HARI pengerupukan di Desa Guwang, Gianyar-Bali, senantiasa menghadirkan suasana yang penuh semangat, dan parade ogoh-ogoh menjadi salah satu hal yang dinanti-nanti oleh masyarakat setiap tahunnya. Parade ogoh-ogoh merupakan bagian penting dari perayaan Nyepi di Bali, termasuk di Desa Guwang.
Hari itu, dari anak-anak hingga orang dewasa tumpah ruah memadati areal Patung Garuda Wisnu, Guwang, pada Jumat, 28 Maret 2025. Sebelum menyambut hari suci Nyepi yang hening dan sunyi, mereka mengawalinya dengan bersukacita di hari pengerupukan. Mereka menunjukkan bagaimana tradisi ini mampu mengikat seluruh lapisan masyarakat.
Titik utama parade ini adalah di areal Patung Garuda Wisnu–titik nol Desa Guwang, tempat ini menjadi saksi bagaimana semangat kebersamaan mewarnai setiap langkah ogoh-ogoh yang diarak. Parade ogoh-ogoh di Desa Guwang melibatkan tujuh Banjar, yaitu Banjar Wangbung, Banjar Manikan, Banjar Tatag, Banjar Danginjalan, Banjar Sakih, Banjar Tegal, dan Banjar Buluh. Berbagai macam rupa ogoh-ogoh berjalan melintasi jalan-jalan utama desa atau melewati rutenya masing-masing, sampai akhirnya tiba di Patung Garuda Wisnu.
Ogoh-ogoh sendiri merupakan representasi kekuatan jahat yang dibuat menyerupai boneka raksasa menyeramkan. Nama ogoh-ogoh diambil dari sebutan ‘ogah-ogah’, dalam bahasa Bali, artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Ogoh-ogoh akan diarak keliling desa pada petang hari menjelang malam, dengan tujuan membersihkan atau menyeimbangkan lingkungan (somia). Setelah diarak, ogoh-ogoh akan dibakar (pralina) agar unsur-unsur Panca Maha Bhuta (api, air, tanah, udara, dan cahaya) kembali ke asalnya. Secara simbolik, tradisi tersebut menggambarkan dunia yang kembali berada dalam keseimbangan.
Di Desa Guwang, ogoh-ogoh sendiri memiliki makna yang mendalam. Selain sebagai sarana upacara, ogoh-ogoh juga menjadi media bagi anak-anak muda Guwang untuk menuangkan ide-ide kreatifnya, membangkitkan semangat gotong royong, hingga menjadi sebuah karya seni yang bernilai.

Para Warga di Sekitar Patung Garuda Wisnu, Guwang | Foto: tatkala.co/Dede
Sebelum parade dimulai, tradisi orob-orob menjadi ritual penting yang dilakukan oleh masyarakat. Pada waktu sandikala (petang), warga desa secara serentak akan melakukan ritual orob-orob (pembersihan di masing-masing rumah), ritual ini adalah simbol pembersihan jiwa dan alam. Jika sudah selesai melaksanakan orob-orob, barulah semua warga beranjak menonton ogoh-ogoh.
Para warga dan beberapa wisatawan tampak membaur menjadi satu dalam kerumunan, mereka begitu antusias menyaksikan ogoh-ogoh. Masing-masing mencari tempat ternyaman untuk menonton, mereka rela menunggu lama dan tak sudi berpindah tempat, karena tidak mau tempatnya diambil oleh orang lain.

Ogoh-ogoh Banjar Danginjalan, Guwang | Foto: tatkala.co/Dede
Tepat pukul 19:00 Wita, satu per satu banjar mulai berdatangan. Sayup-sayup gamelan baleganjur terdengar dari kejauhan, dan Banjar Wangbung pun mengawali parade tersebut, disusul dengan banjar-banjar yang lain.
Para pemuda dan pemudi masing-masing banjar memiliki tugas yang berbeda-beda, ada yang membawa obor, ada yang membawa papan nama, ada yang menabuh gamelan, dan tentu saja, ada yang mengarak ogoh-ogoh. Beberapa juga ada yang tampak menyalakan bom asap (flare) ketika ogoh-ogohnya diarak, membuat suasananya menjadi semakin dramatis.
Ogoh-ogoh yang diarak bentuknya bermacam-macam, ada yang berbentuk raksasa, manusia, hingga makhluk mitologi. Selain ogoh-ogoh, yang juga turut memikat perhatian adalah alunan gamelan baleganjur yang enerjik itu, alunan nada yang mampu membangkitkan semangat. Tak perlu bantuan soundsystem, tabuh baleganjur dengan irama cepat dan ritmis justru membuat suasana jauh lebih meriah, menciptakan atmosfer yang khas.

Sekaa Gong (Baleganjur) Banjar Sakih, Guwang | Foto: dok. STT Banjar Sakih, Guwang

Sekaa Gong (Baleganjur) Banjar Danginjalan, Guwang | Foto: tatkala.co/Dede
Masing-masing Banjar mengerahkan para penabuh gamelan yang terampil, memainkan gamelan dengan kekompakan yang luar biasa. Riuh sorak sorai penonton pun menyambut setiap ogoh-ogoh yang datang. Diiringi tabuh baleganjur yang enerjik, para pengarak ogoh-ogoh begitu bersemangat, mereka memutar-mutar dan menggoyang-goyangkan ogoh-ogoh seraya berteriak kegirangan.
Parade ogoh-ogoh di Desa Guwang tidak hanya sekadar perayaan, tetapi juga bagian dari semangat kebersamaan masyarakat, serta turut melestarikan tradisi, seni, dan budaya Bali. Tak hanya di Desa Guwang, hampir seluruh daerah di Bali melaksanakan parade ogoh-ogoh, parade ini menjadi salah satu bukti bagaimana tradisi tetap hidup dan berkembang di tengah kemajuan zaman. [T]
Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole