DI sekitar daerah Gaji, Kerek, Tuban, Jawa Timur, terdapat kuliner lama yang nyaris dilupakan. Namanya sredek, makanan yang terbuat dari singkong parut yang dibumbui garam lalu ditanak—seperti nasi—kemudian disajikan dengan parutan kelapa atau sambal kacang tanah. Makanan berkarbo ini biasanya dijadikan hidangan pagi dan dimasak ketika musim kemarau. Era 2000-an, kuliner ini juga dijajakan pedagang bersama jajanan pasar seperti klepon, jemblem, gethuk, gemblong (jadah), serabi, tape, dll. Namun, kini, sredek sudah jarang dikonsumsi, sebagaimana tiwul dan gatot—dua makanan yang sama-sama berbahan baku singkong.
Nama sredek memang tidak sepopuler gethuk, jenang, wajik, apem, bikang, atau ketan, yang notabene masih banyak dijajakan di warung-warung atau hadir dalam setiap acara seperti pernikahan, khitanan, slametan, atau kematian. Kuliner yang satu ini memang tidak berkaitan dengan kegiatan tradisi apa pun. Ia hanya sekadar makanan pokok pengganti nasi—walaupun di daerah Tulungagung, Jawa Timur, sredek tidak ditanak, tapi digoreng, menjadi cemilan alih-alih makanan pokok.
Sredek tak tercatat dalam Serat Centhini (karya sastra yang ditulis pada kisaran 1814-1823 Masehi atas perintah Adipati Anom Amangkunagara III yang menjadi raja Kasunanan Surakarta dan bergelar Sunan Pakubuwana V—yang bertahta pada tahun 1820-1823 M), sebagaimana kuliner Jawa lainnya seperti jenang, gemblong, apem, jangan menir, bikang, criping, karag, pecel, gudheg, rujak, nasi uduk, ketan, lemet, pasung, atau legen, dll. Namanya hanya tersiar di pelosok-pelosok tegalan miskin di sekitar bukit-bukit kapur di Tuban. Dulu, ia menjadi makanan pokok di kalangan petani yang sulit memasak nasi—beras.
Zaman berlalu, ketika beras seolah sudah menjadi satu-satunya sumber karbohidrat manusia Tuban, sredek dilupakan dan perlahan-lahan menjelma sekadar ingatan yang ngendon di benak orang-orang desa tegalan pelosok yang sudah tua. Sekarang sredek sudah langka. Semua orang sudah makan nasi beras. Memang masih ada yang jual, tapi sangat jarang. Orang-orang makan sredek hanya karena ingin, hanya sekadar nostalgia, pengobat rindu. Tak benar-benar dibutuhkan seperti dulu.
Sependek ingatan saya, makanan seperti sredek—pun nasi jagung—juga mengandung stigma negatif di kalangan masyarakat tertentu. Dulu, ada anggapan bahwa masyarakat yang menjadikan beras sebagai makanan pokoknya memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada masyarakat yang mengonsumsi singkong atau jagung. Masyarakat yang mengonsumsi sredek sebagai makanan pokok dianggap memiliki status sosial lebih rendah atau digolongkan dalam kelompok miskin.

Sredek dengan sambal kacang yang gurih | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Waktu duduk di bangku sekolah dasar, saya punya seorang teman yang selalu mengantuk di kelas. Tidak konsentrasi saat belajar. Dan kata guru kami, entah ini hanya lelucon atau serius, bahwa teman saya yang ngantukan itu dikarenakan sering makan nasi jagung dan sredek sebelum berangkat ke sekolah. Ya, makan terlalu banyak karbohidrat memang bisa menyebabkan kantuk karena meningkatnya kadar triptofan dan melatonin dalam tubuh. Tapi bukankah nasi beras juga demikian?
Langkanya—untuk tidak mengatakan lenyapnya—sredek sebagai makanan pokok saya kira berkaitan dengan adanya pergeseran pola pangan di Indonesia, sebagaimana Bapanas (Badan Pangan Nasional) mengungkapkannya. Pada era 2000-an, pola konsumsi pangan di beberapa wilayah di Indonesia masih beragam. Selain makan beras, pada era itu masyarakat masih dominan mengonsumsi jagung, ubi jalar, sorgum dan sagu—untuk wilayah Timur. Namun, memasuki 2010 konsumsi beras dan terigu semakin mendominasi. Dan itu, sedikit banyak sepertinya dipengaruhi oleh berasisasi pada masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru).
Beras menggusur jagung-singkong di Jawa, sorgum di Nusa Tenggara Timur (NTT), dan menggantikan sagu di Papua. Diversifikasi “merangkak” ini terjadi kira-kira selama dua dekade di masa Orde Baru, periode 1970 hingga 1980-an. Ketika budaya beras masuk, lidah masyarakat—termasuk di perdesaan di Tuban—beralih yang awalnya biasa makan jagung-singkong kini harus mengonsumsi nasi beras. Petani atau masyarakat pada umumnya, kalau belum makan nasi disebut belum makan—walaupun sudah menandaskan sepiring ubi resbus.
Mengenai hal tersebut, atas kesadaran yang ganjil, beberapa pejabat pemerintahan seperti keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada 2014 silam—pun orang-orang kota yang fokus pada soal ketahanan pangan—menganjurkan masyarakat untuk kembali mengonsumsi makanan lokal—walaupun pada kenyataannya tidak mudah dilakukan. Butuh tenaga ekstra untuk mengubah cara berpikir masyarakat dan mengembalikan kepercayaan diri untuk mengonsumsi makanan lokal. Meskipun sejatinya mereka tahu, makan panganan lokal—seperti sredek, misalnya—bukan berarti status sosialnya lebih rendah dibandingkan mereka yang makan nasi beras.
Ya, seperti kata Mohammad Wail, seniman teater yang dibimbing Toni Brur itu, anjuran untuk kembali mengonsumsi pangan lokal ini adalah sebuah keganjilan. Hal itu menurutnya aneh. Dulu masyarakat seolah “dipaksa” untuk mengonsumsi beras, sekarang, saat lidah orang desa sudah familiar dengan nasi beras, malah dianjurkan kembali mengonsumsi pangan lokal. Ia merespon keganjilan tersebut dengan membaca dan menjelaskan isi kitab berbahasa Madura—yang bersampul oranye tanpa judul—dalam pertunjukan Pangan dan Kata-Kata yang Tak Cukup (2023) karya Jacko Kaneko yang dipentaskan di Pekan Kebudayaan Nasional 2023.
Akar Sejarah Singkong
Singkong (Manihot Utilisima) dikenal dengan banyak penyebutan di Indonesia. Di kawasan Melayu disebut ketela pohon, ubi kayu, ubi jalar, dan singkong; di Jawa disebut kaspe, tela cabut, bodin, menyok, sabrang; di Sunda disebut sampeu; dan di Madura disebut dengan balandong. Dalam kosakata Indonesia, sebutan ketela pohon—di samping singkong, ubi kayu, dan ubi jalar—lebih umum digunakan. Ketela pohon merupakan jenis pangan yang populer di kalangan masyarakat Indonesia. Sejak lama, ketela pohon disukai untuk dibudidayakan di berbagai daerah karena tanaman ini selain mudah ditanam juga memiliki daya adaptasi tumbuh di kondisi lahan apa pun.
Dari penelusuran sejarah, singkong diperkirakan mulai dibudidayakan sekitar 5000 tahun yang lalu. Asal tanaman ini masih diperdebatkan oleh para ahli botani dan arkeologi. Hingga akhir abad ke-19, kebanyakan peneliti bersepakat spesies Manihot berasal dari Amerika Selatan. Mereka menyebut Brasil sebagai daerah asal yang paling mungkin, karena kawasan ini adalah “rumah” bagi pertubuhan aneka ragam Manihot terbesar. Hipotesis ini didasarkan pada bukti berkurun waktu antara 110 dan 1300 M yang terletak di Pulau Marajo di delta Amazon. Begitu Anna Curtenius Roosevelt menulis dalam karyanya Parmana: Prehistoric Maize and Manioc Subsistence along the Amazon and Orinoco (1980).
Manihot adalah satu dari sekian banyak jenis tanaman dari Benua Amerika (selain di antaranya ubi jalar, kentang, jagung, kacang tanah, dan tomat) yang dibawa masuk secara bergelombang ke Nusantara sejak abad ke-16 oleh para pedagang Portugis dan Spanyol. Menurut Hayono Rinardi dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong masuk ke Indonesia dibawa oleh Portugis ke Maluku sekitar abad ke-16. Sedangkan peneliti pertanian A.J. Koens (1946) menduga ketela pohon masuk ke Jawa pada awal abad ke-17 dari Maluku.

Gemblong dengan sambal kacang dan parutan kelapa | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Sementara peneliti lainnya, I.H. Burkill (1935) menyatakan ketela pohon diperkenalkan ke Jawa pada akhir abad ke-18. Tapi Thomas Stamford Raffles (1817) dalam History of Java-nya tidak menyebut ketela pohon namun ia menyebut tanaman impor dari Benua Amerika seperti jagung dan ubi jalar.
Diperkirakan singkong kali pertama diperkenalkan di suatu kabupaten di Jawa Tumur pada 1852. Namun hingga 1876, seturut catatan H.J. van Swieten, kontrolir di Trenggalek, dalam De zoete cassave (Jatropha Janipha) yang terbit 1875, singkong kurang dikenal di beberapa daerah di Jawa meski ditanam besar-besar di bagian lainnya. Baru pada abad ke-20, konsumsinya meningkat pesat. Singkong ditanam meluas, seturut pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang pesat.
Dalam Akar Sejarah Singkong (2014), Hendri F. Isnaeni menulis, menurut Creutzberg dan van Laanen, meski nilai singkong sebagai makanan kurang dibandingkan beras dan jagung, ia mengggantikan beras di berbagai bagian Jawa Tengah—sebenarnya juga di Jawa Timur perbatasan bagian barat—pada masa paceklik sebelum panen atau saat gagal panen. Dan sebagaimana telah saya singgung di atas, Isnaeni melanjutkan, “menurut Marwati dan Nugroho, karena dipandang lebih rendah daripada padi sebagai bahan pangan pokok, singkong memiliki reputasi buruk di kalangan pakar ekonomi pertanian.” Selain kandungan proteinnya lebih rendah daripada padi, di beberapa kalangan singkong dianggap dekat dengan istilah yang menakutkan: kemiskinan.
Tetapi mungkin itu anggapan masa lalu. Bisa saja, pada era tertentu di masa depan, singkong—atau lebih spesifik kuliner macam sredek—akan kembali digemari, dikonsumsi, disajikan secara estetik di resto-resto borju dengan narasi-narasi atau istilah-istilah ilmiah-akademis, dipandang sebagai makanan masa depan saat penduduk membeludak menyesaki Bumi dan meningkatnya kebutuhan pangan dunia. Semoga, saat masa itu tiba, kita masih bisa menanam singkong di samping banyak orang menanam beton di lahan-lahan produktif. [T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: