PAGI itu, seorang lelaki paruh baya beranjak menuju panggung sederhana. Dengan pakaian adat lengkap, ia berdiri mantap. Di depanya, sebuah mic berdiri, berpasangan dengan stand-nya.
Di wajahnya, sebuah kacamata pilot klasik berkaca hitam menempel dengan bersahaja. Di tangannya, beberapa lembar kertas tanpa tinta ia pegang dengan sedikit gemetar. Bersamaan dengan jemari yang meraba kertas tanpa tinta itu, mulutnya mulai merapal puja-puji guna mendapatkan restu Yang Maha Kuasa.
Lelaki itu, Wayan Ugu namanya. Ia menjadi petugas pembaca doa pada acara di Wantilan Taman Kota Singaraja. Dan, yang patut dicatat, Wayan Ugu penyandang tunanetra.
Pada hari Minggu, 9 Maret 2025, Taman Kota Singaraja menjamu sekelompok orang yang teramat jarang terlihat berkumpul dengan jumlah yang begitu banyak. Satu atau dua dari mereka ditemukan di perempatan-perempatan lampu merah sambil menjual merdu suaranya, mungkin iya. Atau di panti-panti pijat dan massage menawarkan jasa melepas lelah juga.
Namun kali ini berbeda. Mereka berkumpul merayakan perkumpulannya: Ulang tahun Persatuan Tunanetra Buleleng ke-20. Benar, sudah 20 tahun usianya. Tapi mari bertaruh, rasanya kurang dari 20 persen masyarakat Buleleng mengetahui eksistensi organisasi mereka.

Kegembiraan menyanyi pada HUT Pertuni Buleleng di Taman Kota Singaraja | Foto: Hasby
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Alangkah eloknya bila di pasal atau ayat selanjutnya berbunyi negara juga memfasilitasi mereka yang termarjinalkan untuk berserikat dan berkumpul.
Di tengah tergerusnya kendaraan umum oleh membludaknya kendaraan pribadi, tunanetra merupakan salah satu golongan yang paling terkena imbasnya. Hilang sudah sarana mereka berotonomi. Kehadiran ojek online tentu sangat membantu, namun kehadirannya hanya di seputaran kota Singaraja saja. Sedangkan keberadaan tunanetra di Buleleng tentunya tidak hanya ada di seputaran Singaraja.
Tak sulit menerka bahwa itulah salah satu penyebab HUT ke-20 Pertuni ini menjadi yang pertama diadakan secara komunal.
Pemandangan yang cukup mengharukan melihat rekan-rekan yang sekian lama tidak bertemu, seketika itu karib kembali setelah saling mengenali lewat suara. Obrolan hangat mengalir tanpa script kala satu persatu rekan mulai hadir di tempat itu. Tak banyak pilihan perserikatan yang bisa mereka ikuti.

Acara tiup lilin pada HUT Pertuni Buleleng di Taman Kota Singaraja | Foto: Hasby
Pertuni menjadi wahana mereka untuk berkeluh kesah dan bersendau gurau sesama rekan senasib sepenanggungan. Sebagian besar dari mereka sudah belasan tahun menjadi anggota, dan akan tetap hingga langit mengijinkan. Dibanding perkumpulan, mungkin lebih tepat bila Pertuni disebut persaudaraan.
Maya Angelou berkata bahwa keluarga bukan selalu terikat oleh darah, namun sekumpulan orang-orang yang menginginkanmu berada di hidup mereka. Bisa jadi Pertuni-lah manifestasi sejatinya.
Dalam sambutannya, Putu Karyaman selaku Kepala Dinas Sosial Buleleng, yang sekaligus menjadi utusan dari Bupati Buleleng, menekankan penting pendataan disabilitas terutama tunanetra untuk meningkatkan partisipasi dalam mengikuti program yang diselenggarakan Dinas Sosial dan penggalian potensi yang mereka miliki.
Terbukti, sebagian besar tunanetra yang belajar di BRSPDSN Mahatmiya Tabanan mampu berprestasi di kancah regional dan nasional. Sayangnya, selepas Mahatmiya, banyak tunanetra yang belum optimal mengembangkan skilnya karena keterbatasan ruang dan modal. Bayangkan bila UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas benar-benar diamalkan dan pemerintah juga memfasilitasi masa transisi selepas mereka selesai belajar di Mahatmiya, berapa banyak musisi atau barista tunanetra yang menjadi kebanggaan Buleleng.
Sayang sekali bahwa kedua profesi khas tunanetra yang sebelumnya sudah disebutkan masih marak di Buleleng. Bila dirunut, hal itu sedikit banyak berkaitan dengan akses Pendidikan yang masih memprihatinkan. Sekolah Luar Biasa (SLB) yang sedianya menjadi tempat mengakomodasi siswa tunanetra hanya ada dua sekolah di kabupaten sebesar Buleleng dan letaknya pun berada terpusat di Singaraja.
Pelaksanaan pendidikan inklusi yang pernah dicanangkan pun sepertinya belum beranjak dari jargon-jargon di mimbar-mimbar orasi. Andai saja Putri Ariani lahir di Kubu atau Gerokgak mungkin ia akan berpikir ulang untuk mengikuti Indonesian Idol, alih-alih Americas Got Talent yang membuatnya viral itu. Alhasil partisipasi tunanetra dalam pendidikan formal amat minimal dan hilang sudah satu kendaraan untuk naik kelas sosial dan ekonomi.
Di tengah pelbagai kondisi yang kurang menguntungkan ini, I Gusti Ngurah Ambara selaku Ketua Pertuni Buleleng menghimbau perlu dilakukan perubahan paradigma bahwa tunanetra untuk bukan lagi sekedar menjadi objek simpati namun harus mampu berdaya dan berkembang.

Kadis Sosial Buleleng Kariaman Putra dipijat dalam perayaan HUT Pertuni Buleleng di Taman Kota Singaraja | Foto: Hasby
HUT ke-20 Pertuni Buleleng harus menjadi kesempatan tunanetra untuk memanfaatkan peluang dan peningkatan kesadaran pemerintah dan masyarakat untuk berkembang dan mengaktulisasi diri.
Stand parfum dan kafe yang sepenuhnya dikelola oleh tunanetra pada acara tersebut seakan menjadi bukti betapa berdayanya mereka ketika diberi ruang. Bila terus di-support, bisa jadi Buleleng tak perlu kedai kopi waralaba nasional atau internasional. Cukup datang ke kedai kopi teman tunanetra saja bila ingin ngopi.
Guna melangkah mendekati perubahan paradigma ini, tentunya harus merubah juga mindset semua pihak, baik anggota Pertuni, masyarakat dan pemerintah daerah. Masyarakat perlu memberikan lebih banyak kepercayaan bagi tunanetra untuk menjadi produsen dari kebutuhan-kebutuhan mereka, bukan lagi sekedar objek pemberian dan tempat menaruh rasa iba.
Pemerintah pun sepertinya perlu mengubah model kebijakan dari yang beorientasi pada pemenuhan kebutuhan secara instan menjadi kebijakan yang berfokus pada kebermanfaatan nilai secara berkelanjutan. Agaknya menggalakkan iklim bisnis inklusif dan membuat inkubator bisnis bagi tunanetra dan disabilitas yang lain akan lebih awet manfaatnya.
Angka 20 memang cukup magis, bahkan sempurna. Dalam dunia optikal, penglihatan 20/20 menandakan fungsi penglihatan yang paripurna. Agak ironi memang. Namun sebagaimana disebutkan oleh Komang Tri Palguna, salah satu pengisi acara HUT ke-20 Pertuni Buleleng, semendung dan segelap apapun setiap hari akan selalu cerah bagi mereka karena mereka tidak memandang semuanya dengan mata, namun dengan mata hati yang penuh optimisme dan harapan. [T]
Penulis: Hasby Alfin Shidiq
Editor: Adnyana Ole