9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Merenungkan Musik; Sukatani, Perlawanan, dan Penguasa

Petrus Imam Prawoto JatibyPetrus Imam Prawoto Jati
February 26, 2025
inEsai
Merenungkan Musik; Sukatani, Perlawanan, dan Penguasa

Sumber foto: tangkapan layar IG Sukatani (dengan modifikasi)

KITA semua suka musik. Musik identik dengan hiburan. Namun demikian pada praktiknya, musik selalu lebih dari sekadar hiburan. Ia bisa berubah menjadi senjata, manifesto, dan sarana bersuara bagi mereka yang tak diberi ruang bicara.

Dari nyanyian perlawanan buruh, himne gerakan hak sipil, hingga lagu-lagu punk yang mencemooh sistem, musik telah lama menjadi medium yang efektif untuk menggugat ketidakadilan. Tetapi, seberapa jauh musik bisa menjadi saluran yang aman untuk menyuarakan pendapat? Kasus band Sukatani dari Purbalingga, Jawa Tengah beberapa waku lalu menjadi bukti, bahwa musik tetap bisa menjadi ancaman bagi mereka yang berkuasa.

Ciri Peradaban atau Instrumen Perlawanan?

Sejak manusia pertama kali dengan sengaja memukul batu atau meniup tulang untuk menciptakan bunyi, maka  musik telah menjadi bagian dari identitas dan peradaban kita sebagai manusia. Karena hewan tidak demikian tentunya.

Musik bukan sekadar kumpulan nada, tetapi ekspresi jiwa manusia yang paling dalam. Karenanya musik kemudian berevolusi dan berkembang sebagai suatu bahasa universal yang melampaui batas negara, bahasa dan generasi.

Namun, apakah musik hanya menjadi simbol peradaban yang indah dan damai? Sejarah membuktikan sebaliknya, bahwa musik juga berfungsi sebagai alat kritik sosial yang mengakar dan radikal. Dari We Shall Overcome yang mengiringi gerakan hak sipil di Amerika, hingga F** the Police dari N.W.A dan dirilis ulang oleh J Dilla, yang mengekspos brutalitas polisi, musik adalah bentuk perlawanan yang tak bisa diabaikan.

Di Indonesia, pelarangan terhadap lagu Genjer-Genjer karena dianggap identik dengan PKI menjadi bukti bagaimana musik harus disikapi dengan serius karena ancaman ideologi nasional. Koes Plus pun pernah dipenjara karena mempopulerkan lagu-lagu Barat yang dianggap merusak budaya nasional. Bahkan di era Orde Baru, Menteri Penerangan Harmoko, di akhir tahun 80 an, melarang lagu-lagu cengeng karena dinilai melemahkan mental bangsa. Mungkin di antara para pembaca masih ingat lagu Gelas-Gelas Kaca dan Hati yang Luka, nah itu.

Di sisi lain, muncul gelombang baru musik yang mencerminkan berbagai aspek sosial dan politik. Rhoma Irama membawa musik dakwah dengan lagu-lagu religi yang sarat dengan kritik moral. Dangdut pun berkembang, dari goyang ngebor Inul Daratista yang menuai kontroversi hingga dangdut pantura dan dangdut koplo yang merakyat. Musik terus berubah mengikuti dinamika sosial, tetapi tetap saja selalu memiliki peran dalam menyuarakan opini masyarakat.

Kasus Sukatani: Ketika Musik Dianggap Berbahaya

Lalu, bagaimana dengan band Sukatani dari Purbalingga? Nama mereka mungkin tidak sebesar Iwan Fals, tetapi aksi mereka mencerminkan kegelisahan kolektif masyarakat yang muak dengan ketimpangan. Lagu mereka Bayar Bayar Bayar secara eksplisit mengkritik beban ekonomi dan administrasi yang semakin berat bagi rakyat kecil.

Lirik-lirik yang mereka ciptakan tidak dibuat untuk menyenangkan telinga, tetapi untuk membangunkan kesadaran. Tengok saja pada album musik mereka yang bertajuk Gelap Gempita.  Mereka berbicara tentang eksploitasi tenaga kerja, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial, hal-hal yang seharusnya menjadi diskusi publik, tetapi justru dianggap subversif oleh segelintir orang yang berkepentingan.

Sukatani membuktikan bahwa bahkan dalam skala kecil, musik bisa menjadi ancaman bagi mereka yang ingin mempertahankan status quo. Lagu-lagu mereka tidak hanya memprovokasi pemikiran, tetapi juga menginspirasi aksi. Dan seperti yang sudah sering terjadi dalam sejarah, ketika musik menjadi terlalu berpotensi bahaya, kekuasaan mulai merasa tidak nyaman. Dalam banyak kasus, band seperti ini menghadapi tekanan, baik dalam bentuk sensor, intimidasi, atau bahkan pembungkaman paksa.

Musik Saluran yang Aman untuk Protes?

Di satu sisi, musik memang lebih “halus” dibandingkan demonstrasi jalanan atau tulisan atau orasi politik yang langsung menohok. Lirik bisa disamarkan dalam metafora, nada bisa menyentuh emosi tanpa memicu konfrontasi fisik. Namun, apakah ini membuat musik benar-benar aman? Faktanya, tidak selalu demikian, saudara.

Victor Jara, musisi revolusioner dari Chile, dibunuh oleh rezim Pinochet karena lagu-lagunya yang menantang kekuasaan. Fela Kuti di Nigeria terus-menerus ditindas karena musiknya yang menyuarakan penderitaan rakyat. Bahkan di Indonesia, pada masa Orde Baru, banyak lagu yang dicekal karena dianggap mengganggu ketertiban, entah ketertiban milik siapa yang dimaksud. Band-band indie yang mengkritik pemerintah kerap juga mendapat tekanan halus, dari pembatalan konser hingga intimidasi terhadap personelnya.

Sebut saja S.I.D, Efek Rumah Kaca, Navicula, dan tentu banyak yang lain. Sukatani, meski hanya diklarifikasi dan tidak mengalami represi ekstrem seperti itu, tetap menghadapi tantangan yang sama. Musik mereka dianggap terlalu vokal, terlalu berbahaya, terlalu jujur. Ini menegaskan bahwa dalam banyak kasus, musik bukanlah ruang aman. Sebaliknya, ia adalah ruang idealisme di mana palu godam kreatifitas bisa mengguncang fondasi kekuasaan.

Kewaspadaan Penguasa terhadap Musik

Jika musik hanya sekadar hiburan, mengapa banyak penguasa merasa perlu membungkamnya? Jawabannya sederhana saja pembaca yang budiman, karena musik mampu membentuk suatu kesadaran kolektif. Sebuah lagu bisa mengubah cara berpikir seseorang, menciptakan jenis solidaritas tertentu, dan membakar api semangat perjuangan. Musik tidak hanya menghibur, tetapi juga mengedukasi dan memobilisasi massa. Potensinya sunguh besar dan luar biasa.

Ketakutan terhadap musik bukanlah hal baru. Dari sang “Fuhrer” Hitler yang melarang jazz karena dianggap “musik rendahan” hingga pemerintah Indonesia di masa lalu yang mencurigai lirik-lirik lagu tertentu sebagai pemicu keresahan. Semua ini menunjukkan bahwa mereka yang berkuasa memahami betul kekuatan musik.

Musik bisa mengubah opini publik lebih cepat daripada pidato politik atau artikel ilmiah populer seperti yang anda baca ini. Musik masuk ke alam bawah sadar manusia, meresap ke dalam emosi, dan tanpa disadari, membentuk pola pikir seseorang. Menurut saya ini hal ini benar-benar keren.

Musik dan Masa Depan Perlawanan

Mari kita kembali ke Sukatani sejenak. Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari kasus Sukatani? Sederhana saja, musik tetap relevan sebagai alat perlawanan. Saat  ini teknologi memang telah mengubah cara kita mendistribusikan dan mengonsumsi musik, tetapi esensinya tetap saja sama. Musik tidak lagi harus melalui label besar atau radio untuk mencapai pendengar. Berbagai media sosial, platform streaming, dan komunitas independen telah membuka jalan lebar bagi suara-suara baru yang menantang dominasi narasi mainstream.

Namun, perlawanan melalui musik juga menuntut kecerdasan. Para musisi yang ingin menyuarakan kritik sosial harus menyadari betul risiko yang akan mereka hadapi dan menemukan cara agar bisa tetap bersuara tanpa mudah dibungkam. Musik harus menjadi lebih dari sekadar lagu protes, ia harus menjadi ruh pergerakan, sebuah alat yang dapat menyatukan, dan mendorong ke arah perubahan yang nyata.

Kasus Sukatani mengingatkan kita bahwa musik bukan sekadar seni, musik adalah pernyataan politik, senjata sosial, dan penggerak sejarah. Jika penguasa masih takut pada musik, itu artinya musik masih memiliki kekuatan. Dan selama masih ada ketidakadilan, musik akan selalu hadir, menjelma menjadi suara, bagi mereka yang tidak didengar.

Get up, stand up, Stand up for your right. Demikian tutur Bob Marley. Tabik.[T]

Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole

BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI

Misteri Layar Lebar: Mengapa Film Horor Merajai Bioskop Indonesia?
Pembatasan Media Sosial Kebijakan Tepat, tetapi Bukan Satu-Satunya Solusi
“Brain Rot” pada Anak: Virus Era Digital
Dunia Maya atau Dunia Nyata? Tren Media Sosial 2025
Tags: kekuasaanmusik
Previous Post

Di Meja Perjamuan Kekuasaan, Siapakah Sebenarnya yang Pegang Tali Kendali?

Next Post

Pemuda dan Pemerintah Kini Bisa Berinteraksi di Ruang RIPTA BASAbali Wiki

Petrus Imam Prawoto Jati

Petrus Imam Prawoto Jati

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah

Next Post
Pemuda dan Pemerintah Kini Bisa Berinteraksi di Ruang RIPTA BASAbali Wiki

Pemuda dan Pemerintah Kini Bisa Berinteraksi di Ruang RIPTA BASAbali Wiki

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co