SEBUAH kejujuran, sangat diperlukan dalam proses kreatif berkesenian. Ini, ditunjukkan oleh Anak Agung Gede Eka Putra Dela. Beliau, secara jujur mengaku sudah 5-6 tahun ini vakum, tidak melukis. Pada pameran kali ini Gung Putra menampilkan 10 karya kecil-kecil dengan goresan dan ekspresi warna yang berbeda. “Ini menandakan saya masih berproses. Saya seperti anak kecil yang baru belajar melukis lagi”, Gung Putra menjelaskan. Oleh karenanya, ia memberi Judul karyanya ; “Berproses”.
Karya lukis abstrak Gung Putra berukuran 40 x 40 cm, sebanyak 10 panel tersebut, tergantung pada sebuah sisi dinding di ruang pamer Neka Art Museum Ubud, dalam rangka pameran “Metastomata : Metamorphosis Manifesto Galang Kangin”, yang digelar dari tanggal 18 April hingga 18 Mei 2025. Pameran ini selain meramaikan 29 tahun usia Komunitas Seni Galang Kangin (KSGK) juga untuk memperingati hari lahir almarhum Arie Smit (15 April) tokoh yang memberi warna penting dalam perkembangan seni rupa di Bali. Beliau, adalah tokoh yang membidani lahirnya mazhab senirupa Young Artist.
Konsep “Berproses” yang diusung oleh Gung Putra dapat dianalisis dengan mengadopsi berbagai pendekatan teoritis dan perspektif seni kontemporer, yang menekankan pentingnya perjalanan kreatif sebagai esensi dari ekspresi individu. Bisa kita awali dengan pendekatan psikologi, Dalam psikologi seni, konsep “Berproses” sejalan dengan teori perkembangan kreativitas yang menekankan pentingnya eksplorasi, eksperimen, dan keberanian untuk kembali ke “langkah awal.”

Anatomi 1, Anak Agung Gede Eka Putra Dela, acrylic on canvas
Psikolog Graham Wallas dalam bukunya “The Art of Thought” (1926) menyebutkan empat tahap proses kreatif: persiapan, inkubasi, iluminasi (pencerahan), dan verifikasi (Wallas, 1926, hlm. 10). Vakum yang dialami Gung Putra bisa dimaknai sebagai tahap inkubasi, di mana pemikiran kreatif berada dalam jeda untuk memungkinkan fase baru dari iluminasi dan eksplorasi.
Dengan menampilkan 10 karya kecil, yang bervariasi goresan dan warna, konsep karya Gung Putra ini, dapat dianalisis melalui pendekatan “visual honesty.” Teori ini menekankan bahwa setiap elemen dalam karya seni, seperti tekstur, warna, dan bentuk, mencerminkan kondisi emosional seniman. Goresan yang mentah dan penggunaan warna yang spontan mengomunikasikan perjuangan serta semangat pembelajaran ulang dalam fase ini.
Seperti sudah saya sebutkan di atas – tentang kejujuran Gung Putra. Pendekatan “visual honesty” dalam seni rupa memang merujuk pada kejujuran dalam representasi visual. Maksudnya, seniman menampilkan karya mereka tanpa manipulasi berlebihan atau upaya untuk menyembunyikan proses kreatif nya.
Mengutip dari buku Working Space, Karya Frank Stella (Harvard University Press, 1986), pendekatan ini menekankan pentingnya menunjukkan proses yang mencakup kejujuran dalam ekspresi emosi atau ide. Bukankah karya seni mencerminkan pengalaman atau pandangan seniman tanpa mencoba menyesuaikan diri dengan ekspektasi eksternal?.
Konsep ini sering dikaitkan dengan transparansi dalam teknik, material, dan niat artistik. Bisa juga diartikan, seniman menggunakan material sebagaimana adanya, tanpa mencoba mengubah sifat dasar material tersebut. Misalnya, tekstur alami kanvas atau goresan kuas yang terlihat jelas. Saya melihat ‘kejujuran’ atau ‘kepolosan’ Gung Putra pada proses maupun karya kreatifnya tersebut.
Dalam konteks modern, pendekatan ini dapat berarti menghindari manipulasi digital atau teknik yang terlalu “dipoles,” sehingga karya tetap terasa organik dan autentik. Ini, sesuai dengan pernyataan Frank Stella yang terkenal “What you see is what you see,” yang mencerminkan gagasan bahwa seni mesti apa adanya terhadap bentuk dan materialnya. Kendatipun demikian, dalam seni rupa ada istilah yang sering digunakan yakni ‘artistic license’.
‘Artistic license’ Ini merujuk pada kebebasan seniman untuk menyimpang dari kenyataan atau aturan konvensional demi menciptakan karya yang lebih ekspresif, menarik, atau bermakna – namun ‘kejujuran’ juga merupakan hal penting dalam proses kreatif penciptaan. Dalam dunia sastra, ‘Artistic license’ ini acap disebut ‘licentia poetica’. Untuk itu, menarik jika kita surut ke belakang menelisik proses kreatif Gung Putra di masa lalu.

Anatomi 2, Anak Agung Gede Eka Putra Dela, acrylic on canvas
Jejak kreatifitas Gung Putra bisa kita simak dari kemampuannya merestorasi beberapa karya maestro, Affandi. Pada katalog pameran pelukis maestro tersebut bersama Nasirun, Putu Sutawijaya, dan Entang Wiharso yang bertajuk “The (Un) Real”, disebutkan bahwa tindakan preservasi karya-karya Afandi sangatlah sempurna, hingga seperti Afandi sedang menghadirkan karya baru. Kendatipun demikian, Gung Putra tetap merendah bahwa semua itu berkat kesempatan dan bimbingan yang diberikan oleh Thomas Freitag, mentor KSKG.
Jejak yang lain adalah tentang karya rupa dari Gung Putra yang berjumlah 3 panel berukuran 150 x 120 cm per panelnya. Hal itu menunjukkan keahlian luar biasa dalam menggambarkan anatomi manusia secara realistis. Fokus pada detail tekstur kulit, lipatan, dan kontur jari-jari memberikan kesan mendalam tentang pengamatan dan teknik yang sangat terlatih. Penggunaan grayscale menonjolkan permainan bayangan dan pencahayaan, menciptakan dimensi yang hidup dalam beberapa karya lukis anatominya. Kini, ke 3 karya tersebut dikoleksi oleh kolektor dari Belanda.
Beberapa karya lukisnya di masa lalu ini tidak hanya menunjukkan kemampuan teknis, tetapi juga sensitivitas artistik dalam menangkap keunikan setiap elemen. Ini adalah contoh yang kuat dari bagaimana studi anatomi dapat menjadi karya seni yang berdiri sendiri. Teknik yang digunakan menunjukkan kualitas realistis yang sangat tinggi, seperti tekstur kulit, kerutan, dan bayangan.
Semua elemen ini memberikan kedalaman dan efek cahaya yang khas, yang biasanya dicapai melalui medium cat Acrylic. Lukisan ini juga mencerminkan tingkat keahlian yang luar biasa dalam menggabungkan anatomi manusia dan permainan cahaya. Yang paling saya suka adalah kemampuan Chiaroscuro (kemampuan tentang teknik pembagian kualitas gelap terang) .Gung Putra.
Lebih lanjut, hal lain yang menjadi perhatian saya, adalah keinginan saya memadankan karya lukis Gung Putra yang berjudul ‘Berproses’ dengan puisi Mantra karya Sutardji Calzoum Bachri (STB). Khususnya puisi yang berjudul ‘Mantera’. Penilaian saya, puisi STB ini merupakan karya sastra dengan medium kata yang ‘abstrak’. STB tercatat dalam sejarah sastra Indonesia dengan kredonya : “membebaskan kata dari makna”. Sementara itu, saya menganggap karya lukis Gung Putra adalah puisi visual.
Mari simak puisi berjudul ‘Mantera’ karya STB. //lima percik mawar//tujuh sayap merpati//sesayat langit perih//dicabik puncak gunung//sebelas duri sepi//dalam dupa rupa//tiga menyan luka//mengasapi duka//puu…… aah!//kau jadi Kau!//Kasihku. Terasa sekali ‘abstraknya’ puisi karya STB ini. Tak mudah untuk menangkap makna yang tersurat. Demikian juga dengan Karya abstrak Gung Putra yang penuh dengan kebebasan ekspresi dan dinamika warna. Ini sangat cocok dipadankan dengan puisi-puisi STB, terutama karena gaya puisinya yang sering disebut sebagai “puisi mantra”. Mungkin karena STB membebaskan kata-kata dari makna konvensional, menciptakan pengalaman yang lebih intuitif dan emosional— maka mirip dengan cara seni rupa abstrak yang mengundang interpretasi bebas.

Anatomi 3, Anak Agung Gede Eka Putra Dela, acrylic on canvas
Menurut saya, yang dinyatakan STB pada puisi di atas adalah pengekpresian pengalaman estetika penyairnya. Makna yang dihadirkan penyairnya tidak harus hadir dari rangkaian kata yang dapat dipahami. Mungkin saja makna yang dihadirkan adalah senyawa bebas dari pengalaman estetik dan spiritual pribadi penyairnya. Selanjutnya, bisa saja makna yang hadir berdasar dari interpretasi penikmatnya. Begitulah upaya STB membebaskan kata dari makna, yang justru menghadirkan ‘makna yang lain’.
Seperti kita ketahui, anasir penting puisi adalah diksi, ijaminasi, gaya bahasa atau majas, bunyi, rima, ritme, larik, bait, stanza, enjambement, metrum, repetisi, metafora, personifikasi, hiperbola dan tema. Jika saya boleh memaknai unsur-unsur ini, maka saya menyebutnya : Kosa Poetika. Unsur-unsur puisi ini memang bisa dipadankan/dipergunakan menganalisa karya senirupa.
Lantas bagaimana kalau kita hendak mempergunakan istilah ‘kosa poetika’ untuk karya seni rupa?? Tentu bisa, meski biasanya ‘kosa poetika’ berkait dengan seni sastra. Namun, tidak keseluruhan anasir seni sastra tersebut bisa dipergunakan pada seni rupa. Menurut saya, kosa poetika atau elemen-elemen puisi seperti narasi, emosi, simbolisme, metafora, ritme, dan lain-lain – bisa diimplementasi kan ke seni rupa. Hanya mediumnya saja yang berbeda dari kedua bidang seni ini.
Berkait dengan pemadanan karya rupa Gung Putra dengan puisi STB, menurut saya jika sastra menggunakan kata (verbal) sebagai medium ekspresinya, maka lukisan menggunakan warna, garis, bentuk, tekstur, dan komposisi visual sebagai medianya. Elemen-elemen ini berperan sebagai “bahasa visual” yang menyampaikan kepada penikmatnya. Sebagaimana kata-kata membangun suasana dalam sastra – sapuan kuas, gradasi warna, atau garis dalam lukisan juga bisa menciptakan cerita atau suasana tanpa perlu menggunakan kata-kata.
Dengan kata lain, lukisan berbicara melalui visual, membiarkan imajinasi dan persepsi pemirsa menjadi bagian dari interpretasinya. Medium ini begitu luas dan fleksibel, sehingga seniman dapat menciptakan segalanya mulai dari sesuatu yang realistis hingga abstrak. Coba simak bagaimana Gung Putra menggunakan palet warna yang berani dan kontras, seperti oranye, biru, hijau, merah, dan hitam. Kombinasi warna ini menciptakan suasana yang dinamis dan penuh energi. Beberapa karya memiliki tema warna dominan, sementara yang lain lebih seimbang dalam distribusi warnanya.
Garis-garis dalam karya ini bervariasi dari tebal dan tegas hingga tipis dan halus. Garis-garis tersebut memberikan arah dan gerakan dalam komposisi, menciptakan dinamika yang menarik. Ada garis yang terstruktur dan lurus, serta garis yang lebih tegas dan mengalir. Sementara itu, bentuk-bentuk yang dihadirkan sebagian besar bersifat abstrak dan tidak beraturan. Ada perpaduan antara bentuk geometris dan bentuk bebas yang memberikan kedalaman dan kompleksitas pada karya. Interaksi antara bentuk-bentuk ini membuat setiap karya memiliki keunikan tersendiri. Tekstur dalam karya-karya ini sangat kaya dan beragam.
Gung Putra menggunakan teknik yang menghasilkan efek visual yang mendalam, seperti area yang halus dan datar, serta area yang lebih berlapis dan kasar. Tekstur ini memberikan dimensi tambahan pada karya. Melangkapi anasir tersebut, Gung Putra menata komposisi visual di setiap karya dengan seimbang dan terencana dengan baik. Elemen warna, garis, bentuk, dan tekstur disusun sedemikian rupa sehingga menciptakan harmoni dan kesatuan. Meskipun bersifat abstrak, setiap karya memiliki titik fokus yang menarik perhatian, sementara elemen-elemen lainnya mendukung keseluruhan visual. Begitulah tafsir saya pada ‘puisi visual’ yang dihadirkan Gung Putra, dengan pendekatan Kosa Poetika. [T]
Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA