. Kita semua punya akun. Kita semua bisa bikin konten. Capek bikin secara manual, ya pake Ai, yang konon sebulan bisa bikin konten ratusan. Ternak konten istilahnya. Tapi nyatanya tidak semua punya modal simbolik yang cukup buat didengar. Ada yang punya kamera mirrorless, lighting tiga titik, dan followers ribuan.
Di sisi lain, ada yang cuma punya suara serak dan HP jadul alias HP kentang. Jadi bisa kita pahami kalau ini bukan demokrasi digital. Medan medsos ini adalah pertarungan antarmerek dan citra diri. Setiap orang adalah brand, setiap postingan adalah iklan, dan setiap percakapan adalah strategi positioning. Jadi, kalau semua orang membangun citra, apakah itu disebut komunikasi yang setara? Atau kita hanya sama-sama predator dalam pasar yang isinya melulu jual beli atensi yang brutal?
Kesadaran Kritis vs Kesadaran Klik
Jürgen Habermas pernah bermimpi, seandainya manusia bisa berdialog secara rasional, terbuka, tanpa manipulasi, maka akan lahirlah suatu masyarakat komunikatif yang adil. Sayangnya, si Mark Zuckerberg sepertinya tidak baca Habermas. Jelas-jelas Ia lebih pilih “ngoding” fitur Reels, lantas belanja WA dan IG.
Medsos jadi mengingatkan kita akan Agora di Athena kuno. Agora, adalah pusat kehidupan publik di kota Athena kuno. Tempat ini berfungsi sebagai pasar, pusat kegiatan politik, sosial, dan keagamaan. Para filsuf juga banyak berkumpul di sini untuk diskusi dan didengar banyak orang. Nah, media sosial menciptakan ruang publik semu, mirip Agora di Athena kuno, tapi dikurasi oleh mesin yang hanya peduli satu hal, yaitu “klik”. Di Instagram, Anda lebih didengar kalau cantik.
Di Twitter, Anda lebih dianggap kalau sinis dan pinter. Sementara di TikTok, setahu saya kita bakal naik kalau joget-joget sambil kasih opini macam komentator politik. Ini bukan lelucon, ini fakta di suatu nun negara sana. Mengapa hal itu bisa terjadi, mungkin karena baik pembuat konten dan audiensnya sama-sama zero kesadaran kritis.
Jauh hari, Paulo Freire juga pernah bicara soal conscientização, kesadaran kritis. Dulu sekali. Tapi kalau dia hidup hari ini, dan bikin konten, dia mungkin akan di-mute karena dianggap kurang engaging. Kesadaran kritis jelas tidak menarik buat algoritma. Tapi drama percintaan anak Jaksel? Langsung FYP.
Semua Bebas Jadi Gladiator Digital
Sepertinya era barbar mau tak mau kita alami juga. Media sosial di satu sisi, bukan medan dialog. Medsos adalah arena , sirkus, Colosseum. Dan kita semua masuk ke sana bukan sebagai warga yang menonton, tapi sebagai gladiator digital. Kita saling pamer, saling branding, saling ngasih impresi terbaik.
Kita diajari dan belajar sejak awal, tampil itu penting, karena kalau tidak tampil, kita tidak eksis. Dan kalau tidak eksis, ya jadinya tidak layak didengar. Sepertinya inilah titik paling ironi, bahwa kita tidak sedang bicara satu sama lain. Tidak dengan kawan, dengan saudara, atau masyarakat luas. Kita sedang bicara ke cermin, sambil berharap orang lain menyukai pantulan kita.
Kalau pembaca yang budiman tidak percaya, penjelasannya begini. Di medsos kita bisa lihat, bahkan penderitaan pun harus tampil cantik. Jeritan pun harus pakai filter. Kesakitan dikemas menjadi konten. Dan konten harus dikemas estetik, biar bisa diklik dan dikomen. Lalu mereka bilang, “ini adalah bentuk ekspresi.” Tapi mungkin sebenarnya ini bentuk lain dari penyesuaian paksa. Kita bicara bukan karena kita bebas, tapi karena kita sudah belajar dan tahu apa yang harus dikatakan, agar masuk ke selera mesin.
Adakah Komunikasi yang Masih Bisa Membebaskan?
Bisa jadi pertanyaan di atas membuat kita tertawa hambar, karena mungkin ini pertanyaan yang sudah basi. Tapi justru di situlah bahayanya, kita mulai terbiasa hidup tanpa harapan akan komunikasi yang membebaskan. Kita anggap komunikasi ya seperti ini, penuh pamer, penuh strategi, dan penuh tekanan untuk tampil.
Tapi kok saya percaya, masih ada celah. Retakan sekecil apapun di tembok algoritmik, bisa kita dorong agar ada lubang untuk keluar. Jadi, komunikasi egaliter bukan soal semua orang bisa bicara. Tapi soal adanya ruang di mana suara bisa tumbuh tanpa harus bersaing. Di mana setiap kita bisa bicara tanpa dihukum karena tidak lucu, tidak cantik, atau tidak populer. Itulah komunikasi yang membebaskan. Dan dengan model algoritma sekarang, hal itu tidak akan datang dari TikTok atau X. Tapi tetap bisa lahir di ruang kecil sepertia komunitas, ruang diskusi, grup WA yang tidak toxic, podcast akar rumput, atau forum warga yang tidak dibiayai partai.
Dari Simulasi Menuju Subversi
Kalau semua orang jadi predator citra, maka bentuk pemberontakan paling radikal hari ini adalah tidak membangun citra sama sekali. Komunikasi yang membebaskan bukanlah soal siapa yang paling lantang. Tapi siapa yang paling jujur. Coba sekali-sekali kita posting foto buram. Tulis caption yang jujur. Ungkap ketidaktahuan dan kebodohan kita di sana. Bukan untuk mencari simpati, tapi sebagai pernyataan keras, bahwa aku bukan merek, bukan brand, bahwa aku manusia.
Mungkin bisa kita lawan ilusi kesetaraan ini dengan ketidaksempurnaan yang disengaja. Kita buat orang lain berhenti scroll, bukan karena kita menarik, tapi karena kita jujur dan otentik. Di tengah dunia di mana semua orang sibuk terlihat pintar, kejujuran adalah bentuk komunikasi paling revolusioner. Dan jujur itu, saudara-saudara, memang sering kali tidak viral. Tapi justru karena itulah ia layak diperjuangkan. Utopiakah? Sambil menunggu jawaban yang masih loading, selamat Hari Media Sosial. Tabik. [T]
Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI