BIASANYA setiap Hari Raya Idulfitri, alias Lebaran, terutama dua hari sebelum hari H, dapur seperti panggung pertunjukan bagi umat Muslim di rumah masing-masing. Hari yang sibuk. Orang-orang berjibaku memasak apa saja untuk hari raya. Khususnya para ibu, sendiri, atau dibantu anak gadisnya membuat segala macam kue bakal tamu.
Misalnya, membuat keripik singkong dan keripik pisang. Atau juga memasak kue putri salju dan semprit. Macam-macam. Ada juga kue lidah kucing, kue kacang dan kue akar kelapa.
Sementara satu hari sebelum hari H-nya, pohon kelapa mulai dipanjat para bapak, diambil itu janur—daun paling muda—untuk membuat ketupat.
Dan daging ayam, dan rempah, dibeli di pasar untuk membuat opor hari esok. Itu biasa terjadi di kampung-kampung.
Setelah sebulan penuh puasa menahan lapar dan haus dahaga serta nafsu, hari raya seakan jadi waktu yang tepat untuk membayar lunas apa-apa yang sebelumnya ditahan-tahan, semisal rasa haus dan lapar. Juga nafsu.
Sebab itulah kue-kue di kaleng menggunung saat Idulfitri. Pintu rumah dibuka lebar-lebar siap menerima tamu, pun pintu hati dibuka siap menerima “maaf”.
Selain acara makan-makan, salam-salaman saling meminta maaf juga menjadi keunikan saat Lebaran. Sanak keluarga saling datang dan bertamu, teman, antar tetangga atau kerabat pula tidak luput dari perjumpaan di ruang tamu. Maka, redalah segala permusuhan dan iri—dengki di jalan-jalan. Semua dendam dipadamkan di hari yang fitri ini.
Tapi, suasana di kampung halaman semacam itu tak lagi bisa terjangkau bagi mahasiswa rantau. Semisal mahasiswa rantau di Singaraja, Buleleng-Bali. Suasana seperti di kampong-kampung itu sangat terpakasa harus dilewatkan. Sehingga tak ayal berpindah raya untuk mengelus-elus dada.
Dari kejauhan, mahasiswa rantau hanya bisa mengingat kampung halaman. Dan, mengingat suasana gembira di kampong, sungguhlah sesuatu paling berat.
Seperti yang dirasakan oleh salah satu mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Ricky Abdullah, asal Bangka Belitung.
Ricky, panggilan akrabnya. Sudah tiga kali Hari Raya Idulfitri dan dua kali Idul Adha dilewatkan karena selama tiga tahun tidak pulang kampong. Sejak awal tahun 2022 datang ke Bali, ia tak pernah pulang.
Ia masih memperjuangkan cita-citanya untuk bisa lulus sebagai sarjana S1 Manajemen. Untuk itulah di sela kuliahnya, ia juga menyempatkan diri untuk bekerja, untuk mendapat amunisi tambahan dalam menyongsong masa depan.
Dan “pulang”, satu kata cukup berat bagi Ricky jika diingat-ingat. Bagaimana pintu rumah dibuka, dan kue-kue Lebaran itu terhidang setelah sang ibunda memasak banyak menyambutnya di hari raya.

Suasana hangat Sholat Idul Fitri di Taman Kota Singaraja | Foto : Hana
Setelah sholat Ied di Taman Kota Singaraja, Ricky menjumpai beberapa teman—brsilaturahmi. Dan mengabadikan momentum itu dengan berswafoto.
Hanya foto-foto keluarga di HP-nya digeser-geser dilihat, sebagai obat alternatif mengikis kangen. Sesekali juga menelrpon orang rumah. Dari bertanya kabar, hingga bertanya jatah bekal.
Susah Kalau Rindu
“Untuk tahun ini saya akan bertamu ke rumah teman-teman yang memang sudah akrab, dan akan mengajak teman rantau lainnya untuk mengadakan sholat ied bersama. Ya, seandainya ada rezeki mungkin bisa mengadakan makan bersama,” kata Ricky di sela raya sholat ied.
Seperti hari raya sebelum-sebelumnya, melihat suasana kekeluargaan yang intim di hari raya di rumah teman, seperti melihat bawang telanjang yang membuat mata berair perih. Susah kalo masalah rindu. Rasa kangen keluarga seakan menekan dada.
Momen kebahagiaan hari raya itu memang tiada tara rasanya. Dan seperti tak mau tenggelam pada kerinduan yang melankolis, diakalinya agar suasana lebaran tetap terasa gembira, Riky banyak-banyak menjumpai teman dan bertamu. Itu niat yang baik.
Tema-teman terdekatnya—memang dianggapnya menjadi keluarga sosiologis yang tidak kalah rasa kasihnya dengan keluarga biologis di kampung halaman, Bangka Belitung. Air mata tak jadi jatuh tentu saja. Memang seorang lelaki enggan untuk menangis, tapi bukan berarti hatinya tidak pecah.
“Apa lagi yang dirindukan selain masakan orang tua? Dan mungkin suasana saat kumpul dan bercengkrama itu juga termasuk yang saya rindukan,” tutur Ricky.
Hal itu juga dirasakan oleh Uswatun Hasanah, mahasiswa S1 Kebidanan Undiksha asal Bima, NTB. Ia juga merindukan hal yang sama, bahkan, sebelum hari raya, membantu ibu memasak—menyiapkan seabrek kue sudah seperti ritual sebagai anak gadis.
Suasana itu yang tidak ada di tanah rantau, di Bali. Setelah sholat ied, menelepon mamak atau keluarga adalah jurus paling ampuh mengobati rasa itu. Walaupun, ya, ini adalah kali pertama Hana merasakan hari raya di kejauhan, tapi rasa kangen tampaknya sudah berjumpalitan.
“Saya akan mencari momen yang mirip di tempat saya seprti sholat bareng dan juga makan bareng, tapi di sela itu, saya juga (sesekali) menangis,” kata Hana, panggilan akrab dari Uswatun Hasanah.
Selama bulan puasa kemarin, sebagai mahasiswa, Ricky dan Uswatun Hasanah cukup aktif berkegiatan sebagai mahasiswa. Aktif di Al-Hikmah dan Komisariat Ganesha PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Buleleng.
Setiap hari Jumat di bulan Ramadan, ia memiliki agenda khusus bagi-bagi takjil bersama teman-temannya di Al-Hikmah, dan melakukan pengajian rutin di PMII. Hal itu dilakukannya, agar tidak melulu mengingat pulang, pulang, dan pulang. Pantang pulang sebelum lulus.
“Ya, pantang pulang sebelum punya uang!” humor Ricky.
Happy Ied Mubarak, Ricky dan Hana. Jangan lupa berburu opor ayam hari ini. Heuheu. Semangaaaaaat! [T]
Repoter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: