MENDENGAR kata artefak, maka ingatan kita akan menuju ke arkeolog atau antropolog. Pasalnya, Artefak biasanya merujuk pada benda atau hasil karya yang dibuat oleh manusia, terutama yang memiliki nilai sejarah, budaya, arkeologi atau antropologi. Contohnya bisa berupa perhiasan kuno, alat-alat batu dari zaman prasejarah, manuskrip, atau bahkan bangunan tua. Artefak memberikan kita wawasan tentang kehidupan, teknologi, dan kebudayaan di masa lampau.
Menurut para ahli, artefak adalah objek buatan manusia atau perilakunya yang memiliki nilai historis, budaya, atau seni. National Geographic mendefinisikan artefak mencakup seni, alat, dan pakaian yang dibuat oleh manusia dari waktu dan tempat tertentu. Artefak juga bisa berupa benda seni maupun sisa-sisa benda seperti pecahan tembikar atau barang pecah belah.
Tak jauh berbeda dengan pendapat Science Daily, sebuah laman web dari Amerika yang banyak menerbitkan bidang sains secara churnalism. Menurut SD, artefak adalah benda yang dibuat atau dimodifikasi oleh budaya manusia, sering kali ditemukan melalui upaya arkeologis. Contohnya termasuk alat-alat batu, benda seni, bejana tembikar, atau benda logam seperti senjata dan perhiasan.
Koentjaraningrat, seorang antropolog terkemuka Indonesia, memiliki pandangan yang mendalam tentang artefak dalam konteks kebudayaan. Menyimak dari bukunya “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”, (1988). Beliau membagi kebudayaan 3 wujud utama, yakni : Ide, Aktivitas, dan Artefak.
Menurut Koentjaraningrat, Artefak, mencakup semua benda yang dihasilkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti alat-alat, pakaian, rumah, dan karya seni. Artefak ini tidak hanya memiliki nilai estetika tetapi juga nilai historis dan budaya.
Pendekatan Koentjaraningrat ini membantu kita memahami kebudayaan secara holistik, di mana artefak menjadi salah satu elemen penting dalam merekonstruksi kehidupan manusia di masa lalu. Dan upaya ‘revitalisasi’ dimasa kini, sebab artefak sering kali menjadi sumber utama dalam studi antropologi budaya, karena mereka memberikan wawasan tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan mereka dan bagaimana budaya berkembang dari dulu, kini, dan nanti.
Bincang soal artefak, ingatan saya tertuju pada karya Galung Wiratmaja yang di gelar di pameran “Metastomata : Metamorphosis Manifesto Galang Kangin”. Perhelatan tersebut digelar di Neka Art Museum, Ubud – 18 april hingga 18 Mei 2025.
Pada pameran itu, Galung mengusung konsep pada karyarupanya yang bertajuk “artefak”. Menurut interpretasi saya, ini merupakan refleksi ‘pembekuan’ dari ‘rangkaian proses. Ia, seakan menangkap esensi waktu yang berhenti sejenak, merangkum perjalanan yang bersifat fisik, nonfisik, hingga spiritual dan ekspresi kreatif yang kaya.
Selanjutnya, saya jadi ingat Margaret Mead, seorang antropolog budaya terkenal asal Amerika Serikat yang banyak berkontribusi dalam studi tentang hubungan antara kepribadian dan budaya. Ia dikenal karena penelitiannya di kawasan Polinesia, khususnya melalui buku “Coming of Age in Samoa” yang diterbitkan pada tahun 1928.
Dalam buku ini, Mead mengeksplorasi bagaimana budaya memengaruhi perkembangan remaja, dengan fokus pada perbedaan antara masyarakat Samoa dan masyarakat Barat. Penelitian-penelitian Mead sering kali memicu perdebatan, terutama karena pandangannya yang inovatif, dan terkadang kontroversial.
Di Bali, Margaret Mead pernah menulis buku Balinese Character: A Photographic Analysis ini karyanya bersama Gregory Bateson. Buku ini dapat dikaitkan dengan artefak, meskipun fokus utamanya adalah pada analisis budaya dan perilaku masyarakat Bali melalui fotografi. Buku setebal 277 halaman ini diterbitkan New York Academy of Sciences 1942.
Yang menarik dari buku ini, menggunakan lebih dari 700 foto untuk mendokumentasikan berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali, seperti ritual, seni, dan interaksi sosial. Foto-foto tersebut dapat dianggap sebagai “artefak visual” yang merekam budaya Bali pada masa itu.
Buku yang dasarkan pada penelitian mereka di Bali antara tahun 1936 dan 1939 ini juga mencakup deskripsi tentang benda-benda yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan upacara adat, yang secara teknis dapat dianggap sebagai artefak budaya.
Dengan demikian, buku ini tidak hanya memberikan wawasan tentang karakter masyarakat Bali, tetapi juga tentang artefak yang menjadi bagian dari kehidupan mereka. Karya Margaret Mead dan Gregory Bateson ini merupakan salah satu karya penting dalam antropologi visual, sebab menggabungkan pendekatan fotografi dengan analisis ilmiah.
Menariknya, pada buku ini Mead dan Bateson menggunakan foto sebagai alat untuk menganalisis pola perilaku dan struktur sosial masyarakat Bali. Mereka juga mencatat bagaimana budaya Bali membentuk kepribadian individu, termasuk melalui ritual dan interaksi sosial.
Salah satu fokus utama adalah pada konsep “trance” dalam budaya Bali, yang mereka anggap sebagai ekspresi penting dari karakter budaya Bali. Selain itu, mereka juga memperkenalkan konsep “ethos budaya,” yang menggambarkan bagaimana emosi dan perilaku individu diatur oleh norma budaya.
Buku Balinese Character: A Photographic Analysis ini sangat dihargai di kalangan ilmuwan dunia. Tapi, mohon maaf yang sebesar-besarnya – perkenankan saya mengkritisi karya akbar ini, menurut subyektifitas saya, pendekatan Mead dan Bateson mungkin terlalu subjektif, terutama dalam interpretasi mereka tentang budaya Bali.
Sepertinya, masih menurut saya, analisis melalui foto saja, tidaklah cukup. Kendati demikian, sumbangan mereka pada dunia keilmuan luar biasa memang. Dan tetap menjadi referensi penting dalam studi antropologi dan budaya visual. Kita harapkan juga, ke depannya karya visual bli Galung juga bisa memberi kontribusi ke dunia keilmuan.
Kembali ke karyarupa Galung, objek kubus pada permukaan bertekstur di belakang kanvas, berpadu karya abstrak dengan warna-warna hangat, memberikan kesan mendalam tentang perpaduan antara yang material dan yang imaterial. Sepertinya, Galung berupaya menggali refleksinya tentang energi alam dan eksplorasi ruang.
Tampak, Galung mengeksplorasi hubungan antara tradisi dan modernitas melalui penggunaan struktur kayu dengan elemen abstrak. Warna-warna seperti cokelat, merah, oranye, dan putih menciptakan kesan tekstur yang kaya, yang mungkin merepresentasikan lapisan sejarah atau Budaya sesuai pemahaman perupanya.
Ia, melibatkan eksplorasi media yang tidak konvensional (kubus kayu di belakang kanvas) dalam karya ini. Penggunaan kayu sebagai media utama menunjukkan pendekatan yang menggabungkan elemen alami dengan seni abstrak. Hal ini mencerminkan tren dalam seni kontemporer yang sering kali memadukan bahan tradisional dengan teknik modern.
Jika kita hendak mempergunakan pendekatan semiotika, karya seni dipahami sebagai sistem tanda. Elemen visual seperti warna cokelat, merah, oranye, dan putih dalam karya ini dapat dianggap sebagai “penanda” yang mengacu pada lapisan sejarah atau budaya. Kayu sebagai media yang membentuk kubus di belakang lukisan, mungkin menjadi “petanda” yang merepresentasikan hubungan sang perupa dengan hasil alam.
Memang, semiotika menekankan bahwa makna karya seni tidak hanya berasal dari seniman, tetapi juga dari interpretasi audiens. Judul Artefak ini mengundang audiens untuk merenungkan apa yang dianggap sebagai artefak dalam konteks budaya modern.
Pendekatan yang di sampaikannya, benar-benar menggambarkan kedalaman seni sebagai medium eksplorasi ruang, emosi, dan spiritualitas. Penekanan pada elemen non-fisik seperti ekspresi, emosi, dan spirit memberikan dimensi yang sangat penting dalam karya seni.
Ini, memungkinkan audiens untuk terhubung dengan energi alam dan imaji bawah sadar. Ide bahwa alam menjadi titik tolak kreatifitas, di mana realitas spiritual menjadi latar belakang, adalah sebuah konsep yang kuat—memposisikan seni sebagai sarana untuk menyadari kekuatan dan siklus alamiah, serta dampak disharmoni.
Karakteristik karya rupa abstrak Galung ini, didominasi warna merah, oranye, dan cokelat.. Melihat elemen-elemen visual seperti warna, tekstur, dan komposisi – karya-karya ini menunjukkan penggunaan tekstur yang kaya dan teknik layering yang menciptakan kedalaman serta dinamika.
Warna-warna hangat memberikan kesan energi dan intensitas. Galung tampak mencurahkan emosi atau pengalaman pribadinya, yang diterjemahkan melalui pola-pola abstrak dan warna yang kuat. Apakah ini mencerminkan muatan tradisi atau simbolisme lokal ?? Nah ini menarik untuk didiskusikan dengan perupanya.
Secara visual, pemanfaatan ruang yang bersifat eksploratif dapat mengacu pada teori spatial aesthetics, di mana hubungan antara objek seni dan ruang sekitarnya menciptakan makna baru. Ruang yang “melebar” atau “menonjol” mencerminkan upaya untuk melampaui batas konvensional, sehingga karya seni tidak hanya menawarkan estetika tetapi juga menjadi pengalaman yang interaktif dan reflektif.
Selain itu, melibatkan alam bawah sadar dan emosi dalam kekaryaan dapat dikaitkan dengan pendekatan psikologi seni, seperti yang dijelaskan oleh Carl Jung. Jung sering menghubungkan seni dengan simbolisme dan arketipe yang muncul dari alam bawah sadar. Ini dapat dianalisis melalui pendekatan psychoanalytic aesthetics.

Karya Galung Wiratmaja yang dipamerkan bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, Ubud | Foto: Ist
Karya Galung ini, menggunakan simbol dan visual untuk memprovokasi respons emosional yang mendalam, yang menurut Freud dan Jung berasal dari interaksi antara kesadaran dan alam bawah sadar. Simbolisme dan eksplorasi bawah sadar dalam karya ini memberi dimensi spiritual yang memperkaya interpretasi seni. Begitulah menariknya karya Galung Wiratmaja.
Objek kubus pada permukaan bertekstur di belakang kanvas, berpadu karya abstrak dengan warna-warna hangat, memberikan kesan mendalam tentang perpaduan antara yang material dan yang imaterial. Sepertinya, Galung berupaya menggali refleksinya tentang energi alam dan eksplorasi ruang.
Tampak, Galung mengeksplorasi hubungan antara tradisi dan modernitas melalui penggunaan struktur kayu dengan elemen abstrak. Warna-warna seperti cokelat, merah, oranye, dan putih menciptakan kesan tekstur yang kaya, yang mungkin merepresentasikan lapisan sejarah atau Budaya sesuai pemahaman perupanya.
Ia, melibatkan eksplorasi media yang tidak konvensional (kubus kayu di belakang kanvas) dalam karya ini. Penggunaan kayu sebagai media utama menunjukkan pendekatan yang menggabungkan elemen alami dengan seni abstrak. Hal ini mencerminkan tren dalam seni kontemporer yang sering kali memadukan bahan tradisional dengan teknik modern.
Jika kita hendak mempergunakan pendekatan semiotika, karya seni dipahami sebagai sistem tanda. Elemen visual seperti warna cokelat, merah, oranye, dan putih dalam karya ini dapat dianggap sebagai “penanda” yang mengacu pada lapisan sejarah atau budaya. Kayu sebagai media yang membentuk kubus di belakang lukisan, mungkin menjadi “petanda” yang merepresentasikan hubungan sang perupa dengan hasil alam.
Memang, semiotika menekankan bahwa makna karya seni tidak hanya berasal dari seniman, tetapi juga dari interpretasi audiens. Judul Artefak ini mengundang audiens untuk merenungkan apa yang dianggap sebagai artefak dalam konteks budaya modern.
Pendekatan yang di sampaikannya, benar-benar menggambarkan kedalaman seni sebagai medium eksplorasi ruang, emosi, dan spiritualitas. Penekanan pada elemen non-fisik seperti ekspresi, emosi, dan spirit memberikan dimensi yang sangat penting dalam karya seni.
Ini, memungkinkan audiens untuk terhubung dengan energi alam dan imaji bawah sadar. Ide bahwa alam menjadi titik tolak kreatifitas, di mana realitas spiritual menjadi latar belakang, adalah sebuah konsep yang kuat—memposisikan seni sebagai sarana untuk menyadari kekuatan dan siklus alamiah, serta dampak disharmoni.
Karakteristik karya rupa abstrak Galung ini, didominasi warna merah, oranye, dan cokelat.. Melihat elemen-elemen visual seperti warna, tekstur, dan komposisi – karya-karya ini menunjukkan penggunaan tekstur yang kaya dan teknik layering yang menciptakan kedalaman serta dinamika.
Warna-warna hangat memberikan kesan energi dan intensitas. Galung tampak mencurahkan emosi atau pengalaman pribadinya, yang diterjemahkan melalui pola-pola abstrak dan warna yang kuat. Apakah ini mencerminkan muatan tradisi atau simbolisme lokal ?? Nah ini menarik untuk didiskusikan dengan perupanya.
Secara visual, pemanfaatan ruang yang bersifat eksploratif dapat mengacu pada teori spatial aesthetics, di mana hubungan antara objek seni dan ruang sekitarnya menciptakan makna baru. Ruang yang “melebar” atau “menonjol” mencerminkan upaya untuk melampaui batas konvensional, sehingga karya seni tidak hanya menawarkan estetika tetapi juga menjadi pengalaman yang interaktif dan reflektif.
Selain itu, melibatkan alam bawah sadar dan emosi dalam kekaryaan dapat dikaitkan dengan pendekatan psikologi seni, seperti yang dijelaskan oleh Carl Jung. Jung sering menghubungkan seni dengan simbolisme dan arketipe yang muncul dari alam bawah sadar. Ini dapat dianalisis melalui pendekatan psychoanalytic aesthetics.
Karya Galung ini, menggunakan simbol dan visual untuk memprovokasi respons emosional yang mendalam, yang menurut Freud dan Jung berasal dari interaksi antara kesadaran dan alam bawah sadar. Simbolisme dan eksplorasi bawah sadar dalam karya ini memberi dimensi spiritual yang memperkaya interpretasi seni. Begitulah menariknya karya Galung Wiratmaja.
Menurut saya, jika Galung Wiratmaja ingin terus mengembangkan proses kreatif ‘trimatra’ nya sesuai thema Metastomata yang merupakan metamorphosis Manifesto Galang Kangin – ada baiknya menyimak proses kreatif perupa Anselm Kiefer. Seniman Jerman ini sering menggunakan bahan-bahan seperti kayu, tanah, dan logam dalam karya-karyanya. Kiefer mengeksplorasi tema sejarah, budaya, dan memori melalui seni abstrak.
Dalam seluruh karyanya, Kiefer berargumen dengan masa lalu dan membahas isu-isu tabu dan kontroversial dari sejarah terkini. Tema-tema dari pemerintahan Nazi tercermin secara khusus dalam karyanya; misalnya, lukisan Margarete (cat minyak dan jerami di atas kanvas) terinspirasi oleh puisi terkenal Paul Celan yang berjudul “Todesfuge” (“Death Fugue”). Kita semua tentu berharap, Semoga thema pameran ini benar-benar bisa menyentuh kesadaran Galung untuk terus me-metamorfosis-kan proses kreatifnya, tanpa henti, Astungkara. [T]
Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA