10 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Teater Ditikam, Akal Sehat yang Mati

Petrus Imam Prawoto JatibyPetrus Imam Prawoto Jati
March 27, 2025
inEsai
Teater Ditikam, Akal Sehat yang Mati

Pementasan Passompe’ dari Kala Teater | Foto: Dok. Kala Teater

SIDANG pembaca yang budiman, tanggal 27 Maret dirayakan sebagai Hari Teater Sedunia atau World Theatre Day. Ada semacam ironi dan tragedi di baliknya.  Ketika universitas-universitas besar di dunia menjadi pusat pemikiran kritis, inovasi, dan keberanian akademik dalam menantang ketidakadilan, kampus-kampus kita di Indonesia justru menghadapi dilema akut.

Mau memilih menjadi menjadi menara gading yang steril dari hiruk-pikuk sosial-politik, atau, tetap berdiri tegak sebagai garda intelektual rakyat. Kasus terbaru di sebuah universitas di Bandung,  pementasan teater yang bertajuk “Wawancara dengan Mulyono”, entah siapa juga Mulyono ini, diduga digagalkan oleh pihak kampus, menambah daftar panjang kampus-kampus yang dikabarkan lebih memilih aman daripada berpihak pada kebebasan berpikir kritis.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana institusi pendidikan yang seharusnya menjadi ruang intelektual justru semakin terkungkung oleh ketakutan akan adanya ekspresi yang lantang bersuara. Dalam konteks ini, teater di Indonesia sebagai medium seni sekaligus alat perjuangan, juga peran kampus sebagai kawah candradimuka akal sehat, kembali diuji perannya.

Bila menilik ke belakang, kepada sejarah, kelompok-kelompok teater seperti Teater Kecil yang digagas Arifin C. Noer, Teater Populer oleh Teguh Karya, dan Bengkel Teater WS Rendra, menjadi bagian abadi dari sejarah perjuangan Indonesia melalui panggung seni. Pada masa Orde Baru, ketika kebebasan berpendapat dibatasi, kelompok teater ini harus menggunakan simbolisme dan metafora untuk menghindari sensor, tetapi tetap mampu menyampaikan kritik sosial yang tajam. Pertunjukan seperti “Mastodon dan Burung Kondor” karya WS Rendra menggambarkan kondisi politik Indonesia secara tersirat, namun telak menyentuh kesadaran publik.

Keunikan teater sebagai alat perjuangan, terletak pada sifatnya yang langsung, kolektif, dan adaptif. Berbeda dengan film atau tulisan yang bersifat satu arah, macam tulisan yang anda baca ini, teater memungkinkan interaksi langsung antara aktor dan penontonnya, sehingga mampu menciptakan pengalaman yang lebih emosional dan mendalam.

Selain itu, teater adalah kerja kolektif yang melibatkan berbagai macam elemen masyarakat, seringkali juga dipentaskan di ruang publik, karakter ini yang menjadikan teater lebih mudah diakses oleh rakyat kecil secara luas. Nah, dalam situasi politik yang represif, teater kerap kali menggunakan alegori dan humor sebagai strategi jitu untuk menghindari penyensoran. Memang strategi ini terbukti efektif dalam menyampaikan kritik sosial tanpa harus vis a vis dengan kekuasaan.

Netralitas yang Hipokrit

Mari sejenak melirik kampus. Sidang pembaca yang budiman pasti paham bahwa perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang yang mendukung kebebasan berekspresi dan pemikiran kritis. Sejarah mencatat bahwa kampus sering menjadi pusat gerakan sosial, seperti gerakan mahasiswa 1966 yang berperan dalam menumbangkan Orde Lama dan juga gerakan mahasiswa 1998 yang menjadi garda terdepan dalam menuntut reformasi.

Namun, kini tak nampak lagi ruh perjuangan semacam itu. Dan gejala kampus kita justru semakin berhati-hati dalam bersikap. Tekanan politik dan ekonomi sepertinya mampu membuat institusi pendidikan lebih memilih untuk tidak berkonfrontasi dengan kekuasaan. Ketergantungan pada dana pemerintah atau swasta juga mempengaruhi independensi akademik dan kebebasan berekspresi.

Sangat disayangkan , karena jika perguruan tinggi dapat kembali mengambil peran sebagai garda depan perjuangan rakyat, maka kolaborasi dengan teater bisa menjadi kombinasi yang sangat kuat. Kampus dapat menjadi tempat lahirnya teater-teater progresif yang membahas isu-isu sosial tanpa takut sensor.

Sejarah mencatat bahwa perguruan tinggi negeri tidak selalu menjadi tempat yang steril dari perlawanan. Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Hasanuddin (Unhas), dan Universitas Padjadjaran (Unpad) adalah beberapa contoh institusi yang masih berani mengkritik kebijakan pemerintah.

Pada Pemilu 2024, mereka mengeluarkan pernyataan keras terhadap Presiden Jokowi yang dianggap mencederai demokrasi. Bahkan pada Februari 2025, mahasiswa dari berbagai kampus turun ke jalan dalam gerakan #IndonesiaGelap untuk memprotes kebijakan Presiden Prabowo yang memangkas anggaran pendidikan. Ini adalah bukti bahwa perlawanan masih hidup, meski semakin banyak saja kampus yang lebih memilih diam.

Teater bukan hanya alat ekspresi seni, tetapi juga alat perjuangan rakyat yang strategis. Dengan sifatnya yang interaktif, kolektif, dan simbolik, teater dapat menyampaikan kritik sosial secara efektif dan membangkitkan kesadaran masyarakat. Perguruan tinggi, dengan tradisi akademik dan sejarahnya sebagai pusat gerakan sosial, memiliki potensi besar untuk berkolaborasi dengan teater dalam menyuarakan kepentingan rakyat.

Namun, tantangan seperti sensor, birokrasi kampus, dan komersialisasi pendidikan perlu diatasi agar peran ini bisa kembali diperkuat. Jika kampus dan teater bersinergi dalam perjuangan sosial, maka keduanya dapat menjadi kekuatan besar dalam membangun kesadaran kolektif dan memperjuangkan keadilan. Soekarno, dalam Indonesia Menggugat, menulis, “Jikalau orang tiada berani lagi mengatakan yang benar, maka bukan orang merdeka lagi namanya.”

Netralitas yang membungkam kebenaran bukanlah sikap akademik, melainkan bentuk diam yang berkedok ketertiban. Yang terjadi di Bandung (penggagalan pentas teater) bisa jadi adalah gejala yang lebih besar yaitu bahwa kampus-kampus di Indonesia semakin tunduk pada kepentingan status quo. Mereka lantas berbicara tentang netralitas, tetapi dalam praktiknya justru memihak kekuasaan dengan membungkam ekspresi kritis. Wajar jika kemudian ada yang berpendapat jika netralitas semacam ini dianggap sebagai suatu bentuk hipokrisi.

Siapa yang Kecewa?

Setiap manusia Indonesia yang kritis tentu kecewa. Jika kita bisa kembali ke masa lalu, terbayang bagaimana reaksi para founding fahers yang pasti kecewa dengan kondisi ini. Soekarno, yang dalam banyak pidatonya menegaskan pentingnya revolusi pemikiran di kampus-kampus, jelas akan marah besar melihat universitas-universitas kini hanya menjadi pabrik ijazah. Tan Malaka, Sang Bapak Republik Indonesia, yang sepanjang hidupnya berjuang untuk pendidikan rakyat, pasti akan sinis menertawakan bagaimana kaum intelektual hari ini lebih sibuk menjaga “harmoni” ketimbang memperjuangkan kebenaran.

Lebih menyedihkan lagi, para mahasiswa kita yang seharusnya menjadi penggerak perubahan justru dicekoki narasi bahwa “kampus harus netral.” Jangan kita lalu tantrum saat menemukan para mahasiswa ini netral juga terhadap situasi sekitar, seperti netral terhadap ketidakadilan, ketimpangan sosial, penindasan, kebebasan berpendapat, dan sebaggainya. Jika universitas benar-benar netral, artinya mereka merasa sah saja untuk sama sekali tidak berpihak kepada rakyat, tetapi menutup mata kepada kekuasaan yang ingin menjaga stabilitas tanpa kritik. 

Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggauta persatuan (rakyat).” Kampus yang memilih diam justru mengkhianati semangat pendidikan itu sendiri. Bagaimana mahasiswa dapat menjadi manusia yang utuh dan kritis jika kampusnya sendiri tidak elegan menghadapi wacana yang berbeda?

Hari ini, akhirnya kita bisa melihat dua tipe universitas di Indonesia: mereka yang tunduk dan mereka yang berani. Kampus yang tunduk akan mencari berbagai pembenaran untuk tidak bersuara, entah itu dikarenakan oleh adanya tekanan politik, ketakutan akan pendanaan, atau sekadar ambisi pejabat kampus yang ingin tetap berada dalam zona nyaman. Sementara itu, kampus yang berani adalah mereka yang memahami bahwa peran akademisi bukan hanya menghafal teori di ruang kelas belaka, tetapi juga terjun langsung dalam persoalan masyarakat.

Jika sebuah universitas membungkam seniman, aktivis, dan pemikir kritis, maka mereka bukan lagi institusi pendidikan, melainkan birokrasi kosong yang hanya mencetak lulusan tanpa visi moral dan keberanian. Mereka kehilangan esensinya sebagai “lawan penguasa yang lalim”, peran yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap akademisi yang masih memiliki akal sehat.

Kolaborasi Teater dan Perguruan Tinggi: Sebuah Potensi Besar

Teater seharusnya menjadi sekutu strategis bagi kampus dalam merawat daya kritis mahasiswa. Ia bukan sekadar hiburan, melainkan ruang dialektika, tempat realitas sosial dipertanyakan dan kekuasaan diuji.  Perguruan tinggi, dengan tradisi akademik dan sejarahnya sebagai pusat gerakan sosial, memiliki potensi besar untuk berkolaborasi dengan teater dalam menyuarakan kepentingan rakyat. Kampus seharusnya menjadi inkubator bagi pemikiran dan teater-teater progresif yang berani menyingkap tabir ketidakadilan.

Akademisi dan mahasiswa memiliki keistimewaan dalam mengakses riset sosial dan historis. Seharusnya, ini menjadi modal untuk menciptakan naskah yang tidak hanya artistik tetapi juga tajam, berbasis fakta, dan menggugah kesadaran publik. Sayangnya, yang sering terjadi adalah sebaliknya: makin banyak kampus lebih sibuk mengurus administrasi daripada memastikan ruang intelektual tetap hidup.

Lebih jauh lagi, kampus memiliki jaringan luas dengan LSM dan gerakan sosial. Ini adalah peluang emas bagi teater untuk menjadi jembatan komunikasi antara akademisi dan masyarakat. Tapi apakah kampus mau memasuki peran ini, atau malah demam karena bayang-bayang “radikalisme” yang pernah didefinisikan sesuka hati oleh penguasa?

Pada akhirnya, teater adalah bagian dari kebebasan berekspresi, sesuatu yang seharusnya diperjuangkan oleh setiap kita anak bangsa termasuk perguruan tinggi, bukan dikekang. Jika kampus dan teater bisa bersinergi, mereka dapat menjadi kekuatan dahsyat dalam membangun kesadaran kolektif dan memperjuangkan keadilan bagi bangsa. Selamat Hari Teater Sedunia. Merdekaa..! [T]

Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole

BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI

Ini Refleksi, Bukan Ramalan : Catatan Pentas Komunitas Aghumi di “Bali Berkisah 2025”
Passompe’ dari Kala Teater: Sebuah Jejak Perjuangan Tanpa Akhir – Tanpa Kalah
Memeluk Masa Lalu dengan Ingatan Yang Sadar: Catatan Festival Kala Monolog
Tabuhan 4/4 Luh: Narasi Perlawanan dari Dua Naskah tentang Perempuan
Di Sanur, Dua Hari Menghidupkan Nilai-nilai yang Diwariskan Ni Pollok dan Le Mayeur
Tags: kampusPendidikanTeaterteater kampus
Previous Post

Kritik Terhadap Materialisme Ilmiah yang Tersingkap dalam “The Most Beautiful Girl in the World “ (2025)

Next Post

Mitos Liar Baduy 40 “Suhunan”

Petrus Imam Prawoto Jati

Petrus Imam Prawoto Jati

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah

Next Post
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

Mitos Liar Baduy 40 “Suhunan”

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co