SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua pulau tersebut bisa saling memengaruhi, pindah tempat, kunjung-menggunjungi—dari Bali ke Lombok atau sebaliknya—dengan alasan-kepentingan yang bermacam-macam. Ada yang menetap, ada pula yang singgah dalam rentang waktu tertentu.
Kontak antara Singaraja di Bali dengan Lombok di Nusa Tenggara Barat, sudah terjadi sejak dahulu, khususnya lewat aktivitas perdagangan. Ini bukan hal yang aneh. Mengingat, dalam sejarah, Singaraja-Lombok termasuk jalur perdagangan yang terkenal ramai. Apalagi saat Singaraja didapuk sebagai ibu kota Keresidenan Bali.
Sejak awal abad 19, jalur perdagangan Bali-Lombok-Batavia memang berkembang pesat, terutama untuk kebutuhan komoditas sandang dan pangan, selain budak, tentu saja. Pada awalnya, upaya dalam meningkatkan rute perdagangan di Bali sebenarnya lebih tampak di daerah bagian selatan. Namun, setelah menjelang runtuhnya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)—perusahaan dagang Belanda yang didirikan pada 1602, perdagangan Bali Selatan—khususnya di Kuta, Denpasar—mengalami kemunduran.
Akhirnya, berkat perubahan sosial, ekonomi, dan politik pada saat itu, pusat perdagangan Bali bergeser ke utara, tepatnya ke Singaraja, Buleleng, di Bali Utara. Ini membuat Buleleng, diakui atau tidak, menjadi daerah penting pada awal abad 20. Hal ini disebabkan oleh dua faktor penting, yakni: Singaraja sebagai kota pelabuhan; dan Singaraja sebagai pusat pemerintahan (ibu kota) di Bali dan Nusa Tenggara pada masa pemerintah Hindia Belanda.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/jas.-lombok.-mahasiswa2-1024x576.jpg)
Kegiatan mahasiswa Lombok di Singaraja | Foto: Istimewa
Singaraja sebagai pusat pemerintahan, dulu, mempunyai tiga jalur lalu-lintas yang menghubungkan Bali Utara dengan Bali Selatan. Pertama, jalan Kubutambahan menuju Kintamani dan Denpasar. Kedua, jalur Bubunan dan Pupuan. Dan ketiga, bersamaan dengan jalur yang kedua tadi, dibuka pula jalur danau Beratan yang pembuatannya selesai pada tahun 1926. Kedua jalur tersebut merupakan jalan utama, sedangkan jalur Gitgit (danau Beratan)—yang sekarang menjadi jalur utama—pada masa itu sekadar jalan darurat (alternatif) untuk menghubungkan Singaraja dengan Sukasada bagian selatan. Jaringan jalan Bubunan-Pupuan sangat penting bagi masyarakat, karena memperlancar arus lalu-lintas perdagangan, terutama mempermudah angkutan kopi dari Munduk dan Pupuan.
Dengan begitu, sebagai kota pelabuhan Hindia Belanda, tanah kelahiran ibunda Soekarno itu menjadi lebih terbuka karena pengaruh dari luar, dan sebagai pusat pemerintahan Singaraja menjadi kota yang ramai dan dinamis. Saat itu, ditopang beberapa pelabuhan seperti Temukus, Buleleng, dan Sangsit, Bali Utara tampil sebagai pusat perdagangan. Ketiga pelabuhan tersebut merupakan tempat transit kapal dan perahu yang berlayar dari Surabaya, Makassar, dan pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara.
Sedangkan beberapa pelabuhan penting di Lombok, seperti Ampenan, Labuan Tring—dan beberapa pelabuhan kecil seperti Tanjung Karang, Padang Reyak, Teluk Lombok, Labuhan Haji, Peju, Teluk Sugihan, dan Teluk Blongos yang dipakai berlabuh pada musim hujan—juga sudah ramai sejak dulu. Banyak kapal besar besandar di Pelabuhan Ampenan. Pun di Labuan Tring yang juga terletak di Lombok Barat.
Bahkan, tulis C. Lekkerkerker, seorang Inggris macam G. P. King yang pernah tinggal di Lombok pada 1832-1848, memanfaatkan Labuan Tring sebagai tempat perdagangan. Dan pada tahun 1835, King mendirikan sebuah galangan kapal di sana. Pada waktu itu, Labuan Tring ramai disinggahi kapal pribumi maupun kapal luar negeri.
Dalam Leven en aventuren van een oostinjevaarder op Bali (1928) A.K. Nielsen menulis, antara abad 17-18 aktivitas perdagangan antara Bali dengan Batavia berkisar pada masalah perdagangan budak, di samping kebutuhan sandang dan pangan.
Ya, beberapa buah kapal dari Bali dan Lombok yang berlayar menuju Batavia, selain berisi budak laki-laki dan perempuan, ada pula beras, gula, asam, minyak kelapa, babi, pinang, hewan dan bahan makanan untuk anak buah kapal, malam, kayu, garam, dan itik. Perlu diketahui bahwa Lombok telah mengekspor beras sampai ke China, Singapura, Australia, bahkan hingga Mauritius (negara di Afrika bagian Timur).
- BACA JUGA:
Sementara itu, dari Batavia, Bali mendapat barang-barang pecah-belah seperti porselin, juga kain, besi tua, obat-obatan, ikan asin, benda tembaga, barang-barang dari Tiongkok, menyan, dan tembikar. Sedangkan kapal-kapal dagang Batavia yang menuju ke Lombok membawa muatan berupa laken merah, kain, ketumbar, peci, dan besi.
Khusus arus perdagangan budak dari Bali-Lombok ke Batavia ini dapat dimengerti bila kita hubungkan dengan situasi politik pada masa itu. Untuk menyusun kekuatan militer di Nusantara, Belanda sangat banyak memerlukan tentara. Begitulah keterangan C. Lekkerkerker—yang menulis pada masa pemerintahan Daendels banyak orang Bali dijadikan tentara yang sangat berani.
Selain itu, perdagangan budak juga menjadi bisnis yang membentuk dan menghasilkan kekayaan bagi VOC dan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Lihatlah, banyak sumber primer seperti jurnal pelancong Eropa dan manuskrip lokal berharga yang berasal dari masa VOC (1602-1799) maupun sebelumnya, memberitakan manusia sebagai hal yang biasa diperdagangkan sebagaimana komoditas lainnya.
Tome Pires dalam Suma Oriental (1944), misalnya, menyebut daerah Bima dan Sangeang di Nusa Tenggara Barat biasa memperdagangkan budak ke pulau Jawa, selain kuda, makanan, dan pakaian. Dan Thomas S. Raffles malah menyebut dengan jelas berapa harga budak dari Bali.
Kata Raffles, budak-budak dari Bali dihargai sepuluh hingga tiga puluh dolar untuk budak laki-laki; dan lima puluh hingga seratus dolar untuk budak perempuan. Sedangkan Bo’ Sangaji Kai—catatan Kerajaan Bima—mencatat bagaimana pejabat tinggi Kesultanan Bima menagih upeti berupa budak dan pakaian emas kepada ketua suku di Manggarai untuk diserahkan kepada VOC guna membayar utang.
Jual-beli budak di Bali dan Lombok ini berlangsung cukup lama. Bahkan setelah praktik hina tersebut dilarang di Hindia Belanda secara bertahap antara 1854-1860, bisnis haram itu nyatanya masih belangsung secara sembunyi-sembunyi. uktinya, pada 1889, salah satu surat kabar yang berbasis di Australia, The Brisbane Courier (TBC), memberitakan kasus perbudakan yang terjadi di Ampenan, Lombok, dengan tajuk Slavery in Lombok setelah menerima telegram dari The Singapore Free Press perihal rincian kasus pembunuhan 4 orang budak di publik oleh seorang syahbandar terkenal, Sayid Abdullah dari Ampenan.
Singaraja-Lombok: Setali Tiga Uang
Saat Singaraja diputuskan menjadi ibu kota Keresidenan Bali-Lombok, pada saat itu pula, tercipta hubungan-hubungan yang tidak hanya sekadar urusan perekonomian, tetapi dalam batas-batas tertentu, hubungan tersebut berkembang ke arah interaksi sosial budaya yang kompleks. Hal ini dapat terjadi karena pedagang-pedagang yang singgah di Pelabuhan Buleleng berasal dari berbagai etnik yang pada akhirnya banyak memberikan warna pada kultur masyarakat Buleleng—suatu masyarakat yang memiliki karakter egaliter dan kosmopolit. Pun, di kota ini pula, peradaban modern di Bali dimulai.
Rupanya, sejak ditetapkannya Singaraja sebagai ibu kota Keresidenan Bali dan Lombok pada tahun 1882 oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sudah timbul perhatian untuk menertibkan orang-orang Timur Asing yang berada di Bali Utara. Penertiban itu diatur dalam Staatsblad 1883: a 67 yang menetapkan Pabean (pelabuhan) Buleleng, Tumukus, dan Sangsit sebagai tempat permukiman orang Cina; dan Pabean Buleleng sebagai tempat permukiman untuk orang-orang Timur Asing lainnya.
Selain orang-orang Timur Asing, banyak pula orang-orang Bugis, Jawa, Madura, Mandar, Ambon, Sasak yang menetap menjadi pedagang di daerah pantai dan membuat perkampungan di sekitar Pelabuhan Buleleng. Dulu, kontak-kontak di antara mereka kebanyakan menyangkut soal-soal perdagangan.
Sampai pada tahun 1930, dalam buku Sejarah Sosial Bali Kota Singaraja (1984), tercatat ada 731 orang Sasak (Lombok) di Buleleng. Saat ini jelas jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak. Keberadaan orang-orang Lombok, Nusa Tenggara Barat di Bali, pun sebaliknya, memberikan suasana yang berbeda di tengah-tengah penduduk setempat. Lalu timbul interaksi sosial pembauran nilai yang unik.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/son.-tahu-lombok1-1024x580.jpg)
Orang Lombok membuat usaha tahu lombok di Singaraja | Foto: tatkala.co/Son
Setidaknya ada tiga hal yang memungkinkan terjadinya hubungan kerja sama yang intim dan mengarah kepada integrasi antaretnik antara Singaraja dan Lombok. Pertama, adanya titik temu antarbudaya etnik yang berbeda sekaligus memiliki sifat-sifat yang mirip satu sama lain—bagaimana pun, kedua daerah ini pernah di kuasai trah Karangasem. Kedua, adanya sistem perekonomian etnik yang berbeda, dan dalam keadaan demikian saling membutuhkan sehingga saling tergantung, dan ini dapat berkembang menjadi hubungan kerja sama secara komplementer. Ketiga, adanya kesadaran bahwa selain melalui konfiik, dengan kerja sama pun suatu tujuan dapat dipenuhi, baik kebutuhan ekonomi, sosial, maupun kebutuhan psikologis.
Sampai di sini, Singaraja dan Lombok seperti memiliki kesamaan nasib dalam beberapa hal. Bukan saja sama-sama pernah tercatat sebagai daerah jalur perdagangan yang ramai dan menjadi wilajah jual beli budak, tapi juga sama-sama pernah dikuasi Kerajaan Karangasem—daerah antara Buleleng-Lombok.
Kerajaan Karangasem muncul sebagai salah satu kekuatan yang cukup dominan dan mengkhawatirkan di Bali setelah berhasil menguasai seluruh wilayah Lombok sejak tahun 1740. De Graaf (1941) berpendapat bahwa jatuhnya Kerajaan Gelgel hampir bersamaan dengan bangkitnya Kerajaan Karangasem sehingga memberikan peluang untuk menguasai Lombok. Dan pada 1780, Raja Karangasem menguasai Buleleng dan membangun istana yang diberi nama Puri Singaraja. Sejak saat itu, Buleleng diperintah Dinasti I Gusti Gede Karang, penguasa Karangasem.
Kontak Singaraja-Lombok dapat pula kita lihat saat I Gusti Putu Geria, Punggawa Buleleng tahun 1886, diutus ke Mataram, Lombok, untuk meredam gejolak pada tahun 1895. Di sana, kakak I Gusti Nyoman Raka itu menjabat sebagai patih dan bertempat tinggal di Puri Ukir Hawi Cakranegara. Untuk menunjang tugas tersebut, Gusti Geria mengajak saudara-saudaranya dari Puri Kanginan Singaraja ke Mataram dan mengangkat mereka sebagai punggawa sedahan, pekasih, dan lainnya. Sejak itu beberapa keluarga dari Puri Kanginan ikut bemukim di sana sampai sekarang. Di sana pula, Hindu-Bali di Mataram terpusat. Di bawah pemerintahan Karangasem, Cakranegara dikembangkan sebagai pusat pemerintahan sekaligus menjadi sentra permukiman Hindu-Bali.
Singaraja di Mata Orang Lombok
Selanjutnya, keterhubungan Singaraja-Lombok berkembang ke arah yang lebih asosiatif, seperti jalinan perkawinan, pendidikan, dan urusan-urusan lain macam diplomasi politik pemerintahan, kesenian, dan kebudayaan. Oleh sebab itulah, banyak komunitas Lombok yang tinggal di Singaraja. Orang-orang Islam di Desa Tembok, Tejakula, atau Muslim di Batu Gambir, Julah, Tejakula, jelas diaspora dari Pulau Lombok.
Terkait hal ini, Muri Kusnadi adalah saksinya. Pria 67 tahun itu sudah lama tinggal di Singaraja, sejak tahun 1977, saat ia masih bertugas di ABRI, tepatnya di Secata Rindam IX/Udayana Singaraja. Ia sempat pindah ke Dompu tahun 1990-1991, dan tahun 2000 balik lagi ke Singaraja sampai sekarang.
“Alhamdulillah, di Singaraja ini aman. Kami dengan warga asli sini saling menghormati. Di komplek ini saya sendiri yang orang Lombok, yang lain warga asli sini dan beberapa orang Madura,” terang Muri.
Pada tahun 2000, bersama sang istri, Muri mulai membuka usaha jualan tahu lombok di Singaraja. Saat itu ia sempat mendatangkan empat orang dari Lombok, khusus untuk memproduksi tahu. Tapi sayang, mereka berempat hanya bertahan setahun di Singaraja. Akhirnya Muri berusaha membuat tahu sendiri. “Saya merintis dari nol, berkembang sampai sekarang. Tapi pada saat Covid-19, itu cukup terganggu. Mulai jatuh lagi,” akunya.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/son.-tahu-lombok2-1024x580.jpg)
Orang Lombok membuat usaha tahu lombok di Singaraja | Foto: tatkala.co/Son
Tahu lombok tentu saja berbeda dengan tahu-tahu pada umumnya. Menurut Muri, letak perbedaannya ada pada campuran cukanya. “Kalau tahu biasa itu pakai cuka-cuka belanda—cuka botol itu, yang kecut, kaya blimbing wuluh. Kalau tahu lombok, cukanya itu pakai air garam yang kadarnya agak tinggi. Dan prosesnya agak panjang karena setelah dicetak kami rembus lagi,” terangnya.
Sejauh ini, Muri enggan kembali ke Lombok. Singaraja sudah menjadi kampung halamannya sekarang. “Istri saya keturunan Madura yang lahir dan besar di sini. Mertua saya tinggal di sini [Singaraja] sudah lama,” katanya.
Lalu, sebagaimana Banyuwangi, atau mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil di Madura, banyak pula mahasiswa dari Lombok yang kuliah di Singaraja, khususnya di Universitas Pendidikan Ganesha, Universitas Panji Sakti, dan di STAHN Mpu Kuturan. Bahkan, para mahasiswa dari Lombok tersebut menghimpun diri dengan mendirikan organisasi bernama Himpunan Mahasiswa Lombok (HIPMAL), yang aktif melakukan kegiatan internal maupun sosial di Singaraja. Pun mereka yang dari Sumbawa, Bima, dan sekitarnya.
- BACA JUGA:
Pun sebaliknya, tak sedikit pula mahasiswa dari Singaraja yang kuliah di Lombok, di Universitas Mataram, beberapa di Institut Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram, pula di Universitas Islam Negeri Mataram. Ikatan pernikahan juga demikian. Pantas saja kemudian lahir ungkapan, “Ada Bali di Lombok” atau “Lombok adalah Bali yang lain”.
“Saya kuliah di Singaraja karena rekomendasi dari kakak sepupu, namanya Agustini. Awalnya niatnya mau di Politeknik Pariwisata Lombok. Tapi nggak jadi, untuk mencari pengalaman, dan kebetulan jaraknya nggak terlalu jauh,” ujar Byur Ridho, Ketua HIPMAL (Himpunan Mahasiswa Lombok). Orang-orang memanggilnya Datuk Hipmal—panggilan dari para anggota HIPMAL yang disematkan kepada ketua.
Saat ini Ridho duduk di bangku semester 6 Prodi Pendidikan Vokasional Seni Kuliner (PVSK) Undiksha. Ia masuk kuliah tahun 2022. Menurut Ridho, saat ini, anggota HIPMAL mencapai seratusan orang, meski yang aktif tak lebih dari separohnya. Hipmal menjadi “rumah” bagi mahasiswa-mahasiswa dari Lombok. Saat awal-awal di Singaraja, Ridho mengaku diopeni, banyak dibantu teman-teman HIPMAL. “Terutama, misalnya, tentang cara menggunakan laptop, urusan kampus—kaya membuat PPT, makalah, itu teman-teman di HIPMAL yang banyak membantu,” akunya.
Tradisi semacam itu selalu ada saat tahun ajaran baru. Anak-anak HIPMAL akan mengadakan ratam (ramah tamah), biasanya dilaksanakan di tepian Danau Tamblingan, di kawasan Bedugul, atau tak jarang di Bendungan Gerokgak. Di sana para mahasiswa baru dan yang lama saling bercengkrama, cerita-cerita terkait kendala selama di Singaraja, sistemnya kekeluargaan. HIPMAL juga sering mengadakan acara kebersamaan di sungai daerah Sambangan. “Kami megibung di sana. Menguatkan solidaritas—dan kondisi ini kami jaga hingga hari ini,” kata Ridho.
Dari sanalah akhirnya Ridho nyaman tinggal di Singaraja. Ia sudah menganggap Singaraja sebagai rumahnya sendiri. Singaraja dan Lombok menurutnya tak jauh berbeda. Soal masjid, misalnya. Meskpun orang Singaraja mayoritas Hindu, tapi di kota ini masjid mudah saja ditemukan. “Kalau cerita tetangga, di Bali itu begitu gawatnya. Nanti salat sulitlah, nggak ada makanan halal, segala macam cerita liar. Tapi nyatanya biasa saja, dan toleransinya juga kuat,” tegas Ridho.
Soal toleransi antara Islam dan Hindu, di Lombok Barat, di tanah kelahiran Ridho, terdapat tradisi yang sudah turun-temurun. Namanya Perang Topat (Perang Ketupat), tradisi tahunan masyarakat Lombok berupa saling lempar ketupat antara umat Islam dan Hindu. Tradisi ini berlangsung di Pura Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/jas.-lomok.-mahasiswa-1024x580.jpg)
Rido (paling kiri), Mizanul Hak (paling kanan), orang-orang Lombok yang tinggal di Singaraja | Foto: Istimewa
Pengaruh Bali dalam kultur Suku Sasak jelas tak sedikit. Ini terlihat dalam hal pakaian busana adat, alat musik tradisional (gamelan), senjata tradisional, dan makanan. Bentuk kesenian tradisional macam Gendang Beleq, misalnya, jelas produk budaya yang mendapat pengaruh dari kesenian Bali. Atau bentuk kerisnya. Keris Lombok punya ciri serupa dengan keris dari Bali. Kemiripan itu terbentuk melalui jalur akulturasi budaya Kerajaan Klungkung yang masuk Lombok setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15.
Senada dengan Ridho, Mizanul Hak juga demikian. Mizan ke Singaraja pada 2015. Ia kuliah di Undiksha sebelum melanjutkan S2 ke STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Bagi Mizan, pelukis muda asal Lombok Timur itu, Singaraja juga rumah. “Banyak memberikan pengalaman kepada saya,” ujar Mizan.
Sekarang Mizan sedang berjuang menyelesaikan S2-nya. Ia masuk STAH pada 2023. Alasannya, selain karena betah di Singaraja, ia juga ingin jadi pembeda di keluarganya. “Saya muslim, tapi kuliah di kampus Hindu,” katanya, sembari tertawa.
Baiklah. Tampaknya, Singaraja-Lombok memang setali tiga uang. [T]
Reporter: Tim Tatkala [Son, Rus, Jas]
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: