TIDAK seorang punyang tahu kapan bencana terjadi. Walaupun ada ramalan cuaca dari BMKG, yang namanya ramalan tetap saja menimbulkan persepsi ketidakpastian. Oleh karena itu, Satuan Pendidikan perlu mengantisipasi agar terhindar dari segala jenis bencana yang menimpa.
Pengetahuan tentang bencana menjadi penting disampaikan kepada peserta didik sebagai langkah preventif mengedukasi. Bencana dikenali untuk dihindari.
Sadar akan hal itulah, Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olah Raga Provinsi Bali bekerja sama dengan Plan Indonesia melaksanakan Pelatihan tentang Kebencanaan selama dua hari bagi 100 SMA/SMK/SLB se-Bali tersebar di 8 Kabupaten dan Kodya Denpasar.
Pelaksanaan pelatihan bagi 100 sekolah sebagai piloting itu dilaksanakan dua tahap. Tahap I berlangsung pada 21-22 Januari 2024 dan Tahap II berlangsung 24 – 25 Januari 2024.
Peserta pelatihan tentang Kebencanaan | Foto: Nyoman Tingkat
Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) adalah upaya pencegahan dan penanggulangan dampak bencana di Satuan Pendidikan. Dasar Hukumnya adalah Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan Program SPAB.
Sesuai dengan aturan itu, ada 3 filar yang wajib dipenuhi SPAB, yaitu fasilitas (sarana dan prasarana) pembelajaran yang aman bencana; meningkatnya kemampuan manajemen bencana di Satuan Pendidikan; dan melaksanakan pencegahan dan pengurangan risiko bencana.
Ketiga pilar itu dilengkapi dengan 8 nilai : pemberdayaan, perubahan budaya, kemandirian, berbasis hak, keberlanjutan, kemitraan, kearifan lokal, dan inklusivitas.
Ketiga pilar dan delapan nilai itu, dalam konteks kekinian perlu dukungan 4 sentra pendidikan: keluarga, sekolah, masyarakat, dan media sosial sebagaimana diperkenalkan Mendikdasmen Abdul Mu’ti. Keempat pusat pendidikan itu perlu bersinergi mengedukasi masyarakat sekolah dalam arti luas.
Sekolah dalam arti luas tidak hanya mengacu pada sekolah formal, tetapi juga mengacu pada lingkungan masyarakat secara umum. Hal ini sesuai dengan aksioma, setiap tempat adalah sekolah. Di dalamnya juga ada mahkluk hidup termasuk manusia sebagai anggotanya. Mereka juga perlu diselamatkan dari segala ancaman bencana agar komunitasnya tidak punah karena bencana yang datang tiba-tiba tanpa kabar berita.
Penting pula disadari bahwa bencana tidak hanya bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, tsunami, angin tornado, kebakaran, wabah/kegeringan (sasab, covid-19) tetapi juga bencana ilmu pengetahuan dan teknologi yang salah penggunaannya. Bencana yang terakhir ini berseliweran di media sosial mengumbar informasi tanpa filter. Ibarat nelayan menangkap ikan dengan pukat harimau, semua ikan terjaring walaupun tidak semuanya bermanfaat, bahkan ada yang beracun dan membahayakan.
Bila tidak difilter, komunitas ikan itu bisa punah dan mengganggu keseimbangan laut. Begitu pula halnya informasi yang diumbar di media sosial tanpa filter yang baik dapat meracuni masyarakat.
Instruktur sedang memberikan contoh pada pelatihan tentang kebencanaan | Foto: Nyoman Tingkat
Sudah sering diwejangkan informasi salah (hoaks) yang diteruskan berulang-ulang bisa diimani sebagai kebenaran baru, padahal itu adalah kesalahan yang dipuja dan dipuji. Analog dengan itu, ibarat cangak dengan angsa sama-sama putih, serupa tetapi berbeda tabiat. “Cangak kaden angsa”, begitulah tetua Bali menasihati dalam melaksanakan dharma wiweka.
Untuk kasus hoaks ini, dapat dicermati dalam kisah Pan Balang Tamak yang terkenal di Bali. Pan Balang Tamak adalah politikus licik yang tidak pernah terjerat hukum. Alasannya selalu logis sampai Bandesa pun tidak dapat mengimbangi. Sampai pada suatu saat, ia meninggal pun masih dipuja masyarakat. Mayatnya yang berpeti dikira emas kencana dibawa ke Bale Agung Pura Desa. Warga desa menyembah dan memujanya.
Namun, setelah dipuja, peti dibuka ternyata isinya mayat Pan Balang Tamak. Telanjur dipuja mayatnya, maka ada desa adat di Bali memiliki Pelinggih Pan Balang Tamak di dekat Bale Agung Pura Desa. Narasi bekerja ibarat tuak labuh tidak mungkin diambil kembali dimasukkan ke dalam wadah gelas, misalnya.
Kisah Pan Balang Tamak adalah contoh nyata dan hidup di batin masyarakat Bali. Kesalahannya telanjur dipuja dan dipuji. Akhirnya, diyakini sebagai kebenaran baru. Kebenaran baru adalah kebenaran lain, lain dengan kebenaran. Begitulah narasi bermain dan dimainkan. Jebakan narasi memalingkan manusia dari kebenaran menuju kebenaran baru.
Ini adalah bencana komunikasi yang jalan keluarnya pun menjadi tanggung jawab Pendidikan. Lagi-lagi guru jadi tumpuan. Simulasi kebencanaan pun tidak cukup dengan simulasi bencana alam, tetapi juga perlu simulasi dan mitigasi terhadap bencana teknologi informasi. Jangan sampai teknologi informasi yang merupakan produk dari dunia pendidikan menimbulkan musibah kemanusiaan yang makin dahshyat. Pada akhirnya, makin menumpuknya sampah masyarakat.
Jika itu yang terjadi, maka gagallah pendidikan memanusiakan manusia. Ilmu pengetahuan gagal memudahkan hidup manusia, tetapi justru menjerat hidup manusia. Itu merusak batin tubuh bangsa yang membuatnya kehilangan jati diri.
Sehubungan dengan hal itu, fasilitator dan narasumber pelatihan dari Plan Indonesia menggandeng Badan Pencegahan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten dan Provinsi Bali, tampaknya perlu juga menggandeng Dinas Komunikasi Informasi dan Statistik untuk mengedukasi peserta didik agar terhindar dari bencana komunikasi di tengah banjirnya informasi.
Hal itu sejalan dengan semangat kemitraan dan pemberdayaan 4 sentra Pendidikan. Dengan demikian, antisipasi bencana di Lembaga Pendidikan dilakukan lebih komprehensif sehingga meminimalkan korban bila bencana terjadi.
Peserta pelatihan tentang Kebencanaan | Foto: Nyoman Tingkat
Dengan makin banyaknya mitra dalam mengantisipasi bencana, guru di sekolah dapat berkolaborasi secara lebih inten mengedukasi siswa. Pasangan praktisi dengan guru di ranah edukatif makin solid bergerak mengintegrasikan materi tentang kebencanaan dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
Materi yang disajikan tidak hanya teoretis tetapi juga praktis sehingga peserta memiliki pengetahuan dasar antisipasi kebencanaan. Intinya perlu ketenangan saat bencana terjadi. Tenang mudah diucapkan tetapi sulit diaplikasikan bila bencana datang. Namun demikian, kita tidak boleh menyerah. Ketenangan bisa dilatih, dilatih, dan dilatih.
Semoga kita terhindar dari bencana dengan antisipasi dini. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT