SEORANG ibu paruh baya dengan warna putih di rambutnya, terlihat santai mengendarai motor listrik berwarna merah tanpa helm. Perempuan itu menatap jalan di depannya seperti elang menatap sesuatu. Mendelik tajam, dan penuh hati-hati ketika menyela pengendara lain di sekitarnya.
Perempuan itu melewati banyak hal ketika pagi di Pasar Anyar di Jalan Diponogoro Singaraja. Sebuah mini bus tentara dengan tulisan besar “Raider 900” di kaca mobilnya, lewat di jalan yang sama. Ada beberapa tentara yang menatap perempuan itu, barangkali karena motornya tak menimbulkan suara, dan perempuan itu tak hirau.
Di trotoar jalan, seabrek motor berderet terparkir di sana, dan lalu-lalang kendaraan begitu santer di jalanan, dan perempuan itu tetap tak hirau.
Tidak hanya itu, perempuan itu juga tampaknya tak peduli bahwa ia sebenarnya melewatkan dokar di tepi jalan, dengan kuda yang kesepian.
“Sudah biasa,” kata Komang Yasa, kusir dokar itu.
Yasa kini umurnya lima puluh tahun. Pada Jum’at, 28 Februari 2025, ia bercerita banyak tentang peradaban dokar di masa lalu, dan kini dokar seperti tak diperlukan lagi. Kini orang bicara soal motor listrik, seperti yang dikendarai seorang ibu, yang lewat di jalanan, di sekitar dokar itu terparkir.
“Palingan satu atau, kadang tiga orang yang mau naik dokar,” kata lelaki itu cerita, begitu sepi peminat orang-orang naik dokar di jaman sekarang.

Perempuan melintas di belakang dokar Komang Yasa | Foto: tatkala.co/Son
Di depan Toko Ex-Hisur No. 70, seuah toko spesialis grosir dan eceran sepatu, tas sandal, dan kaos kaki, Komang Yasa–sang kusir itu, sudah ada sejak jam lima pagi dengan kudanya di sana.
Tidak lama ia mangkal, pedagang bakpao datang memarkirkan jajakannya di tempat yang sama. Yasa, yang sedang menunggu penumpang di pinggir jalan itu, memberi lelaki itu senyum ramah, sebagai tanda menyapa selamat pagi.
Tanpa bahasa lisan, mereka saling memberi tatapan segar hingga menyimpul senyum sesama. Begitupun dengan pedagang balon yang sudah lebih dulu mangkal, ia juga memberi senyum, lantas mengajak orang itu ngobrol.
Barangkali si pedagang balon itu hendak mengusir jenuh memegang erat balon-balon terbang ang belum lunas terjual sejak tadi. Tampaknya, keakraban di antara mereka cukup intim terlihat. Mungkin karena sesama pedagang.

Komang Yasa dan dokarnya | Foto: tatkala.co/Son
Melewatkan obrolan dari mereka, Yasa kemudian turun dari dokarnya dan melipir ke belakang pasar membawa ember kecil. Dua orang itu seolah mengerti tanpa mesti bertanya mau ke mana lelaki itu pergi, tanpa permisi membawa ember.
Yasa datang kemudian membawa air, dan lekas ember itu didekatkan ke mulut kuda miliknya. Kuda itu meminumnya. Pedagang balon dan pedagang bakpao melirik Yasa ramah.
Setelah dirasa cukup kuda minum, kuda itu berhenti dengan sendirinya. Tapi perut keroncongan terdengar dari dengusan si kuda. Segera Pak Kusir itu pergi mengambil rumput di dalam karung yang tersimpan dekat tempat duduknya di dalam dokar, dengan tulisan di atasnya; “Singaraja Sakti : BLL 10/2002”.
Tulisan itu berwarna merah telah pudar dilalap musim barangkali. Di bawah nama itu, terdapat dua boneka yang juga dengan warnanya telah pudar dan dekil, tercantel—menggantung tawar.
Satu kunci, dua boneka. Benda-benda itu menggantung di arloji tangan yang tak lagi memutarkan waktu. Rusak. Digantung juga di sana. Dan karung rumput tersimpan di bawahnya.
Dibukanya karung. Sejumput rumput diraihnya dengan tangan kosong, lalu disodorkannya ke mulut kuda. Kuda itu meraihnya, dan makan dengan lahap.
Lelaki itu mengelus kepala kuda, dan mata kuda sayu menikmati rasa kasih. Seperti sudah mengerti, hewan itu membiarkan tangan liat lelaki itu—untuk mempersilahkan memegang kepalanya mengelus-elus. Mereka sudah bersahabat.
Setia Pada Dokar, Setia Pada Warisan
Sejak 1985, Yasa memang sudah biasa dengan kuda, mengurus kuda. Dan ia setia pada pekerjaannya sebagai seorang kusir delman atawa dokar di Singaraja.
Ia tinggal di daerah Jineng Dalem, bersama kudanya, bersama sanak keluarganya juga. Sebetar lagi ia akan pulang setelah menumpuk beberapa karung berisikan sayur mayur itu ke dalam dokar.
Untuk kuda yang ia bawa sekarang, itu baru beberapa tahun diajak bekerja—sekitar tahun 2019, katanya. Tentu, setelah beberapa kuda miliknya yang lain telah pensiun.

Menaruh barang di atas dokar | Foto: tatkala.co/Son
Seperti manusia, kuda juga memiliki umur yang produktif. Yang jelas, katanya lagi. Ia tak pernah memaksa kuda itu untuk melayaninya narik jika memang sedang sakit misalnya, atau umur pensiun setelah memasuki umur ke-10.
“Kuda seperti manusia, harus dirawat. Diberi makan dan minum yang sehat,” kata Komang Yasa.
Yang jelas lagi, lelaki itu setia pada warisan sang bapak, yang menitipkannya keahlian membawa dokar dan juga menunggang kuda ketika masih muda.
“Sebenarnya, ini warisan dari bapak saya. Dulu bapak saya jadi kusir juga waktu tahun gak enak (kolonial). Saya meneruskan usaha bapak sekitar tahun 1985,” kata Komang Yasa.
Yasa menghentikan ceritanya, seorang ibu menghampirinya dan mengobrol dalam bahasa Bali yang tak pernah saya mengerti. Padahal, sudah empat tahun saya berada di kota ini, tapi masih blo’on soal bahasa orang sini.
Tapi kira-kira, dari raut wajah si perempuan itu yang melempar humor dan memulai pembicaraan kepada Yasa, seperti ada tawar-menawar soal naik dokar.
Tapi tebakan saya bisa saja salah, sebelum saya menebak-nebak lagi, perempuan itu justru pergi menaiki motor pribadi. Ya, tebakan saya salah. Ia membawa motor pribadi. Sendiri.
Sepuluh meter dari Toko Textil Olimpyc yang tak jauh dari Toko Ex-Hisur No. 70 di Jalan Diponogoro itu, Komang Yasa sudah datang sejak jam 5 pagi, untuk melayani siapa saja, atau keperluan apa saja. Atawa sekadar mengobrol seperti tadi di trotoar sambil ngetem seperti mobil angkot.
Sebuah mobil dari parkiran hendak ke luar, Yasa memajukan dokarnya sebentar memberi jalan. Segera si kuda menurut. Mobil itu keluar perlahan, dan Yasa kembali membawa kudanya di posisi semula.
Dan menyusul sebuah keluarga baru saja melewati dokarnya juga, dan seorang anak menatap kuda cukup kagum.
Dokar, selain ditumpangi orang dewasa, juga terkadang ditumpangi anak-anak bersama orang tuanya sebagai hiburan. Tapi untuk hari ini, anak kecil itu hanya melewatkannya saja.
Selain penumpang yang mau pergi ke pasar atau sekadar jalan-jalan, Yasa juga kerap membawa pengantin baru mau kawin sebagai projek musiman. “Yang penting si kuda sanggup mengangkut, dan jelas jarak tempuh dan berapa bayarannya,” kata Komang Yasa.
Sayuran juga diangkutnya. Kalau penumpang, katanya, biasanya lima puluh ribu untuk keliling dari Jalan Diponogoro ke Jalan Hasanudin. “Tergantung jarak tempuh,” kata lelaki itu seperti mau menegaskan, sebab ini kuda, bukan mesin. Mengertilah.
Dokar Menolak Narsis, dan Ia Berjalan Apa Adanya
Dokar yang lain baru saja melintasinya membawa dua penumpang sekaligus ke arah utara. Lantas Yasa melambaikan tangan ke kusir itu seperti memberi selamat bekerja dan selamat di jalan.
“Kalau saya baru dua kali narik untuk hari ini,” kata lelaki itu seperti kepayahan.
Dari jam 05.00 sampai jam 09.00 pagi, Yasa biasa narik di sana, kadang juga sampai jam sepuluh. Dalam waktu beberapa jam itu, baru dua penumpang. Itu pun hanya keliling—tak penting-penting amat, tapi, hidup tak mesti diragukan, rezeki baik bisa berupa apa saja.
“Kuda sehat, besok narik lagi,” katanya.
Sekitar abad ke-19 di Jawa, seperti di Jogja, dokar—atau kereta kencana yang dibawa kuda, menjadi satu alat tranportasi orang-orang keraton, khususnya raja atau priayi. Tentu, begitupun di Bali pada masanya.
Namun sekarang, dokar menjadi semacam artefak—yang mencoba untuk terus hidup dan melayani zaman sekuat tenaga. Sekuat usia si kuda, dan kesetiaan Sang Kusir—tak mau modar—digerus zaman itu wasiat sang bapak. Semua dilakukan apa adanya di tengah kerasnya zaman.
Di tengah kuda mesin seperti motor, atau mobil—yang sudah banyak macam-macamnya itu dengan warna lebih mengkilat—orang-orang mulai meninggalkan dokar sebagai alat transportasi yang penting.
Sebab lebih memilih menaiki motor sendiri atau angkutan umum yang lebih cepat, tak peduli polusi jadi kotor atau semacet apa jalanan di depan.
Seperti pada seorang ibu-ibu dengan wajah kesel di sebelah pos penjaga—parkir dekat pedagang kopi arah masuk pasar. Jaraknya sepuluh meter dari dokar milik Yasa.
Perempuan itu baru saja membawa barang bawaannya ke dalam mobil angkot berwarna biru langit setelah selesai berbelanja di pasar.

Berangkat | Foto: tatkala.co/Son
Di dalam mobil itu, dari kaca yang terbuka sedikit, wajahnya terlihat jutek setelah duduk dan menunggu lama dari dalam. Hari cukup panas memang, padahal masih dua jam lagi sebenarnya memasuki pemanggangan matahari siang. Perempuan itu terpanggang di dalam mobil oleh udara panas.
“Mengapa tidak menggunakan dokar saja, Bu?” batin saya.
Pada zamannya, tenaga kuda sangat dipercaya, lho, Bu. Larinya cepat, dan kusirnya sopan. Dan mungkinkah orang-orang akan beralih kembali ke dokar setelah mesin motor dan mobil mereka batuk-batuk karena mengisi BBM pertamax ternyata isinya adalah pertalite!? [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: