SENJA lebih dari dua puluh tahun yang lalu, saya berkunjung ke rumah Ida I Dewa Gde Catra. Sekadar berkunjung saja. Tidak selalu saya berkunjung hanya agar dapat saya berbincang dengan Ida I Dewa Gde Catra. Meski tidak rutin berkunjung, biasa saya berlama-lama di sana. Entah berbincang dengan anak-anak Beliau. Entah saya berbincang dengan adik-adik Beliau. Entah saya berbincang dengan menantu-menantu Beliau. Entah juga saya berbincang dengan cucu-cucu Beliau. Betah saya berlama-lama di sana.
Senja itu saya dan cucu-cucu Beliau sedang berada di depan pintu masuk rumah Beliau. Seorang lelaki sebaya kakek saya berjalan perlahan hendak parek (menghadap) Ida I Dewa Gde Catra. Lelaki itu madaduwun (menyapa lebih dahulu) cucu Ida I Dewa Gde Catra. Terjadilah basa-basi di antara mereka. Meski tidak lengkap saya ingat kalimat lelaki itu, sangat ingat saya dengan kata truni dan yang dituju dengan kata truni yang diucapkan lelaki itu, “Sampun kantos truni Cokorda, wau tityang polih parek.” Cokorda sudah besar, baru saya sempat datang.
Benar-benar saya terperangah oleh kata truni yang diucapkan lelaki itu. Cucu Ida I Dewa Gde Catra itu laki-laki. Saya meyakini truni itu peruntukan perempuan remaja, sebagaimana halnya dewi yang khusus untuk sosok perempuan di kahyangan. Saya yakin penglihatan lelaki itu masih awas. Saya yakin juga lelaki itu tidak salah pilihan kata, truni disebutkan untuk cucu laki-laki Ida I Dewa Gde Catra.
Terperangah saya mengingatkan saya ke kurun waktu 1980 – 1990 ketika di Karangasem sedang semaraknya warga banjar dan dusun membentuk wadah kreativitas untuk pemuda dan pemudinya. Mereka membentuk sekeha truna-truni (bukan sekaa truna-truni sebagaimana penulisan yang saya kenal kemudian). Pada kurun waktu itu sangat terasa geliat kelompok pemuda-pemudi di banjar-banjar. Kerap berlangsung pertandingan bola volly antar-banjar, pesertanya khusus pemuda-pemudi. Perayaan hari ulang tahun kelompok itu pun penuh dengan kreativitas anggotanya.
Perkataan lelaki itu mematahkan keyakinan saya bahwa truna itu laki-laki dan truni itu perempuan. Lelaki itu meyakinkan saya bahwa truna itu kosakata bahasa Bali ragam degag dan truni itu kosakata bahasa Bali ragam natya, untuk laki-laki dan perempuan. Jika demikian, semestinya tidak ada ajang Truna-Truni Ajeg Bali atau ajang truna-truni lainnya. Hanya saja ketika tulisan ini sedang saya buat, sekilas saya minta pendapat teman-teman saya, truni itu perempuan.
Khusus untuk kelompok remaja putra dan putri yang dibutuhkan perannya dalam perayaan di pura, seperti ketika odalan, aci, dan ngusaba, warga Desa Adat Basangalas menyebutnya truna krandan. Truna itu remaja putra, krandan itu remaja putri. Belum pernah saya dengar atau saya dapatkan penyebutan truni krandan. Belum pernah juga saya dengar penyebutan truna krandan ketika remaja putra dan remaja putri itu terlibat di luar kegiatan perayaan di pura. Truna krandan hanya untuk aktivitas di pura, sepertinya.
Terpatahkan juga keyakinan saya oleh baris pertama bait kedua Gaguritan Durma. Mani cahi disubane menek daha. Selama ini saya meyakini daha (baca: dêhê) itu perempuan remaja, dara, atau gadis. Dalam keyakinan saya, Wayan Durma itu anak laki-laki, tidak seharusnya Wayan Durma menek daha, akan tetapi menek truna. Terpatahkannya keyakinan saya tidak menyebabkan dalam keseharian saya menyebutkan menek daha untuk anak laki-laki yang sudah menginjak usia remaja, tetap menek truna. Tetap saya berkata, “Cai suba truna.” Tidak saya berkata, “Cai suba daha.”
Sebagaimana daha, kerabat saya juga meyakini yang bajang itu perempuan, tidak laki-laki, maka yang menek bajang itu berjenis kelamin perempuan. Berada di antara mereka, saya harus mendapatkan jeda yang cukup sebelum saya memilih menyampaikan kata truna atau bajang. Kerabat saya tidak mau terima jika anak laki-lakinya disebutkan sudah menek bajang ketika sudah menginjak masa remaja. Harus disebut menek truna, meski bait 22 Gaguritan Jayaprana – Layonsari menyebutkan:
wwang apa anake busan
tarunane bajang cerik
I Ketut sumaur alon
makrempiang munyine alus
tan wenten titiang manawang
rupa becik
baguse ngenyudang manah
Jika belum diterima oleh penutur bahasa Bali, bisa jadi kosakata daha dan bajang itu lisensi puitika penggubah Gaguritan Durma dan Gaguritan Jayaprana – Layonsari. Memang belum diterima dituturkan, akan tetapi tidak mengurangi kepuasan mereka yang senang mapaposan dalam menikmati Gaguritan Durma. Semasa hidupnya, kerap saya dengar ayah saya menembangkan bait satu dan bait dua pupuh durma itu.
Yang ini tidak berkaitan dengan lisensi puitika. Awal tahun 1990, berbincang dalam bahasa Bali ragam degag, kawan-kawan perempuan saya menolak saya sebut nyai. Menurut mereka, nyai itu perempuan yang bersentuhan dengan banyak laki-laki. Tidak nyaman mereka disebut nyai. Kawan-kawan perempuan saya lebih menikmati disebut cai meski mereka sudah tahu cai itu peruntukan laki-laki. Mereka mau cai itu untuk laki-laki dan perempuan. Dan, mereka merasa lebih nyaman jika disebut kamu yang dipungut dari bahasa Indonesia. [T]
Penulis: Komang Berata
Editor: Adnyana Ole