MESKI Hari Raya Galungan sepertinya sangat identik dengan Pulau Dewata, namun perayaan agama Hindu itu juga dapat dirasakan di berbagai kota besar di Indonesia, salah satunya adalah Yogyakarta. Di tengah denyut nadi Yogyakarta yang khas dengan tradisi Jawa, perayaan besar Hari Galungan kini juga menjadi bagian dari warna Yogyakarta. Setiap enam bulan sekali, kota ini menjadi saksi bagaimana umat Hindu Bali yang merantau tetap menjaga tradisi leluhur sembari berbaur dengan kearifan lokal setempat.
Galungan adalah hari yang menandai kemenangan dharma atas adharma dan menjadi salah satu hari raya paling penting dalam kalender keagamaan Hindu Bali. Galungan selalu dirayakan setiap 210 hari sekali yang dihitung berdasarkan Pawukon.
Di Bali, Galungan selalu dirayakan dengan meriah. Mulai dari seluruh desa dihiasi dengan penjor, masing-masing keluarga membuat banten, dan umat Hindu selalu memadati pura untuk bersembahyang dengan pakaian adat terbaik mereka.
Lalu, bagaimana jika hari raya Galungan ini dirayakan di luar Bali? Contohnya seperti di Yogyakarta, di mana umat Hindu Bali hidup sebagai perantau, mahasiswa, pekerja, dan beberapa ada yang sudah menetap, Galungan tetap hidup dengan penuh makna. Bahkan, menjadi salah satu momen penting dalam menjaga identitas dan membangun jembatan antar budaya.

Persiapan Galungan di Pura Sanatanagama UGM Yogyakarta | Foto: Prayuda
Pusat kegiatan Galungan di Yogyakarta berada di beberapa pura besar, seperti Pura Jagatnatha di Banguntapan dan Pura Sanatanagama yang terletak di kawasan kampus Universitas Gadjah Mada.
Sejak beberapa hari sebelum Galungan, pura ini mulai ramai dengan berbagai persiapan seperti pembersihan lingkungan pura, pemasangan wastra, dan beberapa di antaranya ada yang membuat sarana upacara. Para mahasiswa Hindu yang tergabung dalam organisasi Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD), biasanya memegang peran besar dalam pelaksanaan Galungan di Yogyakarta khususnya di Pura Sanatanagama.
Mereka bekerja sama mempersiapkan upacara, membersihkan kawasan pura, dan menyambut umat yang datang dari berbagai penjuru kota.
Yang menjadikan Galungan di Yogyakarta terasa sangat istimewa adalah nuansa pertemuan budaya yang harmonis dan hidup berdampingan. Meskipun Galungan adalah tradisi Bali, namun pelaksanaannya di Yogyakarta selalu terbuka. Hal ini menciptakan ruang dialog kultural yang alami, tanpa rekayasa.

Persembahyangan Galungan di Pura Sanatanagama UGM Yogyakarta | Foto: Prayuda
Perayaan ini tidak hanya menjadi momentum spiritual, tetapi juga menghadirkan daya tarik budaya tersendiri. Mahasiswa dan perantau asal Bali yang tinggal di Yogyakarta tampil dalam busana adat, menghadiri persembahyangan bersama, dan melaksanakan tradisi leluhur hingga kegiatan nunas ica (memohon restu Tuhan).
Bagi umat Hindu Bali yang merantau ke Yogyakarta, Galungan adalah pengingat sekaligus penguat identitas di tengah kesibukan kuliah atau pekerjaan. Perayaan ini seakan menjadi titik temu kehidupan spiritual dalam dunia modern.
Identitas kultural ini tidak hanya dirawat lewat upacara keagamaan, tapi juga lewat kebersamaan. Momentum Galungan dimanfaatkan sebagai ajang temu keluarga besar perantau Bali, tempat melepas rindu, dan berbagi cerita, hingga saling memotivasi dalam menjalani kehidupan di tanah rantau.

Persembahyangan Galungan hingga malam hari di Pura Sanatanagama UGM Yogyakarta | Foto: Prayuda
Adanya perayaan Galungan di Yogyakarta juga menegaskan reputasi kota ini sebagai ruang hidup bagi keberagaman budaya dan agama. Pemerintah daerah serta masyarakat di Yogyakarta terbukti mampu menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi minoritas, tidak hanya untuk beribadah tetapi juga untuk mengekspresikan tradisi budayanya.
Ini menunjukkan bahwa kebudayaan Indonesia tidak hidup dalam sekat-sekat yang sempit dan di situlah implementasi kekuatan yang sesungguhnya dari Bhinneka Tunggal Ika.

Jaba Pura Sanatanagama UGM Yogyakarta | Foto: Prayuda saat Galungan | Foto: Prayuda
Sebagai penutup, Galungan di Yogyakarta bukanlah sekadar seremoni agama. Ia adalah simbol kekuatan budaya yang bertahan dan hidup di tanah rantau. Ini akan menjadi sebuah pengingat bahwa identitas bisa dijaga dan tumbuh di mana saja selama ada ruang untuk saling menghargai, berbagi, dan hidup berdampingan. [T]
Penulis: Kadek Prayuda Sathyananta
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: