BANYAKNYA event-event baleganjur yang diselenggarakan akhir-akhir ini membuktikan baleganjur di masa kini sudah menjadi identitas kesenian Bali yang patut diperhitungkan.
Selain itu geliat baleganjur yang terjadi sekarang mampu membangkitkan gairah-gairah baru dalam kreatitas berkesenian. Dalam ruang kreatifitas, baleganjur sangat lentur untuk dimanfaatkan sebagai material musikal. Banyak kemungkinan-kemungkinan dan bahkan cara kerja musikal di luar baleganjur juga dapat diadopsi dan dikembangkan.
Dengan begitu juga, baleganjur kini telah bergerak sebagai kesenian populer. Ia banyak diminati khususnya oleh generasi muda di Bali. Namun di balik semua itu, baleganjur, bagi saya, masih perlu dipertanyakan sebagai produk kesenian.
Baleganjur juga menjadi identitas bagi salah satu komunitas yang bermarkas di lingkungan Banjar Tambak Sari, Desa Kapal, Mengwi, Badung. Komunitas Seni Taksu Agung adalah salah satu pionir munculnya perkembangan-perkebangan dan gaya-gaya kreativitas baleganjur yang terjadi saat ini.
Memulainya di tahun 2012, dan sampai saat ini Komunitas Seni Taksu Agung selalu hadir dalam kesegaran. Kesegaran dalam pemikiran dan tentu dalam kekaryaannya. Tidak hanya itu, Taksu Agung juga kerap membangun ruang-ruang kesenian baik dalam format festival, perlombaan, dan gelar karya.
Di tahun 2025 ini Taksu Agung kembali menyelenggarakan ruang kreatif dalam format perlombaan. Pada gelaran Lomba kali ini terdapat sepuluh peserta yang terbagi kedalam dua hari perlombaan. Lomba Baleganjur Taksu Agung dilaksanakan pada tanggal 11 hingga 12 Januari 2025 bertempat di Panggung Terbuka Balai Budaya Giri Nata Mandala, Pusat Pemerintahan (Pupem) Badung. Perlu saya garis bawahi, tulisan ini hanya memuat catatan saya dalam menyaksinya perlombaan di hari pertama.
Sanggar Seni Panji Kinara Loka
Hari pertama Lomba Baleganjur Komunitas Seni Taksu Agung dimulai dengan penampilan peserta nomor undi satu dari Sanggar Seni Panji Kinara Loka, Desa Mengwitani dengan karyanya berjudul “Dala Dalu”. Sanggar Seni Panji Kinara Loka sebagai penampil pertama membawa karya yang berjudul Dala Dalu, menggambarkan peroses meniti sang kala dari nyurya sewana hingga dala dalu.
Penampialn Sanggar Seni Panji Kinara Loka, Desa Mengwitani dengan judul karya “DALA DALU” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung
Samar-samar melintasi telinga, saya hanya mendengar beberapa untaian sinopsis yang dibacakan MC. Pada intinya karya ini saya tangkap sebagai bentuk tafsir pertemuan waktu. Dala memiliki makna manifestasi Tuhan yang agung, dan Dalu adalah keterangan waktu saat malam Tilem Kesanga.
Sebagai penampil pertama karya yang dikomposeri oleh Komang Winantara (Mang Win) dengan mitra koreografinya I Kadek Sugi Sidiarta (Dek Ugi) ini mencoba untuk menyelami dan menghadirkan esensi-esensi dari pengejawantahan Dala Dalu kedalam olah musikal dan gerak. Sebagai komposer, Mang Win harus diakui kehebatannya, yang sudah malang melintang di dunia baleganjur dalam mengolah vokal dan saih sebagai salah satu elemen musikal.
Dengan beberapa manipulasi arah nada dan penerapan patet, Mang Winsebut saya sangat konsisten dalam mencari dan mengembangkan jati dirinya sebagai komposer baleganjur. Sehingga terbentuk identitas, dimana karya yang diciptakan sangat melekat dengan dirinya. Begitu juga Dek Ugi, anak muda multi talenta yang kini juga mencoba berproses sebagai seorang koreografer baleganjur, mampu menyeimbangkan dan menebalkan arti dan maksud yang ingin disampaikan ke dalam bentuk gerakan.
Saya sangat mengenal karakter karya mereka berdua dan mengikuti proses mereka dalam berkarya. Cukup menarik bagi saya untuk karya Dala Dalu sebagai penampil pertama.
Sanggar Suara Mustika
Pada penampil kedua malam itu hadir peserta dari sisi utara pulai Bali. Sanggar Suara Mustika namanya dan saya kurang tau domisilinya dimana.
Sanggar Suara Mustika adalah salah satu sekaa yang totalitasnya tinggi sampai-sampai mereka harus berdiam di lokasi lomba selama dua hari. Ya, tentu itu bukan lain, karena rumah mereka yang sangat jauh dari venue perlombaan. Dengan jarak tempuh kurang lebih dua setengah jam, dari Singaraja ke Badung, tidak memungkinkan bagi mereka untuk sekadar melakukan bloking atau gladi lalu pulang, dan kembali lagi di ke-esokan harinya. Itu sangat membuang waktu, energi dan beban biaya.
Penampilan Sanggar Suara Mustika, Buleleng dengan judul karya “CATUS PATA” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung
Keadaan jarak dan waktu itu mengharuskan mereka untuk menginap di areal wantilan Puspem Badung pada H-1 sebelum hari perlombaan bersamaan dengan mereka melakukan bloking dan gladi resik.
Pada perlombaan itu, Sanggar Suara Mustika membawakan karya baru mereka dengan judul “Catus Pata”.
“Secara terminologis Catus Pata terdiri dari dua kata, Catus secara semantik berasal dari kata catur yang secara numerik menunjukkan dimensi empat, sementara pata berarti jalan atau arah, titik pertemuan, persimpangan yang mempertemukan dua atau lebih dimensi tertentu.
Secara filosofis Catus Pata tidak hanya mereintepretasi serta merujuk pada substansi ruang dan wilayah, lebih dari itu Catus Pata adalah cerminan kualitas kelintasan ruang imajiner, dengan menempatkan waktu (kala) sebagai penanda progresi (perubahan). Catus Pata adalah pusat dari berbagai macam bentuk energi. Di tempat ini, dalam ruang imajiner ini, semua hal dinetralisir guna mencapai keharmonisan.
Tersirat jelas pada sinopsis, penggarap mencoba untuk mengadirkan ruang imajiner dalam penafsirannya terhadap Catus Pata itu sendiri. Seperti yang mereka jelaskan, Catus Pata merupakan pusat pertemuan bagi bermacam-macam bentuk energi baik positif maupun negatif. Pertemuan elemen-elemen energi tersebut mereka garap ke dalam sebuah format pertunjukan baleganjur seperti yang mereka pahami.
Yang saya senang dengan realisasinya adalah penggunaan identitas musikal yang mereka miliki di Bali Utara, salah satunya ialah permainan kolotomik gong, kempur, kempli. Kebanggan mereka terhadap identitas musikal yang mereka miliki menjadi daya tarik tersendiri dalam melihat perspektif rancangan garap gending baleganjur gaya Buleleng.
Walaupun di berapa materi masih terdapat adopsi beberapa gaya-gaya komposisi baleganjur yang sedang menggeliat saat ini (pandangan saya) dan itu sah-sah saja. Selain permainan kolotomik, gaya-gaya kilitan bebonangan yang sangat dekat dengan mereka dirangkai menarik sejalan dengan perkembangan musik masa kini. Menghadirkan jalinan-jalinan sederhana namun memiliki tujuan jelas membuat karya ini menurut saya pribadi sangat diperhatikan penggarapnya.
Secara teknik juga rekan-rekan di Bali Utara ini memiliki kehebatan, baik dari segi ketahanan dan kualitas pukulan. Walaupun dalam realitas mereka sangat minim kesempatan dalam menunjukan kemampuan mereka di bidang baleganjur. Selain itu, hal yang menjadi kebiasaan mereka dalam bermain gamelan gong kebyar yang cenderung cepat dan berenergi membantu proses adaptasi mereka dalam menyelami komposisi baleganjur.
Penampilan Sanggar Suara Mustika, Buleleng dengan judul karya “CATUS PATA” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung
Di sela persiapan penampil selanjutnya, saya dan teman-teman yang duduk di pojokan bereaksi terhadap beberapa hal yang hadir di karya Baleganjur Sanggar Suara Mustika. Reaksi tersebut timbul dari suara kempur yang digunakan.
Mendengar cerita Ponari, sapaan akrab salah satu komposer, juga sahabat baik saya, ia mengaku ada ketidakpuasan terhadap instrument kempur yang mereka gunakan. “Mungkin karena satu dan lain hal suara yang dikeluarkan sedikit mengganggu,” ujar Ponari.
Saya sangat setuju dengan sikap seorang komposer yang ingin memaksimalkan setiap elemen pendukung karya, sesuai dengan ide, konsep, dan tujuan karya yang telah dirancang maupun terbayangkan. Sebaliknya dengan itu, saya pribadi justru melihat itu sebagai identitas.
Dengan adanya masalah pada suara yang dihasilkan justru mampu membuat instrument tersebut menjadi salah satu perhatian. Apalagi, teknik garap teman-teman Buleleng dengan permainan kolotomiknya menjadikan kemunculan suara aneh tersebut semakin berharga. Memandang baik sebuah kelemahan, memungkinkan menjadikannya seagai pemikiran baru.
Komunitas Super Saiyan
Tiba pada penampil ketiga, di sela persiapan, saya juga melanjutkan obrolan serius bersama rekan-rekan. Dalam obrolan saya mendapat sedikit bocoran dari rekan saya yang kebetulan dekat dan mengetahui tentang peserta penampil ketiga.
Dia menyebutkan, penampilan karya ini akan melibatkan properti ogoh-ogoh. Seketika otak saya tertuju pada karya Komunitas Seni Taksu Agung di tahun 2018 dalam ajang Parade Musik Daerah VII di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Tentunya properti tersebut akan dimanfaatkan dalam pertunjukan. Saya masih menunggu, akankah ada tawaran baru, atau tidak, dari penampil ketiga dalam penerapannya.
Penampilan Komunitas Super Saiyan dengan judul karya “SUPAT WALI” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung
Penampil ketiga ini adalah Komunitas Super Saiyan yang merupakan perkumpulan seniman-seniman muda khususnya di daerah Kota Denpasar. Komunitas ini juga sering malang melintang dalam event-event baleganjur lain di Bali. Dari beberapa pengalaman yang telah mereka lalui, karya yang ditampilkan malam itu digarap rapi dan tersinergi.
Kekompakan para penabuh khususnya pada gegebug dalam memainkan komposisi nyaris membuat saya tidak menemukan celah kelemahan. Jelas hal itu bisa mereka capai karena ketekunan dan totalitas mereka untuk selalu bertemu dalam proses latihan. Hanya saja secara pola garap dan pencarian saya belum banyak menemukan hal yang spesial pada karya yang berjudul Supat Wali tersebut. Setelah menunggu hampir sampai di bagian akhir karya, seperti dugaan saya di awal ogoh-ogoh yang digunakan, disikapi persis seperti karya Taksu Agung di tahun 2018. Tentu hal itu tidak menjadi salah di mata siapapun.
Penampilan Komunitas Super Saiyan dengan judul karya “SUPAT WALI” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung
Adopsi bentuk-bentuk atau motif-motif sangat sah dalam berkesenian. Pada konteks malam itu, saya sebagai pemerhati yang haus akan ide dan rangsangan baru tentu berpikir lebih terhadap objek yang dilibatkan dalam pertunjukan. Tetapi secara keutuhan garap Komunitas Super Saiyan sangat rapi dan penuh pendalaman dalam penyajian musikal, koreografi dan juga penataan artistiknya.
Komunitas Biying Baha
Tiba ke penampilan nomor empat dari Komunitas Biying Baha dengan karyanya berjudul “Tohang Manah”. Tohang berarti bertaruh, Manah berarti pikiran, sebagai jembatan menyikapi suatu prosesi suci Tawur Agung Kesanga yang memiliki tujuan untuk menyeimbangkan unsur negatif.
Bertaruh pemikiran juga merupakan upaya dalam pencarian, pengujian, pendewasaan diri, dengan dasar pemikiran: “Siapa dan apakah unsur negatif tersebut?”
Dalam kasus ini kiranya nyomyang pemikiran yang tak kenal waktu juga merupakan upaya untuk pencarian dan pengujian perbedaan pemikiran berdasarkan zamannya. Karya ini dinahkodai oleh Yoga Ida alias Ida Bagus Herry Yoga Permadi. Yoga adalah komposer kawakan asli putra daerah Desa Baha, Mengwi, Badung. Saya sangat mengenali Yoga sebagai seniman yang memang selalu bercanda dan terkesan tidak serius. Karena mengetahui dan mengikuti beberapa kali karya dan perjalanan dia dalam berkesenian, secara pandangan dan pemikiran saya mencoba untuk menyelami ruang pemikiran Yoga Ida dalam karya Tohang Manah.
Penampilan Komunitas Biying Baha dengan judul karya “TOHANG MANAH” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung
Saya sangat sepakat dengan teks yang hadir pada karya ini yang bertuliskan bahwa, “Keberanian dalam perbedaan pemikiran terhadap baleganjur akan menjadi dasar untuk pertumbuhan bahkan kebaharuannya”.
Pada teks juga ditambahkan bahwa karya ini tidak serta merta mendeskripsikan tentang tahapan-tahapan prosesi Tawur Kesanga. Dalam prosesi, hal yang lazim dilakukan seperti pola jagul tidak lagi muncul sebagai ideologi pemikiran sebelumnya.
Dan menariknya pada karya ini, komposer mencoba menafsirkan kembali teknik-teknik vokal yang terdapat pada pupuh jerum. Hanya saja secara durasi bagi saya kurang diberi poprsi untuk dapat lebih lama dalam pengolahannya. Pada ramuan musikalnya ditemukan beberapa patron-patron tradisi yang diolah dan dimanipulasi. Pembentukan pada beberapa bagian dengan merangkai repetisi atau pengulangan, tekanan, variasi ukuran dan motif yang disusun mampu memanipulasi kesederhanaan.
Penampilan Komunitas Biying Baha dengan judul karya “TOHANG MANAH” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung
Kata Ida Bagus Herry usai perlombaan, “Ini merupakan penampilan perdana Komunitas Biying Baha dalam ajang perlombaan baleganjur.”
Ia juga mengatakan bahwa pemanfaatan sumber daya manusia, dalam hal ini musisi, yang dimiliki Yowana Desa Baha adalah musisi setempat, bisa dikatakan adalah sekaa sebunan (seluruh personil berasal dari satu wilayah yang sama), dan ini menjadikan proses yang lebih ekstra dalam memaksimalkannya. Belum lagi ini adalah kali pertama mereka mengikuti perlombaan yang tentu ada tantanga tersendiri dalam proses kreatifnya.
Sekaa Semara Mradangga
Beranjak ke penampil terakhir di hari pertama itu, yakni Sekaa Semara Mradangga, dari Desa Perean, Tabanan. Semara Mradangga membawakan karya dengan judul Mejelih Lambih yang diambil dari sebuah tradisi yang ada di Desa Perean.
Dalam teksnya, Majelih Lambih menjelaskan tentang sebuah paceklik yang di alami ketika Sasih Kesanga di Desa Perean sehingga masyarakat harus melakukan sebuah ritual untuk menetralkan segala bentuk energi.
Saya tidak mengetahui pasti kapan fenomena itu terjadi dan juga tidak tertera pada sinopsis yang dibacakan. Majelih Lambih juga coba ditransformasikan ke dalam bentuk musikal oleh sang komposer Dita Nava atau akrabnya Dek Dita.
Ide musikal yang salah satunya berangkat dari gending kekriningan yang sering digunakan masyarakat Desa Perean dalam mengiringi tapakan Sesuhunan Barong juga dijadikan dasar pembentukan komposisi karya ini. Terlihat pada salah satu bagian komposisi dimana pemain kendang menggunakan teknik jeditan dan kendang tunggal menggunakan panggul.
Penampilan Semara Mredangga, Desa Perean dengan judul Karya “Majelih Lambih” | Foto: Dokumentasi Semara Mredangga
Sayangnya saya tidak bisa menikmati secara menyeluruh penampilan dari Sekaa Semara Mradana. Ketika hampir menuju akhir komposisi, hujan juga ikut merayakan akhir dari pertunjukan di hari pertama. Tanpa aba-aba sebagian penonton langsung bergegas untuk berteduh. Di tengah hujan yang perlahan semakin semangat untuk membasahi juga tergerak bagi penampil untuk menuntaskan hasil dari proses kreatif mereka yang kurang lebih dilalui selama dua bulan.
Semangat juga tergambar dari sudut timur panggung. Supporter yang datang langsung dari Perean masih antusias menemani dan berdiri bangga di tengah deraian hujan yang kembali bergabung hari itu.
Perlombaan hari pertama pun ditutup dengan rasa syukur para panitia dan seluruh peserta lomba yang sudah menuntaskan tugas-tugas mereka. Sayangnya di hari kedua perlombaan saya tidak hadir menonton lima karya baleganjur lainnya.
Namun melalui potongan video yang tersebar di media sosial tentang lomba tersebut cukup memberi saya informasi dan gambaran berlangsung dan berakhirnya laga di hari kedua. Saya hanya bisa menuliskan apa yang saya dapat dan cermati dari seluruh penampilan di hari pertama dan menanggapi sedikit atmosfer di hari kedua.
Tantangan ke Depan
Pencarian menjadi kata kunci pandangan saya terhadap suguhan atraktif karya-karya baleganjur di hari pertama. Pencarian tersebut bisa mengarah ke pencarian bentuk-bentuk baru dalam konteks kreatifitas baleganjur, perspektif pemahaman apa itu baleganjur, pencarian ide-ide musikal baleganjur, dan yang menjadi menarik adalah hadirnya peranan konseptor yang mulai dimunculkan pada setiap teks baleganjur.
Nampaknya ke depan hal ini akan menjadi sebuah trend baru dalam dunia per-baleganjuran. Dan menjadi konseptor bukanlah pekerjaan yang mudah. Seluruh elemen dalam menunjang terbentuknya karya Baleganjur sangat berperan penting. Tidak kalah pentingnya juga unsur-unsur musikal yang menjadi elemen utama pada komposisi Baleganjur. Setiap elemen yang tertuang dalam karya Baleganjur malam itu belum cukup menjawab apa tantangan yang dihadapi saat ini. Walaupun dalam beberapa karya sudah mulai menghadapi tantangan tersebut.
Tantangan yang saya maksud adalah tanda-tanda dan kewajiban yang mungkin dipusatkan untuk dipatuhi dalam penggarapan gending Baleganjur. Kenapa hal itu menjadi tantangan?. Menurut pandangan saya tantangan adalah sebuah masalah yang harusnya mampu membuat kita tergugah untuk mengasah dan menggali kemampuan dalam menjawab masalah-masalah yang dihadapi.
Salah satunya belenggu mendiskreditkan pengalaman dan perbedaan pandangan. Dalam konteks berkarya komposisi Baleganjur apakah aturan-aturan itu menjadi sebuah keharusan? Atau ada cara lain dalam menyikapi sebuah keharusan tersebut? Jika membahas tentang aturan tentu ada sikap transparansi pendapat dan perspektif di dalamnya.
Kejujuran dalam sebuah penilaian karya apalagi dalam konteks perlombaan sudah seharusnya menjadi hal yang dibicarakan dan dibagi ke ruang publik. Bukannya menjadi rahasia, justru argumentasi bisa menjadi bahan evaluasi, saran serta tantangan mungkin juga ide baru untuk sebuah karya menuju tingkat kematangannya. Kerahasiaan dalam penilain juga dapat menimbulkan dua persepsi yang berbeda.
Jika mereka diuntungkan, kerahasiaan itu bisa membuat mereka ada dalam posisi cukup dan mengapresiasi. Sebaliknya jika itu tidak menguntungkan apakah ada argumentasi jelas yang bisa membuat mereka untuk tidak bertanya dibalik kerahasiaan itu? Mari kita berpikir bersama-sama, [T]
Penulis: I Kadek Janurangga
Editor: Adnyana Ole