MENGAJAR kelas Psikologi Komunikasi bagi Wisnawan Wijaya sangat mengasyikkan. Selain materi kuliah yang memang kekinian dengan kasus-kasus yang terjadi, mahasiswa peserta mata kuliah ini juga sangat aktif di kelas.
Mahasiswa biasa memanggil Wisnawan Wijaya dengan sebutan Mas Wis. Entah siapa yang memulai, panggilan Mas Wis hingga kini masih terus diberikan oleh mahasiswa. Mas Wis tidak pernah menolak panggilan itu. Bahkan dengan senang hati ia menerima panggilan itu. Di tengah usianya yang sudah menginjak 47 tahun, panggilan Mas membuatnya masih merasa muda.
Bukan tanpa alasan mahasiswa memanggil Mas Wis. Wajah Wisnawan Wijaya memang kekanak-kanakan. Mas Wis juga dilahirkan dari keluarga besar Jawa Tengah. Orang tuanya dari Kutoarjo, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Wajar jika ia mendapat sebutan Mas.
Mas Wis begitu dekat dengan mahasiswa. Itu karena dalam proses belajar mengajar Mas Wis tidak terlalu kaku. Ia memperlakukan mahasiswa seperti teman atau adik sendiri. Tak heran jika setiap mata kuliah Mas Wis selalu banyak diminati mahasiswa. Seperti mata kuliah Psikologi Komunikasi ini, pesertanya hingga 120 orang. Oleh karenanya mata kuliah ini dibagi menjadi tiga kelas: A, B, dan C.
Semester ini merupakan yang terpadat jadwal kuliah Mas Wis. Waktu kuliahnya pun kemudian menjadi hingga malam hari. Kuliah Psikologi Komunikasi kelas A ini mendapat jadwal kuliah agak malam, pukul 19.30 hingga 21.00. Nyaris setiap perkuliahan ini Mas Wis sampai di rumah larut malam. Apalagi bila Mas Wis membuat kuis dalam kuliah atau diskusi kelompok, perkuliahan bisa selesai lebih malam.
Mata kuliah Psikologi Komunikasi bagi mahasiswa dianggap mengasyikkan. Pokok bahasan mata kuliah ini banyak bersentuhan dengan isu-isu kekinian, seperti sikap, perilaku, maupun motivasi seseorang dalam melakukan tindakan. Mas Wis selalu mengaitkan materi kuliah dengan kasus-kasus yang terjadi saat ini, semisal sikap dan perilaku orang dalam menggunakan media sosial. Atau juga motivasi mahasiswa dikaitkan dengan relasi cinta. Tak heran jika mahasiswa selalu interaktif dalam perkuliahan.
***
Ruang kuliah untuk Psikologi Komunikasi kelas A berada di ruang 11 yang tidak terlalu luas, namun sangat nyaman. Ruangan yang sejuk ber-AC dengan kursi yang masih baru, membuat mahasiswa betah berada di kelas. Ruang ini sering diperebutkan oleh dosen-dosen, sehingga Mas Wis kebagian jadwal kuliah malam. Tak masalah baginya. Kuliah malam justru lebih asyik ketimbang siang hari yang sering membuat mahasiswa mengantuk.
Malam ini Mas Wis menjelaskan materi tentang faktor emosional seseorang yang berkaitan dengan rasa takut. Menurutnya, rasa takut dapat dipicu oleh hal-hal yang tidak diketahui dan tidak bisa dipastikan. Rasa takut juga dapat disebabkan mendengar dan melihat sesuatu atau mendapat informasi yang menakutkan.
Reaksi terhadap rasa takut bermacam-macam. Biasanya denyut jantung menjadi lebih cepat. Wajah menjadi pucat dan tubuh merasakan keringat dingin. Semua itu adalah reaksi psikologis yang disebabkan oleh perasaan takut.
“Coba Tio, sebutkan contoh yang memicu rasa takut,” perintah Mas Wis kepada Septio, mahasiswa yang duduk di barisan tengah.
“Melihat hantu Mas…,” jawab Tio membuat mahasiswa lain tertawa.
“Wahh… horor kamu Tio…,” komentar Mas Wis.
Jawaban Tio mungkin saja spontan. Namun kuliah di malam hari dengan menyebut hantu tentu sesuatu yang menyeramkan. Apalagi kampus tempat Mas Wis mengajar selama ini dikenal sebagai sarang hantu.
Mas Wis mengakhiri perkuliahan pukul 21.30, setengah jam lebih lama dari jadwal kuliah. Bukan lantaran jawaban Tio yang membuat kuliah dihentikan. Hari memang sudah mendekati tengah malam. Sementara besok pagi ia harus mengajar mata kuliah yang lain.
Mas Wis menuju tempat parkir mobil. Malam sudah menunjukkan pukul 22.00. Hanya ada beberapa mobil yang parkir di area kampus. Mahasiswa juga ada yang membawa mobil, tapi tidak lebih dari tiga orang. Sehingga area parkir seperti tampak lengang.
Saat hendak membuka pintu mobilnya, tiba-tiba Mas Wis dikejutkan dengan mobil dekanat yang parkir tidak jauh dari mobilnya. Mobil dekanat yang berpelat merah itu tampak bergoyang-goyang. Mas Wis tak habis pikir, mengapa mobil dekanat itu bergoyang. Pikirannya jadi agak curiga. Apalagi belum lama ini beredar viral video mesum mobil bergoyang di Gorontalo.
Tapi siapa yang berani berbuat mesum di dalam mobil dekanat? Begitu pikir Mas Wis. Mahasiswa tentu saja mustahil. Mobil itu pasti terkunci. Mahasiswa tak mungkin bisa masuk ke dalam mobil. Lagi pula mahasiswa mana yang berani kurang ajar di dalam mobil pimpinan fakultas.
“Apakah Pak Rudi, sopir pimpinan?”
Ah, tak mungkin. Mas Wis membantah sendiri pendapatnya. Mana mungkin sopir mobil dinas fakultas berani melakukan perbuatan tak senonoh malam hari di kampus.
Mas Wis memberanikan diri mendekati mobil dekanat yang masih bergoyang itu. Ia mengintip dari balik kaca, siapa yang ada di dalam mobil. Di kegelapan malam agak sulit baginya melihat secara jelas mobil yang berkaca gelap itu. Matanya berusaha lebih mendekat ke kaca mobil. Di bagian depan mobil dia tidak melihat siapa pun.
Betapa terkejutnya Mas Wis ketika matanya tertuju ke tempat duduk di bagian tengah mobil. Seorang perempuan berambut sebahu sedang duduk sambil menggoyangkan kakinya. Pakaiannya serba hitam. Wajah perempuan itu pucat. Matanya sembab memerah dengan tatapan kosong. Mas Wis meyakinkan diri dengan penglihatannya. Ia menggosok-gosok matanya. Kini tatapan perempuan itu malah mengarah kepada Mas Wis.
Seketika Mas Wis ketakutan. Detak jantungnya bertambah cepat. Keringat dingin mengucur dari kening dan lehernya. Apa yang tadi sempat dibahas dalam perkuliahan tentang ketakutan dan kecemasan kini ia rasakan. Ini bukan perempuan biasa, pikir Mas Wis.
Dia memutuskan untuk mundur, menjauh dari mobil. Ia tak mau berurusan dengan hantu perempuan yang menyeramkan di dalam mobil dekanat.
Secepatnya Mas Wis menghidupkan mesin mobilnya. Ia segera tancap gas pulang ke rumah. Berkali-kali ia menengok kaca spion di atas kepalanya, memastikan hantu perempuan yang ada di dalam mobil dekanat tidak mengikutinya. Bulu kuduknya masih berdiri dan rasa takutnya belum sirna ketika istrinya membukakan pintu rumah. Ia langsung minum air putih untuk menghilangkan rasa takutnya.
***
Ternyata bukan hanya Mas Wis yang menyaksikan mobil bergoyang tengah malam di kampus. Widya Novianti, dosen Komunikasi Pembangunan yang biasa dipanggil Novi, juga pernah mengalami hal serupa. Kejadiannya juga saat malam hari, setelah Novi selesai mengajar di program magister. Hal itu ia sampaikan ketika mendengar cerita Mas Wis saat mengobrol di ruang dosen.
Sangat jelas dalam penglihatan Novi, kala itu mobil dekanat yang diparkir di halaman kampus bergoyang-goyang. Awalnya Novi menduga mobil bergoyang karena ada gempa bumi. Namun ia keliru, karena hanya mobil dekanat itu yang bergoyang; sedangkan mobilnya dan mobil mahasiswa tidak ada yang bergoyang.
Sungguh mengerikan. Ketika Novi mendekati mobil dekanat itu, sosok perempuan berbaju hitam sedang menggoyangkan kakinya seraya meronta-ronta di dalam mobil. Lebih menyeramkan lagi, saat Novi mencoba melihat dari balik kaca jendela mobil, perempuan itu justru melotot kepadanya. Seolah penuh amarah, perempuan itu seperti hendak mencengkeram Novi.
Saat itu Novi sudah memastikan bahwa perempuan dalam mobil itu adalah hantu. Secepatnya ia berlari menuju mobilnya. Ia tak mau dicengkeram hantu perempuan itu. Tangan Novi gemetaran ketika hendak membuka pintu mobilnya. Novi hendak menjerit memanggil petugas jaga malam di kampus. Namun mulutnya terasa terkunci. Beruntung ia bisa mengendarai mobilnya sampai ke rumah dengan selamat.
Atas kejadian beruntun itu Mas Wis dan Novi melaporkan kepada Dekan Fakultas. Tentu saja Dekan terkejut mendengar cerita mereka berdua. Dekan segera memanggil Pak Rudi, sopir mobil dekanat. Pak Rudi pun kaget. Sebab ia pun pernah melihat sosok hantu perempuan di dalam mobil yang ia kemudikan dari kaca spion yang ada di atas kepalanya.
“Kok mobil dinas ada hantunya Pak Rudi?”, tanya Dekan.
Pak Rudi berpikir sejenak, lantas menjawab.
“Mungkin itu arwah perempuan yang pernah ditabrak mobil kita hingga meninggal oleh Pak Jayadi, sopir sebelum saya. Mungkin arwahnya masih belum sempurna,” jawab pak Rudi.
Tahun lalu mobil dekanat memang pernah menabrak seorang perempuan di luar kota saat ada perjalanan dinas. Waktu itu yang menyetir Pak Jayadi. Korban tewas di tempat. Pak Jayadi sudah diproses hukum akibat kelalaian yang menimbulkan hilangnya nyawa orang lain, dan harus mendekam di penjara.
“Terus bagaimana ini urusannya Pak Rudi?”, tanya Dekan ikut ketakutan juga.
“Nanti saya minta tolong Pak Sariman, dukun Ebeg di desa saya. Dia sering diminta orang untuk memindahkan hantu,” kata pak Rudi.
Malam harinya, Pak Sariman datang ke kampus. Pak Sariman adalah dukun atau dalang kesenian Ebeg atau Kuda Lumping. Ia biasa berurusan dengan makhluk gaib yang masuk ke dalam tubuh para pemain Ebeg. Pak Sariman pula yang kemudian harus mengeluarkan kembali makhluk gaib dari para pemain Ebeg.
Dekan, beberapa dosen, dan pegawai ikut hadir di tempat parkir mobil fakultas. Mas Wis dan Novi juga penasaran ikut hadir. Tepat pukul sepuluh malam, mobil dinas dekanat kembali bergoyang. Suasana mencekam sangat terasa di pelataran kampus. Hawa dingin terasa menyentuh kulit mereka.
Perlahan Pak Sariman mendekati mobil pelat merah yang biasa digunakan dekanat itu. Tampak ia membaca mantra, kemudian membuka pintu mobil. Mobil masih tampak bergoyang ketika Pak Sariman masuk ke dalam mobil. Semua yang ikut hadir menyaksikan larut dalam suasana menakutkan. Mereka terdiam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sekitar lima belas menit Pak Sariman berada di dalam mobil. Sayup terdengar suara seorang perempuan menangis. Namun tidak semua orang mendengarnya. Hanya Mas Wis dan Novi saja yang mendengar suara tangisan itu. Tentu saja membuat mereka merinding. Sementara Dekan, pegawai, dan dosen lain tak mendengar suara apa pun.
Pak Sariman keluar dari mobil sambil menggendong perempuan. Usia Pak Sariman yang tidak lagi muda tampak seperti memikul beban berat. Mas Wis dan Novi melihat dengan jelas perempuan itu menangis dalam gendongan Pak Sariman. Orang-orang yang berada di pelataran kampus hanya merasakan hawa dingin tanpa mampu melihat perempuan yang digendong Pak Sariman.
“Dia masih ingin berada di mobil ini. Mobil yang telah merenggut nyawanya. Tapi tadi sudah saya bujuk untuk pindah. Nanti saya pindahkan ke pohon mahoni di ujung sana,” kata Pak Sariman sambil menunjuk pohon mahoni besar yang tumbuh di pojok halaman kampus.
Dengan tertatih-tatih Pak Sariman menggendong hantu perempuan di dalam mobil dekanat itu menuju pohon mahoni. Mas Wis dan Novi hanya bisa terpaku diam sambil memperhatikan setiap langkah Pak Sariman. Hantu perempuan itu sepertinya pasrah. Ia tak lagi menangis pilu. Saat pak Sariman menurunkan perempuan itu di dekat pohon, mendadak hilang dari pandangan Mas Wis dan Novi.
Kini hantu perempuan itu telah berada di tempat baru, di pohon mahoni kampus. Mas Wis dan Novi berharap tidak lagi melihat mobil bergoyang di tengah malam. Mereka juga berharap arwah perempuan itu tenang di alam sana. Sehingga mereka tidak lagi dibayangi ketakutan saat melewati pohon mahoni di kampus.
- Ini adalah cerita fiksi misteri bersambung. Jika terdapat kesamaan nama, tempat, dan peristiwa hanyalah kebetulan dan rekaan penulis semata
Penulis: Chusmeru
Editor: Adnyana Ole