SEBELAS Maret 2025, bersamaan dengan 60 tahun fakta sejarah yang sampai hari ini masih menjadi bahan perdebatan seputar Supersemar yang naskah aslinya belum ditemukan, SMA Negeri 2 Kuta menyelenggarakan acara bertajuk, “Bincang Buku Smanduta Menulis Buku”. Acara dibuka Plt. Kepala Sekolah, I Nyoman Tingkat di aula sekolah berlangsung meriah khas gaya Gen Z. Pada sambutan pembukaan ia mengingatkan seluruh peserta yang hadir akan pentingnya buku sebagai lambang kemajuan peradaban sebuah bangsa.
Oleh karena itu, sejumlah negara maju kembali beralih ke buku konvensional, setelah beberapa tahun belajar secara daring dengan flatform digital. Fakta itu menunjukkan adanya kesadaran kembali ke buku konvesional yang mensyaratkan ketangguhan daya juang bagi pembaca buku cetak, ketimbang membaca buku digital yang sering disebut pembaca scrool. Lewat begitu saja di layar HP, malas kembali mengulang bin melelahkan mata.
Sebab itulah, sebagai penyeimbang layak juga sekolah dengan Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) mempertimbangkan penerbitan karya siswa dan guru secara kontinu dan konsisten. Bagaimana pun, buku adalah simbol peradaban sekaligus simbol historis sebuah sekolah. Melalui buku, lembaran sejarah perjalanan sekolah diabadikan.
“Ke laut memasang jaring, dapat ikan beli duku, walau belajar secara daring, jangan lupa baca buku,” demikian Kepala SMA Negeri 2 Kuta Selatan ini berpantun mengajak hadirin untuk menyeimbangkan antara buku digital dan buku konvensional.

Begitulah, SMA Negeri 2 Kuta memberikan karpet merah bagi siswa menerbitkan buku untuk kedua kalinya. Sebagai bentuk apresiasi, karya mereka diperbincangkan. Acara bincang buku ini dipandu oleh Ayu Sri Utami jurnalis Alis Mata (Anak Jurnalis Smanduta) berlangsung seru berkat kepiawaian pemandu menggali persoalan dan mengontekstualkan dengan literasi bangsa hari-hari ini.
Tanpa sengaja, setelah Bincang Buku ini, saya menemukan cuplikan podcast penguat dari Gita Wirjawan, mantan Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal dan Menteri Perdagangan era SBY “Kekuatan komunikasi bangsa ada pada kekuatan storytelling dan intelektual”, kata Gita Wirjawan yang melanglang buana menjadi dosen ke berbagai negara. Melalui kekuatan bercerita, inspirasi muncul menggoda imajinasi.
Dari imajinasi, mimpi diwujudkan jadi kenyataan. “Seorang guru pencerita lebih berhasil mendekatkan siswa menjadi fisikawan, daripada seorang fisikawan yang tuna cerita walaupun ia ahlinya,” kata Gita Wirjawan mantap yang mengaku lebih banyak membaca nonfiksi tetapi merangsang imajinasi. Batas fiksi dan nonfiksi memang tipis, setipis pemahaman saya di antara keduanya.

Saya yang didaulat sebagai pembincang dalam acara “Bincang Buku, SMANDUTA Menulis Buku” tidak menyangka respon peserta sangat antusias. Keantusiasannya tampak sejak awal acara hingga pertanyaan yang meledak membludak dari berbagai sekolah, tanda haus panggung. Potensi mereka pantas dipanggungkan, sesuai dengan semngat Merdeka Belajar. Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, setiap kesempatan adalah waktu belajar.
Pendeknya, alam semesta beserta isinya adalah guru kita semua. Anies Baswedan bilang, “Semua guru semua murid”. Itulah pula pemantiknya yang saya sampaikan kepada para guru yang mendampingi siswanya dalam acara Bincang Buku di Smanduta. “Jangan malu berguru pada murid”, ajak saya kepada sesama kolega yang datang dari berbagai sekolah di Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan.
Sebelum acara bincang buku dimulai, saya putar lagu Obie Mesakh, “ Kisah Kasih di Sekolah” yang dibawakan Chrisye dengan latar pemainan basket anak SMA yang mampu membawa suasana hati benar-benar SMA. “Kapan lagi SMA,” kata saya memantik ingatan guru dan siswa berbaur akur belajar menyimak dus menyiapkan pertanyaan.
Buku yang dibincang adalah hasil karya siswa SMA Negeri 2 Kuta berjudul, “Dalam Lantunan Gamelan, Aku Ingin Mencintaimu dengan Perlahan” (Album Cerpen Siswa SMAN 2 Kuta). Album ini terdiri atas 21 cerpen ditulis oleh 17 siswa.
Ada dua siswa menyumbang dua cerpen yang menjadi inspirasi judul buku dengan catatan kecil penyunting berjudul, “Album Cerita Kaya Makna” oleh Raudal Tanjung Banua sekaligus penerbit. Raudal adalah cerpenis, esais, sekaligus penyair dari Padang menetap di Yogyakarta tetapi kepenyairannya dibesarkan di Bali oleh Umbu Landu Paranggi, Presiden Penyair Malioboro.

Dalam Catatan Penyunting, Raudal menyebutkan, album Cerpen Siswa SMAN 2 Kuta kaya makna dari tema berat nan kompleks hingga ringan dan santai. Itu juga menunjukkan bahwa cerpenis muda dalam album ini punya peluang menjadi cerpenis nasional asalkan mereka tangguh menghadapi tantangan ke depan. Kita tahu Gen Z dijuluki generasi strowbery, lembek bin mudah menyerah cenderung menjadi generasi scrool yang susah kembali berpaling memeriksa detail cerita.
Tanpa bermaksud mengekor, saya juga menilai di antara 21 Cerpen dalam album ini, karya I Made Krisna Ananta Wirya dalam judul, “Jutaan Warna dalam Satu Ruang” layak menjadi Cerpen Pilihan bila mengacu tradisi Kompas. Cerpen Krisna menampilkan keunggulan baik secara tematik maupun dari segi aktualitas dalam konteks Pendidikan yang ramai dengan isu bullying.
Secara tematik, Krisna menggambarkan indahnya perbedaan di sekolah. Membaca cerpen Krisna saya jadi ingat Bung Karno dan Ki Hadjar Dewantara. Bung Karno bilang, “Taman yang indah adalah taman yang terdiri atas beraneka ragam puspa, demikikian pula dengan Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika”.
Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta, jelas menggambarkan sekolah tak ubahnya Taman Indonesia Raya. Di sekolah siswa beraneka ragam karakter berguru tak ubahnya benih tanaman di taman yang semuanya berpeluang menghasilkan bunga yang harum dengan buah ranum untuk kembali dipersembahkan kepada ibu pertiwi yang menanti kehadirannya.
Begitulah, Cerpen Krisna dapat dimaknai. Selain menunjukkan semangat kebangsaan dengan alas perbedaan, ia juga menyisipkan isu perundungan, nilai humanis, semangat berteater, dan cinta dalam cerpennya. Ibarat lukisan, ia berhasil mengisi bidang kanvas dengan penuh tanpa sisa. Krisna memang layak dapat bintang. Siapa tahu ada kritikus yang mengangkatnya, Krisna bisa terbang tanpa sayap. Hebat !
Walaupun dominan cerpen dalam album ini berkisah tentang cinta hingga saya memutar lagu “Kisah Kasih di Sekolah” dari Obie Mesakh mengawali perbincangan. Perbincangan makin seru ketika guru dan siswa adu pertanyaan. Bu Dini, misalnya guru SMAN 1 Kuta adu tangkas dengan siswanya mengajukan pertanyaan. “Bagaimana mengembangkan karakter tokoh protagonis dan antagonis agar kisahnya menjadi seru ? Lalu, seberapa penting unsur instrinsik membangun cerpen?”.
Sebagai orang yang lebih banyak menulis kritik sastra dan resensi, saya menjawab secara normatif untuk pertanyaan kedua. Sebagaimana diketahui umum, unsur pembangun cerita (pendek) adalah unsur intrinsic dan ekstrinsik ibarat jiwa dan raga manusia. Keduanya saling mengada dan saling melengkapi.
Namun, sering orang salah terka, penilaian di permukaan ibarat kemasan yang menarik dari tampilan raga tidak dengan sendirinya mencerminkan isi. Itulah yang dialami tokoh Lia yang diejek dan dibully temannya sebagai orang minoritas di sebuah SMA di Kota Surabaya, yang membuatnya nyaris fobia ke sekolah, bila tidak diselamatkan oleh Pak Ridwan, guru teater bertangan dingin membawa kesejukan.
Untuk pertanyaan kedua, saya minta Krisna sang cerpenis yang berhasil memainkan tokoh Lia sebagai protagonis untuk menjelaskan. Sebagai guru, saya memanggungkan Krisna dihadapan guru yang berguru pada murid. Tampak Krisna tampil dengan tenang percaya diri menjawab. Jawaban Krisna ternyata tidak jauh dari bayangan saya. Cara menampilkan tokoh dengan seru, yaitu berlatih, berlatih, dan berlatih menulis karakter dengan semangat pantang mudah menyerah. Ibarat nelayan, sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Begitulah penulis pada umumnya, memiliki ketangguhan mental bak pahlawan yang rawe-rawe rantas malang-malng putung.
Terhadap jawaban itu, Bu Dini tidak mengkonter kembali. Saya tidak tahu, apakah ibu guru ini puas atau tidak puas terhadap jawaban dua lelaki, tua dan muda sepanggung berkoalisi nenyusun narasi. Sebagai bentuk apresiasi dalam model pembelajaran sastra, kolaborasi seperti ini layak diujicobakan di SMA lebih-lebih bila cerpen yang dibuat siswa dijadikan bahan pembelajaran. Siswa yang cerpennya dibahas merasa dihargai, guru pun tidak merasa dilampau asalkan guru rendah hati mengakui keunggulan karya siswa. Berguru pada siswa.

Sementara itu, seorang siswa dari SMAN 1 Kuta mohon penjelasan bagaimana mendekatkan diri dengan literasi (fiksi, nonfiksi) di tengah dunia informasi yang berlari kencang tak terkejar? Saya pikir diperlukan kesadaran diri dan disiplin positif secara internal dengan dukungan keluarga secara optimal, sehingga fungsi sekolah menguatkan, memupuk, dan memberikan dukungan. Namun, saya sadari tidak mudah bagi guru yang mengampu banyak kelas dengan siswa beragam karakteristiknya. Apalagi, guru yang kemampuannya mengapresiasi dengan bacaan terbatas di tengah banjirnya informasi. Lebih-lebih, guru tamatan Pandemi Covid-19 yang waktu tatap mukanya terbatas dan keburu tamat. Namun, guru Bahasa Indonesia dapat menemukan talenta mereka melalui ektrakurikuler (Jurnalistik, Teater) misalnya. Lagi-lagi, saya temukan tidak banyak yang menekuni apalagi menyuntuki, menggeluti dan menggumuli.
Apa pun itu, sekolah tidak mencetak cerpenis,novelis, esais, penyair. Kompetensi itu lebih banyak diperoleh dalam pergaulan kreatif dengan mereka yang sefrekuensi. Ibarat penabuh gamelan, ia membentuk formasi dengan sendirinya mula-mula di komunitas banjar atau sanggar, ketika ada parade, mereka bergesekan dan bersentuhan antarbanjar atau antarsanggar lintas kabupaten, provinsi, bahkan lintas negara. Persis judul album cerpen yang diperbincangkan, “Dalam Alunan Gamelan, Aku Ingin Mencntaimu dengan Perlahan”.
Acara bincang buku diakhiri dengan memberikan penghargaan kepada para cerpenis muda Smanduta. Dilanjutkan dengan memberikan hadiah buku kepada para penanya dan peserta undangan dari seluruh perwakilan SMA se-Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan. Tidak lupa berfotoria sebagai bukti kegiatan telah terlaksana : Merawat Kecintaan Literasi. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Jaswanto
- BACA JUGA: