“Kapankah saya akan sembuh?”
Itu adalah pertanyaan yang sering terlontar dari pasien di praktik klinis. Hal yang sangat wajar diutarakan pasien di semua bidang kedokteran. Munculnya pertanyaan ini berakar dari tujuan utama pasien datang ke praktik dokter, yaitu mencari kesembuhan.
Jawabannya tentu sangat tergantung pada kondisi medis dan penyakit yang diderita. Tingkat kesulitan untuk memprediksi waktu juga akan sangat tergantung dari variabel tersebut. Berdasarkan pengalaman saya yang sangat sedikit sebagai generalis—karena hanya 3 tahu—yang pernah bekerja sebagai dokter umum sebelum masuk ke dunia yang lebih sempit, penyakit-penyakit fisik yang jelas penyebab dan terapinya memang akan lebih mudah untuk ditebak waktu kesembuhannya.
Misalkan, cukup mudah dalam memprediksi waktu penyembuhan luka sobek pada kulit untuk memperkirakan waktu melepaskan jahitan, atau prediksi lama penyembuhan infeksi dengan antibiotik sederhana untuk memperkirakan lama waktu yang dibutuhkan untuk konsumsi antibiotik agar terhindar dari resistensi antibiotik. Dengan catatan, tidak ada variabel lain yang memperburuk keadaan seperti diabetes, masalah pembekuan darah, penyakit autoimun, atau banyak hal lainnya.
Kesulitan memprediksi waktu kesembuhan akan semakin meningkat saat variabel lain yang perlu diperhitungkan semakin banyak. Kesulitan tersebut tetap terjadi walau semua variabel yang memengaruhi dapat dihitung dengan statistik. Dengan variabel yang dapat dihitung saja masih mungkin memunculkan kesulitan, bagaimana jika sebagian dari variabel tersebut bersifat kualitatif dan tidak bisa dipaksa untuk diwakilkan dengan angka?
Kesulitan secara nyata terjadi pada bidang psikiatri yang sebagian dari pendekatannya bersifat kualitatif. Dikatakan sebagian karena masih ada variabel terukur dari psikiatri yang bersifat biologis seperti tubuh, otak, atau respons terhadap obat yang penilaiannya dapat dihitung. Tetapi, tetap saja psikiatri perlu memandang manusia seutuhnya dari sisi yang lebih luas dari pada sekadar hal-hal yang dapat diukur. Seperti perasaan, pikiran, kesadaran, dan hal-hal lain yang membentuk pengalaman subjektif yang unik yang tidak dapat disamakan dengan manusia lainnya.
Lalu, bagaimana cara menjawab jika pertanyaan tersebut terlontar di ranah psikiatri?
Jawaban yang paling memuaskan biasanya hanya berdasarkan statistik dari lama pemberian obat. Misalkan saja, pengobatan depresi atau cemas dengan obat tipe selective serotonine reuptake inhibitor (SSRI) memerlukan rata-rata waktu paling cepat 6 bulan. Itu pun sering kali meleset. Di praktik klinis yang pernah saya tangani, ada yang lebih cepat dari itu—dengan tambahan sesi psikoterapi yang dijadwalkan secara eksklusif dan rutin—tetapi ada pula yang lebih lama hingga membutuhkan waktu tahunan. Dengan realita tersebut, jawaban pragmatis dari pertanyaan tersebut adalah: tidak bisa diprediksi dengan pasti.
Pertanyaan yang sama pernah diajukan oleh teman saya saat kami masih sama-sama menjadi residen psikiatri. Latar waktu dan tempat perbincangan tersebut terjadi di warung nasi bungkus dekat RSUP Sanglah—saat ini bernama RSUP Prof. Ngoerah—sehingga arah diskusi menjadi lebih lentur dan bisa dibawa sesuka hati. Karena kelenturan tersebut, saya mencoba memandang dari sisi filosofis yang nilai kebenarannya bisa didebat. Pandangan ini juga terkesan agak tangensial, berputar, tetapi masih terikat benang merah dengan fokus diskusi utama.
Baik. Mari kita mulai.
Jika pertanyaannya adalah “Kapan saya akan sembuh”, jawabannya adalah: tidak ada yang pasti. Dengan dasar argumentasi seperti yang telah dijabarkan sebelumnya. Tetapi, bagaimana jika pertanyaannya digeser menjadi “Akankah saya sembuh?”.
Jawaban atas pertanyaan tersebut kurang lebih mirip dengan jawaban atas pertanyaan pertama. Akan ada banyak sekali variabel yang memengaruhi kesembuhan total dari seseorang yang mengalami masalah mental. Hal ini secara spesifik juga pernah terjadi pada perdebatan peneliti akan pertanyaan “Akankah pasien dengan bipolar minum obat seumur hidup?” Sudut pandang yang berdasarkan penelitian terhadap kasus bipolar tersebut pun pada akhirnya berujung pada dua kubu bersebarangan: perlu minum obat seumur hidup atau tidak; emosi benar-benar terkontrol dengan terus konsumsi obat atau pada akhirnya tetap dapat stabil dengan bebas obat; masalah mental akan menetap atau tidak.
Munculnya gangguan mental yang relatif menetap terjadi karena pergantian sel lama dengan yang baru dan berkelanjutan dari otak–sering disebut dengan neuroplastisitas. Pada dasarnya, restrukturisasi berkelanjutan dari otak dapat mengarah ke hal baik atau pun buruk, tergantung dari bagaimana arah pertumbuhan tersebut digiring. Jika dipupuk dengan baik, neuroplastisitas akan tumbuh ke arah yang sehat. Sebaliknya, jika terjadi gangguan dan tidak dibenahi, neuroplastisitas akan bertumbuh ke arah negatif lalu menghasilkan masalah mental.
Neuroplastisitas paling banyak terjadi di masa remaja. Di masa itu, secara masif terjadi penggantian sel-sel otak baru dan hanya menyisakan setengah sampai dua per tiga dari sel – sel lama yang sudah ada sejak masa kanak. Saat masalah psikis terjadi di usia itu, maka sel buruk sebagai akibat dari tekanan psikis akan muncul dalam jumlah besar sebagai sel baru yang menggantikan sel lama. Restrukturisasi di masa itu akan membuat masalah mental relatif bertahan jika dibandingkan dengan adanya masalah di usia selanjutnya. Penyembuhannya pun akan lebih sukar saat dilakukan di usia yang lebih tua karena menurunnya persentase pergantian sel baru.
Ada beberapa kasus di mana penyembuhan dapat berjalan dengan sempurna sehingga pasien dapat bebas obat dan lepas dari psikoterapi psikiaternya. Hal tersebut disebabkan bekas trauma pada neuroplastisitas masih bisa diubah dan ada usaha yang konsisten untuk mengubah kesehatan psikis yang pada akhirnya memengaruhi penggantian sel baru yang lebih baik. Waktu yang diperlukan pun tergantung dari besarnya trauma psikis yang terjadi dalam neuroplastisitas otak. Banyak masalah psikis yang berdampak pada neuroplastisitas yang relatif permanen walau sudah diterapi dengan maksimal. Hal tersebut sering menyebabkan tahap maksimal dari penyembuhan hanya berada pada terapi obat seumur hidup.
Dari berbagai hal yang telah disebutkan, kesembuhan bukan sesuatu yang pasti, tapi lebih ke sesuatu yang “mungkin” terjadi. Tetapi, jika kita kerucutkan lagi pada kemungkinan pasien yang pada akhirnya sembuh, apakah kesembuhan paripurna benar-benar terjadi?
Cara memandang hal ini tentu agak berbeda jika dibandingkan dengan melihat penyakit fisik. Pada penyakit fisik, kembalinya tubuh ke fungsi optimalnya sudah cukup untuk mengatakan bahwa kesembuhan sudah tercapai. Untuk masalah mental, parameternya bisa jadi lebih kompleks.
Memang benar bahwa seseorang dikatakan sehat secara mental jika sudah mampu merasa nyaman dengan diri sendiri, mengenali potensi diri, dapat menerima realita dan orang lain apa adanya, produktif, dan mampu mengatasi stres sehari – hari. Ukuran dari sehat mental cukup jelas di situ. Tetapi, bagaimana jika kita melihat dari peningkatan kesehatan mental seseorang yang tidak memiliki ujung?
Maksudnya begini. Saat hari ini, secara mental seseorang sudah lebih baik dari hari sebelumnya, bukankah kondisi hari ini dapat dikatakan berada di posisi “sehat” dan di hari sebelumnya orang tersebut dikatakan lebih “sakit” dari sekarang? Jika kita teruskan lagi, saat hari ini kondisi mental benar-benar bagus dan tidak ada satu pun masalah signifikan yang muncul, kemudian di hari berikutnya orang tersebut bertumbuh menjadi lebih baik, bukankah kondisi hari ini relatif lebih “sakit” dibandingkan hari berikutnya?
Lalu, jika dalam ranah psikiatri, bagaimana cara menjawab pertanyaan – pertanyaan pasien tersebut? Kapankah saya akan sembuh? Atau, apakah saya bisa sembuh? Sebagai orang yang tidak tahu apa-apa, saya pun tidak bisa menjawabnya. Saya hanya bisa berkelit dan bersembunyi di balik jawaban filosofis yang tak berisi. Jawaban berbentuk pertanyaan yang membuka celah diskusi baru bagi hubungan dokter-pasien:
“Bahkan, jika manusia terus tumbuh ke arah yang lebih baik, apakah manusia pernah benar-benar berada di posisi sembuh yang absolut?” [T]
Penulis: Krisna Aji
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis KRISNA AJI