SABTU Umanais Watugunung, 8 Februari 2025, adalah Hari Suci Saraswati, saya bersama Wolf Bagus Wiguna berkesempatansembahyang ke Pura Dalem Lamun, Pura Taman Sari, dan Pura Bias Tugel di Kawasan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) Nusa Dua. Persembahyangan saya lakukan setelah melaksanakan Saraswati Puja di SMA Negeri 2 Kuta Selatan.
Menariknya ketiga Pura tersebut (Pura Dalem Lamun, Pura Taman Sari, dan Pura Bias Tugel) berada di Kawasan elit ITDC, tepatnya di Kawasan Resort Nusa Dua (Grand Hyatt Bali). Untuk sampai di Pura Taman Sari— sebagai Pura Beji dari Pura Dalem Lamun— harus melalui lobi hotel Grand Hyatt Bali dengan bule lalu lalang.
Bule memerhatikan sambil tersenyum ketika kami lewat lobi membawa canang menuju Pura. Mereka tampak tidak merasa terganggu dengan kehadiran kami menuju area Pura Taman Sari. “Jangan-jangan, kami menjadi taman hidup buat mereka,” pikir saya dalam hati.
Pengempon ketiga Pura itu adalah sekaa pemaksan yang diwariskan secara turun-temurun. Karena berada di Kawasan hotel, Pura ini juga menjadi tempat pemujaan para karyawan (Hindu) Hotel Grand Hyatt. Pemandangan itu saya lihat, seorang Bali bersembahyang di Pura Taman Sari tanpa Pemangku, tetapi tirta dan bija tersedia setiap hari di Pura.
Tampaknya, Jro Mangku maturan saban pagi dan menyiapkan tirta dan bija. Jika ada pemedek sembahyang, dapat melayani diri-sendiri. Artinya, Jro Mangku memberikan keleluasaan kepada para pemedek Hindu untuk bersembahyang sesuai waktunya masing-masing. Dengan demikian, Pura Taman Sari sebagai Pura Beji-nya Pura Dalem Lamun dapat digolongkan Pura Swagina.
Pura swagina adalah Pura tempat pemujaan sesuai bidang pekerjaan yang dilakoni, seperti Pura Melanting untuk pedagang, Pura Segara untuk nelayan, Pura Ulun Suwi untuk petani.

Pura Dalem Lamun di Kawasan ITDC Nusa Dua Bali | Foto : I Nyoman Tingkat
Di antara ketiga Pura di Kawasan ITDC tersebut tampaknya saling terhubung satu dengan yang lain. Ir. I Wayan Wita, mantan Bandesa Desa Adat Bualu mengatakan, dulu, kalau Pujawali Nadi, Sekaa-Sekaa Unen yang ngaturang ayah di Pura Dalem Lamun itu juga mesucian ke Taman Sari dan Pura Bias Tugel.
Sekaa Unen yang biasanya ngaturang ayah di Pura Lamun adalah Barong Sampi dengan Pura Pererepan-nya di Pura Dalem Tanjung (Pura Bungkah Kaang) di sebelah Utara Banjar Bualu.
Selain itu, Sekaa Unen Jaba Bualu, Sekaa Unen Sawangan, Sekaa Unen Dalem Lamun Alitan Kuta, dan Jro Nyoman Banjar Celuk Bualu.
Pernyataan I Wayan Wita itu dibenarkan oleh Sumantra Karang, yang menjadi biasa nyolahang Barong Sampi dengan Rangda. “Awalnya, hanya ada Barong Sampi, belakangan dilengkapi dengan rangda,” kata I Wayan Wita.
Jika Pura Taman Sari adalah beji Pura Dalem Lamun, maka Pura Bias Tugel adalah tempat melasti-nya. Pura Bias Tugel berdampingan dengan Pura Dharma dipercaya sebagai tempat pasraman Dang Hyang Dwijendra melahirkan kakawin Anyang Nirartha.
Mencermati sejarah dan situs-situs hidup peninggalan Dang Hyang Nirartha di Gumi Delod Ceking, tampaknya upaya penyatuan aneka aliran agama dan sikap toleransi telah dibumikan sejak dahulu kala, di Nusa Dua. Nusa Dua tiada duanya di dunia untuk semangat toleransi beragama. Tinggalan Konco tertua di Gumi Delod Ceking ada Desa Adat Tanjung Benoa, yang paling modern juga ada di Desa Adat Bualu, juga di Gumi Delod Ceking dengan berdirinya Puja Mandala menjelang tumbangnya Orde Baru.
Nyatanya, semua itu menjadi objek kunjungan wisata bersenang-senang kini, kalau dulu untuk penekun spiritual menyepi meraih ketenangan batin. “Ngawe degdeg ajeg sekala niskala”.
Pura Dalem Lamun, sesuai dengan namanya mencitrakan Pura yang terhubung dengan ekosistem laut. Kata ‘lamun’ adalah Bahasa Bali yang berarti padang laut. Bahkan ada metafora Bahasa Bali, “mapadang di pasih” yang diartikan sebagai suka ngelamun.
Pura Dalem Lamun menarik sebagaimana Pura-Pura lain di ngampan Gumi Delod Ceking.
Pertama, di sini juga ada beberapa Sekaa Unen yang menandakan bahwa di tempat Pura ini berdiri berbagai taksu seni dilahirkan, tak ubahnya bunga kembang bermekaran yang mengundang kumbang-kumbang berdatangan mengisap sari bunganya. Bila sari bunganya sudah berhasil dijadikan madu, madu pun kembali dipersembahkan kepada-Nya, setiap pujawali yang jatuh pada Hari Suci Kuningan.
Jika Pura Dalem Lamun, Pura Taman Sari, dan Pura Bias Tugel menjadi satu-kesatuan dalam pencarian ke dalam, bukanlah kebetulan melainkan sudah takdir semesta. Sesuai namanya, lamun biasanya ditemukan di pasih sekeh, relatif di kedangkalan, sedangkan taman sari umumnya ada di darat, dan bias (pasir) tugel di laut, di kedalaman.
Hal itu mengingatkan saya kisah sandiwara radio tempo dulu (1970-1980-an), “Butir-butir Pasir di Laut” yang ditulis oleh Eddy Basrul Intan dan disutradarai oleh Jhon Simamora. Di kedalaman laut, mutiara diangkat ke permukaan untuk menjadi tontonan sekaligus tuntunan, menyenangkan sekaligus menenangkan. Seni membawa kelangon, lango.
Kedua, dengan mengatakan bahwa Pura Dalem Lamun adalah Pura Swagina, diperkirakan leluhur sekaa pemaksan-nya adalah nelayan dan petani. Sebagai nelayan dapat dikaitkan dengan Pura Bias Tugel, di pantainya ada batu jangkar.
“Begitu memasuki area Pura Bias Tugel, jika pemedek memperhatikan akan melihat batu Jangkar di pinggir laut. Sesuai dengan namanya, Batu Jangkar adalah jangkar bagi para nelayan tempo doeloe untuk memarkir jukung-jukungnya agar tidak berpindah diterjang ombak,” kata I Wayan Wita, mantan Bandesa Adat Bualu yang banyak berguru tentang adat kepada Anak Agung Oka Suweca, S.H. dari Glogor Denpasar.
Jejak nelayan tradisional Bualu, sampai akhir 1980-an biasanya noreng (menjaring ikan di sekeh berkelompok) sampai ke Sekeh Pasih Kutuh, dengan jukung tanpa mesin.
Sebagai petani, anggota Sekaa Pemaksan Pura Dalem Lamun berasal dari lintas banjar bahkan lintas Desa Adat. Ini terkait dengan kepemilikan tanah dekat lokasi Pura dulu sebelum dijadikan filoting Proyek Kawasan Wisata Elit pada 1970-an. Kepemilikan tanah orang Bali pada umumnya tidak menggunakan blok seperti zaman modern kini. Itu sebabnya, anggota banjar di Bali umumnya saling seluk. Artinya, warga Banjar Penyarikan Bualu misalnya belum tentu bertempat tinggal di Lingkungan Banjar Penyarikan, bisa jadi tinggal di Lingkungan Banjar Mumbul Bualu, atau sebaliknya yang notabena jaraknya jauh dari tempat tinggal mereka. Fenomena itu hampir sama di seluruh Bali jika memerhatikan posisi krama Desa Adat di Bali pada umumnya.

Pura Taman Sari di Kawasan ITDC Nusa Dua. Pemedek melewati Lobi Hotel Grand Hyatt untuk sampai ke Pura ini | Foto : Wolf Bagus Wiguna
Ketiga, sebelum 1970, Kawasan ITDC Nusa Dua adalah abian bangkuang dengan nyiur melambai-lambai dan penduduknya adalah petani – pelaut. Jejak agraris-maritim sangat kental walaupun kini makin redup memudar.
Namun, jejak ritual yang dilakoninya tidak keluar dari tradisi agraris dan maritim yang diaktualisasikan dalam tradisi nyegara – gunung. Laut harus dibersihkan dari segala sampah apalagi sampah plastik dan disucikan dengan mapekelem sedangkan gunung dengan Puranya disucikan sesuai dengan pujawali masing-masing Pura.
Begitulah tiga Pura di Kawasan ITDC Nusa Dua terjepit Kawasan elit tempat berbagai keputusan penting dunia tentang berbagai hal dilahirkan. Menjadi miris, bila tinggalan maha bersejarah ini tidak menerima dampak positip dari hiruk-pikuk pasar bebas pariwisata dunia. Pura Dalem Lamun dengan bejinya di Pura Taman Sari, jangan-jangan merupakan pusat taman sari dunia yang membuat Bali bersinar ke seantero dunia.

Pura Bias Tugel di Kawasan Pantai Nusa Dua, area elite ITDC | Foto : Widya Cahyani
Dang Hyang Nirartha sudah melukiskan tempo doeloe dari Pura Bias Tugel dan kaum kapitalis memetik hasilnya kini. Pembelajar di jalan kehidupan mestinya memahami hal ini sebagai bagian dari penguatan kearifan lokal. Tidak semua mesti diobral dan dijual untuk kepentingan keduniawian karena ada dunia lain yang perlu dirawat dan dilestarikan untuk pembangunan berkelanjutan.
Ibarat laut, di lamun kita bertemu ikan-ikan bersembunyi yang bila dijaring akan didapat ikan terseleksi cukup untuk makan siang. Jadi, tidak semua ikan harus dijaring. Ikan pun punya perikeikanan, sebagaimana manusia dengan perikemanusiaannya.
Di Taman Sari kita petik bunga-bunga kehidupan yang membuat terhibur dengan hati berbunga-bunga, yang walaupun bunga-bunga itu berguguran, tetap menyuburkan menjadi humus dan di Bias Tugel butir-butir pasir di laut menyiapkan Mutiara tiada ternilai. Mari kita rawat bersama untuk kesejahteraan lahir batin dunia sekala niskala.
Begitulah seyogyanya Pura di tengah arus hiruk-pikuk pariwisata dimaknai lebih-lebih saat Saniscara Kliwon Landep (Tumpek Landep), 22 Februari 2025. Hakikat Tumpek Landep adalah me-landep-kan (menajamkan, mencerdaskan) pikiran untuk mewujudkan Wiweka Jaya Sadhu (arif bijaksana dalam memenangkan persaingan berlandaskan budaya bangsa).
Dengan demikian, Bali diharapkan tetap mendapat pulung ketakson berkelanjutan, sebagaimana Sekaa Unen dari berbagai wilayah di Gumi Delod Ceking dan Denpasar secara konsisten masolah di Pura Karang Boma Sawangan Desa Adat Peminge setiap Tumpek Landep. Rahajeng Tumpek Landep mohon anugrah Bhatara Siwa dan Sang Hyang Pasupati. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT