DALAM ruang seni kiwari para seniman berlomba-lomba untuk menciptakan kebaruan. Seniman ingin apa yang diciptakannya menjadi ciptaan paling baru dan belum ada duanya. Ide-ide pun meletup dengan marak.
Pada sebuah kasus yang amat menarik dan ramai diperbincangkan, pada tahun 2021 karya Salvatore Garau, seorang seniman asal Italia, yang berjudul lo sono (Aku), laku terlelang dengan harga 18.300 dollar amerika. Patung ini, apabila bisa disebut demikian, tidak memiliki bentuk fisik. Sang seniman melepaskan interpretasi dan bentuk patung tersebut kepada audiens. Maka apabila sang audiens tidak memiliki imajinasi apapun akan interpretasi dan bentuk sang patung, patung tersebut tidak ada sama sekali. Pemenang lelang karya ini mendapatkan sertifikat otentikasi karya – semata tanda bahwa karya tersebut memanglah ada.
Ide karya seperti ini barangkali ada yang menilainya sebagai ide buruk. Sebuah ide buruk yang terjual dengan harga begitu mahal. Beberapa orang awam dari teman-teman saya, ketika saya mencoba untuk menceritakan fenomena ini mereka pada kaget. Bagi mereka ini adalah semata nonsense seni kontemporer.
Untuk itu, baiknya, saya menceritakan kisah lain tentang betapa tidak dipahaminya seorang seniman dan batasan-batasan yang kian kabur. Seorang seniman, Marcel Duchamp, mulai mengumpulkan objek-objek sehari-hari dan membawanya ke dalam studio. Pada tahun 1917, ketika saudari Duchamp sedang membersihkan studio milik sang seniman, ia tanpa sengaja membuang objek-objek sehari-hari tersebut (yang Duchamp anggap sebagai karya seni) ke tempat sampah, yang menurutnya sebuah tempat yang lebih cocok untuk barang-barang tersebut.[1]
Nyatanya karya seni sudah tidak dapat ditinjau semata berdasarkan keindahannya lagi. Kita percaya apa yang kita lihat adalah karya seni, barangkali sebab orang-orang dalam dunia seni juga mengakui bahwa karya tersebut juga merupakan karya seni. Pun terkadang kita keheranan bagaimana bisa orang-orang dalam dunia seni menganggap sesuatu sebagai sebuah karya seni. Satu hal yang dapat dipastikan ialah tiap karya memiliki ruang nya sendiri. Dalam ruang ini, terdapat karya yang memiliki banyak audiens – dengan begitu banyak orang yang mengamini statusnya sebagai karya seni. Pun sebaliknya, terdapat karya yang sepi ruangnya – yang mengakuinya sebagai sebuah karya hanya orang yang itu-itu saja.
Di tahun yang sama saat karyanya dibuang ke tong sampah oleh saudarinya, Duchamp, mengirimkan sebuah karya ke sebuah pameran seni. Karya tersebut merupakan sebuah urinoir (objek sehari-hari, atau readymade) yang ia beli di sebuah toko. Urinoir tersebut dibalik dan diberi tanda tangan R.Mutt. Karya dikirim dengan nama samaran dan tidak banyak yang tahu bahwa Duchamp-lah pengirim karya tersebut. Karya itu ditolak oleh The Society of Independent Artist, sang penyelenggara pameran. Celah unik lain dari kisah ini adalah bahwa Duchamp sejatinya merupakan anggota dewan dan presiden komite pemilihan karya pameran tersebut.[2]
Nyatanya karya ini ditolak. Duchamp sukses mengecoh. Ia dengan posisinya mencoba melakukan gocek dan parodipada penyelenggara yang melakukan klaim demokratis dan tidak ada batasan pada seni, dengan membayar 6 dollar karya mesti dipamerkan. Kemudian terbitlah pertanyaan apa saja yang seni dan yang bukan? Apa memang seni itu otonom? Jika iya mengapa ada karya yang ditolak sebagai bukan karya seni.
Ketika karya diputuskan untuk tidak ditampilkan ia pun kemudian keluar dari keanggotaan komite sebagai bentuk protes. Duchamp keluar ditemani oleh seorang annggota lain Walter Arensberg, seorang kolektor dan kritikus. Setelah skandal tersebut seorang teman Duchamp, Louise Varese, saat itu Louise Norton, menulis sebuah artikel di majalah periodikal beraliran Dada, The Blind Man Magazine, berjudul Buddha of the Bathroom yang mempertahankan Fountain-nya Richard Mutt itu.[3] Bisa dilihat bahwa sekalipun mengalami penolakan, masih terdapat ruang orang-orang yang masih percaya Fountain sebagai suatu karya seni.
Di tahun 1938. Duchamp mencoba mereplikasi karya Fountain yang ditolak itu. Alih-alih membeli urinoir baru, sebagaimana prinsip readymade diawal, Duchamp membuat sebuah miniatur dengan kawat dan papier-mache. Ia membolak-balikk logika seniman sebagai pencipta. Miniatur ini disusun bersama monografi kumpulan karya Duchamp lain yang ia kumpulkan di sebuah kotak semacam koper, boite en valise, sebagai museum portabel miliknya. Fountain menjadi karya yang dikenang oleh Duchamp, yang ia anggap penting.
Dari cerita Duchamp, maka karya seni, utamanya, bisa dilihat bukan lagi sebagai sekadar isi. Fountain masuk ke dalam pengakuan institusi seni sebab ia adalah kritik yang dijadikan sebagai sebuah karya. Ia, juga, adalah suatu yang penting sebab ia diangkat oleh tangan-tangan yang mengemas, mensirkulasikan, dan menampilkannya. Ia adalah karya sebab pengakuan dan legitimasi. Ia diakui sebab narasi, dokumentasi, sirkulasi, dan cerita skandal yang sudah menjadi semacam legenda. Ia diakui secara luas tentu juga oleh sebab para subjek yang mengakuinya.
Pada akhirnya, medan seni, mengikuti penjelasan Bourdieu, adalah sebuah ruang stratifikasi simbolik.[4] Semakin tinggi nilai simbolik (legitimasi) milik seorang subjek maka semakin tinggi pula posisinya dalam dunia seni. Ruang institusi seni secara otomatis memilih mana yang layak dan tidak untuk tampil. Dengan semakin dekat dengan selera para elit dunia seni, maka ruang untuk kesempatan kaya dan terkenal semakin besar karna subjek-subjek dalam ruang yang lebih banyak pula.
Tentu seni akan jadi membosankan apabila yang dilihat dan diberi panggung hanya itu-itu saja. Oleh sebab ruang seni harus selalu digugat. Waktunya yang pinggiran, yang tidak diakui, dan yang bergerak di luar ruang arus utama untuk tampil. Dengan begitu, shock, kejutan, akan dapat terus dinikmati. [T]
[1] Marcel Duchamp to Suzanne Duchamp, 15 January 1916, in Affectionately Marcel: The Selected Correspondence of Marcel Duchamp, ed. Francis Naumann and Hector Obalk (London: Thames and Hudson, 2000), 43.
[2] Elena Filipovic, A Museum That is Not, E-Flux Journal, Issue 4 (2009), 02/09
[3] Louise Norton, Buddha of the Bathroom, The Blind Man, No.2 (May 1917), pp5-6
[4] Pierre Bourdieu, The Rules of Art: Genesis and Structure of the Literary Field, Stanford, CA: Stanford University Press (1996)
Penulis: Sectio Agung
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: