10 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Sredek, Makanan Pokok, dan Bagaimana Ia Nyaris Dilupakan

JaswantobyJaswanto
April 17, 2025
inKuliner
Sredek, Makanan Pokok, dan Bagaimana Ia Nyaris Dilupakan

Sredek dengan sambal kacang yang gurih | Foto: tatkala.co/Jaswanto

DI sekitar daerah Gaji, Kerek, Tuban, Jawa Timur, terdapat kuliner lama yang nyaris dilupakan. Namanya sredek, makanan yang terbuat dari singkong parut yang dibumbui garam lalu ditanak—seperti nasi—kemudian disajikan dengan parutan kelapa atau sambal kacang tanah. Makanan berkarbo ini biasanya dijadikan hidangan pagi dan dimasak ketika musim kemarau. Era 2000-an, kuliner ini juga dijajakan pedagang bersama jajanan pasar seperti klepon, jemblem, gethuk, gemblong (jadah), serabi, tape, dll. Namun, kini, sredek sudah jarang dikonsumsi, sebagaimana tiwul dan gatot—dua makanan yang sama-sama berbahan baku singkong.

Nama sredek memang tidak sepopuler gethuk, jenang, wajik, apem, bikang, atau ketan, yang notabene masih banyak dijajakan di warung-warung atau hadir dalam setiap acara seperti pernikahan, khitanan, slametan, atau kematian. Kuliner yang satu ini memang tidak berkaitan dengan kegiatan tradisi apa pun. Ia hanya sekadar makanan pokok pengganti nasi—walaupun di daerah Tulungagung, Jawa Timur, sredek tidak ditanak, tapi digoreng, menjadi cemilan alih-alih makanan pokok.   

Sredek tak tercatat dalam Serat Centhini (karya sastra yang ditulis pada kisaran 1814-1823 Masehi atas perintah Adipati Anom Amangkunagara III yang menjadi raja Kasunanan Surakarta dan bergelar Sunan Pakubuwana V—yang bertahta pada tahun 1820-1823 M), sebagaimana kuliner Jawa lainnya seperti jenang, gemblong, apem, jangan menir, bikang, criping, karag, pecel, gudheg, rujak, nasi uduk, ketan, lemet, pasung, atau legen, dll. Namanya hanya tersiar di pelosok-pelosok tegalan miskin di sekitar bukit-bukit kapur di Tuban. Dulu, ia menjadi makanan pokok di kalangan petani yang sulit memasak nasi—beras.

Zaman berlalu, ketika beras seolah sudah menjadi satu-satunya sumber karbohidrat manusia Tuban, sredek dilupakan dan perlahan-lahan menjelma sekadar ingatan yang ngendon di benak orang-orang desa tegalan pelosok yang sudah tua. Sekarang sredek sudah langka. Semua orang sudah makan nasi beras. Memang masih ada yang jual, tapi sangat jarang. Orang-orang makan sredek hanya karena ingin, hanya sekadar nostalgia, pengobat rindu. Tak benar-benar dibutuhkan seperti dulu.

Sependek ingatan saya, makanan seperti sredek—pun nasi jagung—juga mengandung stigma negatif di kalangan masyarakat tertentu. Dulu, ada anggapan bahwa masyarakat yang menjadikan beras sebagai makanan pokoknya memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada masyarakat yang mengonsumsi singkong atau jagung. Masyarakat yang mengonsumsi sredek sebagai makanan pokok dianggap memiliki status sosial lebih rendah atau digolongkan dalam kelompok miskin.

Sredek dengan sambal kacang yang gurih | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Waktu duduk di bangku sekolah dasar, saya punya seorang teman yang selalu mengantuk di kelas. Tidak konsentrasi saat belajar. Dan kata guru kami, entah ini hanya lelucon atau serius, bahwa teman saya yang ngantukan itu dikarenakan sering makan nasi jagung dan sredek sebelum berangkat ke sekolah. Ya, makan terlalu banyak karbohidrat memang bisa menyebabkan kantuk karena meningkatnya kadar triptofan dan melatonin dalam tubuh. Tapi bukankah nasi beras juga demikian?

Langkanya—untuk tidak mengatakan lenyapnya—sredek sebagai makanan pokok saya kira berkaitan dengan adanya pergeseran pola pangan di Indonesia, sebagaimana Bapanas (Badan Pangan Nasional) mengungkapkannya. Pada era 2000-an, pola konsumsi pangan di beberapa wilayah di Indonesia masih beragam. Selain makan beras, pada era itu masyarakat masih dominan mengonsumsi jagung, ubi jalar, sorgum dan sagu—untuk wilayah Timur. Namun, memasuki 2010 konsumsi beras dan terigu semakin mendominasi. Dan itu, sedikit banyak sepertinya dipengaruhi oleh berasisasi pada masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru).

Beras menggusur jagung-singkong di Jawa, sorgum di Nusa Tenggara Timur (NTT), dan menggantikan sagu di Papua. Diversifikasi “merangkak” ini terjadi kira-kira selama dua dekade di masa Orde Baru, periode 1970 hingga 1980-an. Ketika budaya beras masuk, lidah masyarakat—termasuk di perdesaan di Tuban—beralih yang awalnya biasa makan jagung-singkong kini harus mengonsumsi nasi beras. Petani atau masyarakat pada umumnya, kalau belum makan nasi disebut belum makan—walaupun sudah menandaskan sepiring ubi resbus.

Mengenai hal tersebut, atas kesadaran yang ganjil, beberapa pejabat pemerintahan seperti keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada 2014 silam—pun orang-orang kota yang fokus pada soal ketahanan pangan—menganjurkan masyarakat untuk kembali mengonsumsi makanan lokal—walaupun pada kenyataannya tidak mudah dilakukan. Butuh tenaga ekstra untuk mengubah cara berpikir masyarakat dan mengembalikan kepercayaan diri untuk mengonsumsi makanan lokal. Meskipun sejatinya mereka tahu, makan panganan lokal—seperti sredek, misalnya—bukan berarti status sosialnya lebih rendah dibandingkan mereka yang makan nasi beras.

Ya, seperti kata Mohammad Wail, seniman teater yang dibimbing Toni Brur itu, anjuran untuk kembali mengonsumsi pangan lokal ini adalah sebuah keganjilan. Hal itu menurutnya aneh. Dulu masyarakat seolah “dipaksa” untuk mengonsumsi beras, sekarang, saat lidah orang desa sudah familiar dengan nasi beras, malah dianjurkan kembali mengonsumsi pangan lokal. Ia merespon keganjilan tersebut dengan membaca dan menjelaskan isi kitab berbahasa Madura—yang bersampul oranye tanpa judul—dalam pertunjukan Pangan dan Kata-Kata yang Tak Cukup (2023) karya Jacko Kaneko yang dipentaskan di Pekan Kebudayaan Nasional 2023.

Akar Sejarah Singkong

Singkong (Manihot Utilisima) dikenal dengan banyak penyebutan di Indonesia. Di kawasan Melayu disebut ketela pohon, ubi kayu, ubi jalar, dan singkong; di Jawa disebut kaspe, tela cabut, bodin, menyok, sabrang; di Sunda disebut sampeu; dan di Madura disebut dengan balandong. Dalam kosakata Indonesia, sebutan ketela pohon—di samping singkong, ubi kayu, dan ubi jalar—lebih umum digunakan. Ketela pohon merupakan jenis pangan yang populer di kalangan masyarakat Indonesia. Sejak lama, ketela pohon disukai untuk dibudidayakan di berbagai daerah karena tanaman ini selain mudah ditanam juga memiliki daya adaptasi tumbuh di kondisi lahan apa pun.

Dari penelusuran sejarah, singkong diperkirakan mulai dibudidayakan sekitar 5000 tahun yang lalu. Asal tanaman ini masih diperdebatkan oleh para ahli botani dan arkeologi. Hingga akhir abad ke-19, kebanyakan peneliti bersepakat spesies Manihot berasal dari Amerika Selatan. Mereka menyebut Brasil sebagai daerah asal yang paling mungkin, karena kawasan ini adalah “rumah” bagi pertubuhan aneka ragam Manihot terbesar. Hipotesis ini didasarkan pada bukti berkurun waktu antara 110 dan 1300 M yang terletak di Pulau Marajo di delta Amazon. Begitu Anna Curtenius Roosevelt menulis dalam karyanya Parmana: Prehistoric Maize and Manioc Subsistence along the Amazon and Orinoco (1980).

Manihot adalah satu dari sekian banyak jenis tanaman dari Benua Amerika (selain di antaranya ubi jalar, kentang, jagung, kacang tanah, dan tomat) yang dibawa masuk secara bergelombang ke Nusantara sejak abad ke-16 oleh para pedagang Portugis dan Spanyol. Menurut Hayono Rinardi dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong masuk ke Indonesia dibawa oleh Portugis ke Maluku sekitar abad ke-16. Sedangkan peneliti pertanian A.J. Koens (1946) menduga ketela pohon masuk ke Jawa pada awal abad ke-17 dari Maluku.

Gemblong dengan sambal kacang dan parutan kelapa | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Sementara peneliti lainnya, I.H. Burkill (1935) menyatakan ketela pohon diperkenalkan ke Jawa pada akhir abad ke-18. Tapi Thomas Stamford Raffles (1817) dalam History of Java-nya tidak menyebut ketela pohon namun ia menyebut tanaman impor dari Benua Amerika seperti jagung dan ubi jalar.

Diperkirakan singkong kali pertama diperkenalkan di suatu kabupaten di Jawa Tumur pada 1852. Namun hingga 1876, seturut catatan H.J. van Swieten, kontrolir di Trenggalek, dalam De zoete cassave (Jatropha Janipha) yang terbit 1875, singkong kurang dikenal di beberapa daerah di Jawa meski ditanam besar-besar di bagian lainnya. Baru pada abad ke-20, konsumsinya meningkat pesat. Singkong ditanam meluas, seturut pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang pesat.

Dalam Akar Sejarah Singkong (2014), Hendri F. Isnaeni menulis, menurut Creutzberg dan van Laanen, meski nilai singkong sebagai makanan kurang dibandingkan beras dan jagung, ia mengggantikan beras di berbagai bagian Jawa Tengah—sebenarnya juga di Jawa Timur perbatasan bagian barat—pada masa paceklik sebelum panen atau saat gagal panen. Dan sebagaimana telah saya singgung di atas, Isnaeni melanjutkan, “menurut Marwati dan Nugroho, karena dipandang lebih rendah daripada padi sebagai bahan pangan pokok, singkong memiliki reputasi buruk di kalangan pakar ekonomi pertanian.” Selain kandungan proteinnya lebih rendah daripada padi, di beberapa kalangan singkong dianggap dekat dengan istilah yang menakutkan: kemiskinan.

Tetapi mungkin itu anggapan masa lalu. Bisa saja, pada era tertentu di masa depan, singkong—atau lebih spesifik kuliner macam sredek—akan kembali digemari, dikonsumsi, disajikan secara estetik di resto-resto borju dengan narasi-narasi atau istilah-istilah ilmiah-akademis, dipandang sebagai makanan masa depan saat penduduk membeludak menyesaki Bumi dan meningkatnya kebutuhan pangan dunia. Semoga, saat masa itu tiba, kita masih bisa menanam singkong di samping banyak orang menanam beton di lahan-lahan produktif. [T]

Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole

  • BACA JUGA:
Mbah Candi dan Tangan yang Meracik Ramuan Pelancar Air Susu Ibu
Hikayat Kapas di Tuban dan Perempuan Tua yang Memintalnya
Menyigi Masa Depan Petani Jagung di Tuban, Jawa Timur
Tags: Kabupaten Tubankuliner tradisionalmakanan pokokTuban Bercerita
Previous Post

Dia Dipa, Dia Barista, Dia Tunarungu: Tetes Kopi Racikan Cerita Hidupnya

Next Post

Bali, Pemimpin, Sampah dan “Campah”

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Bali, Pemimpin, Sampah dan “Campah”

Bali, Pemimpin, Sampah dan "Campah"

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co