10 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Mencari Idealitas Baleganjur | Ulasan Lomba Baleganjur Taksu Agung Festival 2025

I Kadek JanuranggabyI Kadek Janurangga
January 18, 2025
inUlas Musik
Mencari Idealitas Baleganjur | Ulasan Lomba Baleganjur Taksu Agung Festival 2025

Komunitas Super Saiyan, Judul karya “SUPAT WALI”, dalam Lomba Baleganjur Taksu Agung festival

BANYAKNYA event-event baleganjur yang diselenggarakan akhir-akhir ini membuktikan baleganjur di masa kini sudah menjadi identitas kesenian Bali yang patut diperhitungkan.

Selain itu geliat baleganjur yang terjadi sekarang mampu membangkitkan gairah-gairah baru dalam kreatitas berkesenian. Dalam ruang kreatifitas, baleganjur sangat lentur untuk dimanfaatkan sebagai material musikal. Banyak kemungkinan-kemungkinan dan bahkan cara kerja musikal di luar baleganjur juga dapat diadopsi dan dikembangkan.

Dengan begitu juga, baleganjur kini telah bergerak sebagai kesenian populer. Ia banyak diminati khususnya oleh generasi muda di Bali. Namun di balik semua itu, baleganjur, bagi saya, masih perlu dipertanyakan sebagai produk kesenian.

Baleganjur juga menjadi identitas bagi salah satu komunitas yang bermarkas di lingkungan Banjar Tambak Sari, Desa Kapal, Mengwi, Badung. Komunitas Seni Taksu Agung adalah salah satu pionir munculnya perkembangan-perkebangan dan gaya-gaya kreativitas baleganjur yang terjadi saat ini.

Memulainya di tahun 2012, dan sampai saat ini Komunitas Seni Taksu Agung selalu hadir dalam kesegaran. Kesegaran dalam pemikiran dan tentu dalam kekaryaannya. Tidak hanya itu, Taksu Agung juga kerap membangun ruang-ruang kesenian baik dalam format festival, perlombaan, dan gelar karya.

Di tahun 2025 ini Taksu Agung kembali menyelenggarakan ruang kreatif dalam format perlombaan. Pada gelaran Lomba kali ini terdapat sepuluh peserta yang terbagi kedalam dua hari perlombaan. Lomba Baleganjur Taksu Agung dilaksanakan pada tanggal 11 hingga 12 Januari 2025 bertempat di Panggung Terbuka Balai Budaya Giri Nata Mandala, Pusat Pemerintahan (Pupem) Badung. Perlu saya garis bawahi, tulisan ini hanya memuat catatan saya dalam menyaksinya perlombaan di hari pertama.

Sanggar Seni Panji Kinara Loka

Hari pertama Lomba Baleganjur Komunitas Seni Taksu Agung dimulai dengan penampilan peserta nomor undi satu dari Sanggar Seni Panji Kinara Loka, Desa Mengwitani dengan karyanya berjudul “Dala Dalu”. Sanggar Seni Panji Kinara Loka sebagai penampil pertama membawa karya yang berjudul Dala Dalu, menggambarkan peroses meniti sang kala dari nyurya sewana hingga dala dalu.

Penampialn Sanggar Seni Panji Kinara Loka, Desa Mengwitani dengan judul karya “DALA DALU” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung

Samar-samar melintasi telinga, saya hanya mendengar beberapa untaian sinopsis yang dibacakan MC. Pada intinya karya ini saya tangkap sebagai bentuk tafsir pertemuan waktu. Dala memiliki makna manifestasi Tuhan yang agung, dan Dalu adalah keterangan waktu saat malam Tilem Kesanga.

Sebagai penampil pertama karya yang dikomposeri oleh Komang Winantara (Mang Win) dengan mitra koreografinya I Kadek Sugi Sidiarta (Dek Ugi) ini mencoba untuk menyelami dan menghadirkan esensi-esensi dari pengejawantahan Dala Dalu kedalam olah musikal dan gerak. Sebagai komposer, Mang Win harus diakui kehebatannya, yang sudah malang melintang di dunia baleganjur dalam mengolah vokal dan saih sebagai salah satu elemen musikal.

Dengan beberapa manipulasi arah nada dan penerapan patet, Mang Winsebut saya sangat konsisten dalam mencari dan mengembangkan jati dirinya sebagai komposer baleganjur. Sehingga terbentuk identitas, dimana karya yang diciptakan sangat melekat dengan dirinya. Begitu juga Dek Ugi, anak muda multi talenta yang kini juga mencoba berproses sebagai seorang koreografer baleganjur,  mampu menyeimbangkan dan menebalkan arti dan maksud yang ingin disampaikan ke dalam bentuk gerakan.

Saya sangat mengenal karakter karya mereka berdua dan mengikuti proses mereka dalam berkarya. Cukup menarik bagi saya untuk karya Dala Dalu sebagai penampil pertama.

Sanggar Suara Mustika

Pada penampil kedua malam itu hadir peserta dari sisi utara pulai Bali. Sanggar Suara Mustika namanya dan saya kurang tau domisilinya dimana.

Sanggar Suara Mustika adalah salah satu sekaa yang totalitasnya tinggi sampai-sampai mereka harus berdiam di lokasi lomba selama dua hari. Ya, tentu itu bukan lain, karena rumah mereka yang sangat jauh dari venue perlombaan. Dengan jarak tempuh kurang lebih dua setengah jam, dari Singaraja ke Badung, tidak memungkinkan bagi mereka untuk sekadar melakukan bloking atau gladi lalu pulang, dan kembali lagi di ke-esokan harinya. Itu sangat membuang waktu, energi dan beban biaya.

Penampilan Sanggar Suara Mustika, Buleleng dengan judul karya “CATUS PATA” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung

Keadaan jarak dan waktu itu mengharuskan mereka untuk menginap di areal wantilan Puspem Badung pada H-1 sebelum hari perlombaan bersamaan dengan mereka melakukan bloking dan gladi resik.

Pada perlombaan itu, Sanggar Suara Mustika membawakan karya baru mereka dengan judul “Catus Pata”.

“Secara terminologis Catus Pata terdiri dari dua kata, Catus secara semantik berasal dari kata catur yang secara numerik menunjukkan dimensi empat, sementara pata berarti jalan atau arah, titik pertemuan, persimpangan yang mempertemukan dua atau lebih dimensi tertentu.

Secara filosofis Catus Pata tidak hanya mereintepretasi serta merujuk pada substansi ruang dan wilayah, lebih dari itu Catus Pata adalah cerminan kualitas kelintasan ruang imajiner, dengan menempatkan waktu (kala) sebagai penanda progresi (perubahan). Catus Pata adalah pusat dari berbagai macam bentuk energi. Di tempat ini, dalam ruang imajiner ini, semua hal dinetralisir guna mencapai keharmonisan.

Tersirat jelas pada sinopsis, penggarap mencoba untuk mengadirkan ruang imajiner dalam penafsirannya terhadap Catus Pata itu sendiri. Seperti yang mereka jelaskan, Catus Pata merupakan pusat pertemuan bagi bermacam-macam bentuk energi baik positif maupun negatif. Pertemuan elemen-elemen energi tersebut mereka garap ke dalam sebuah format pertunjukan baleganjur seperti yang mereka pahami.

Yang saya senang dengan realisasinya adalah penggunaan identitas musikal yang mereka miliki di Bali Utara, salah satunya ialah permainan kolotomik gong, kempur, kempli. Kebanggan mereka terhadap identitas musikal yang mereka miliki menjadi daya tarik tersendiri dalam melihat perspektif rancangan garap gending baleganjur gaya Buleleng.

Walaupun di berapa materi masih terdapat adopsi beberapa gaya-gaya komposisi baleganjur yang sedang menggeliat saat ini (pandangan saya) dan itu sah-sah saja. Selain permainan kolotomik, gaya-gaya kilitan bebonangan yang sangat dekat dengan mereka dirangkai menarik sejalan dengan perkembangan musik masa kini. Menghadirkan jalinan-jalinan sederhana namun memiliki tujuan jelas membuat karya ini menurut saya pribadi sangat diperhatikan penggarapnya.

Secara teknik juga rekan-rekan di Bali Utara ini memiliki kehebatan, baik dari segi ketahanan dan kualitas pukulan. Walaupun dalam realitas mereka sangat minim kesempatan dalam menunjukan kemampuan mereka di bidang baleganjur. Selain itu, hal yang menjadi kebiasaan mereka dalam bermain gamelan gong kebyar yang cenderung cepat dan berenergi membantu proses adaptasi mereka dalam menyelami komposisi baleganjur.

Penampilan Sanggar Suara Mustika, Buleleng dengan judul karya “CATUS PATA” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung

Di sela persiapan penampil selanjutnya, saya dan teman-teman yang duduk di pojokan bereaksi terhadap beberapa hal yang hadir di karya Baleganjur Sanggar Suara Mustika. Reaksi tersebut timbul dari suara kempur yang digunakan.

Mendengar cerita Ponari, sapaan akrab salah satu komposer, juga sahabat baik saya, ia mengaku ada ketidakpuasan terhadap instrument kempur yang mereka gunakan. “Mungkin karena satu dan lain hal suara yang dikeluarkan sedikit mengganggu,” ujar Ponari.

Saya sangat setuju dengan sikap seorang komposer yang ingin memaksimalkan setiap elemen pendukung karya, sesuai dengan ide, konsep, dan tujuan karya yang telah dirancang maupun terbayangkan. Sebaliknya dengan itu, saya pribadi justru melihat itu sebagai identitas.

Dengan adanya masalah pada suara yang dihasilkan justru mampu membuat instrument tersebut menjadi salah satu perhatian. Apalagi, teknik garap teman-teman Buleleng dengan permainan kolotomiknya menjadikan kemunculan suara aneh tersebut semakin berharga. Memandang baik sebuah kelemahan, memungkinkan menjadikannya seagai pemikiran baru.

Komunitas Super Saiyan

Tiba pada penampil ketiga, di sela persiapan, saya juga melanjutkan obrolan serius bersama rekan-rekan. Dalam obrolan saya mendapat sedikit bocoran dari rekan saya yang kebetulan dekat dan mengetahui tentang peserta penampil ketiga.

Dia menyebutkan, penampilan karya ini akan melibatkan properti ogoh-ogoh. Seketika otak saya tertuju pada karya Komunitas Seni Taksu Agung di tahun 2018 dalam ajang Parade Musik Daerah VII di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Tentunya properti tersebut akan dimanfaatkan dalam pertunjukan. Saya masih menunggu, akankah ada tawaran baru, atau tidak, dari penampil ketiga dalam penerapannya.

Penampilan Komunitas Super Saiyan dengan judul karya “SUPAT WALI” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung

Penampil ketiga ini adalah Komunitas Super Saiyan yang merupakan perkumpulan seniman-seniman muda khususnya di daerah Kota Denpasar. Komunitas ini juga sering malang melintang dalam event-event baleganjur lain di Bali. Dari beberapa pengalaman yang telah mereka lalui, karya yang ditampilkan malam itu digarap rapi dan tersinergi.

Kekompakan para penabuh khususnya pada gegebug dalam memainkan komposisi nyaris membuat saya tidak menemukan celah kelemahan. Jelas hal itu bisa mereka capai karena ketekunan dan totalitas mereka untuk selalu bertemu dalam proses latihan.  Hanya saja secara pola garap dan pencarian saya belum banyak menemukan hal yang spesial pada karya yang berjudul Supat Wali tersebut. Setelah menunggu hampir sampai di bagian akhir karya, seperti dugaan saya di awal ogoh-ogoh yang digunakan, disikapi persis seperti karya Taksu Agung di tahun 2018. Tentu hal itu tidak menjadi salah di mata siapapun.

Penampilan Komunitas Super Saiyan dengan judul karya “SUPAT WALI” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung

Adopsi bentuk-bentuk atau motif-motif sangat sah dalam berkesenian. Pada konteks malam itu, saya sebagai pemerhati yang haus akan ide dan rangsangan baru tentu berpikir lebih terhadap objek yang dilibatkan dalam pertunjukan. Tetapi secara keutuhan garap Komunitas Super Saiyan sangat rapi dan penuh pendalaman dalam penyajian musikal, koreografi dan juga penataan artistiknya.

Komunitas Biying Baha

Tiba ke penampilan nomor empat dari Komunitas Biying Baha dengan karyanya berjudul “Tohang Manah”. Tohang berarti bertaruh, Manah berarti pikiran, sebagai jembatan menyikapi suatu prosesi suci Tawur Agung Kesanga yang memiliki tujuan untuk menyeimbangkan unsur negatif.

Bertaruh pemikiran juga merupakan upaya dalam pencarian, pengujian, pendewasaan diri, dengan dasar pemikiran: “Siapa dan apakah unsur negatif tersebut?”

Dalam kasus ini kiranya nyomyang pemikiran yang tak kenal waktu juga merupakan upaya untuk pencarian dan pengujian perbedaan pemikiran berdasarkan zamannya. Karya ini dinahkodai oleh Yoga Ida alias Ida Bagus Herry Yoga Permadi. Yoga adalah komposer kawakan asli putra daerah Desa Baha, Mengwi, Badung. Saya sangat mengenali Yoga sebagai seniman yang memang selalu bercanda dan terkesan tidak serius. Karena mengetahui dan mengikuti beberapa kali karya dan perjalanan dia dalam berkesenian, secara pandangan dan pemikiran saya mencoba untuk menyelami ruang pemikiran Yoga Ida dalam karya Tohang Manah.

Penampilan Komunitas Biying Baha dengan judul karya “TOHANG MANAH” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung

Saya sangat sepakat dengan teks yang hadir pada karya ini yang bertuliskan bahwa, “Keberanian dalam perbedaan pemikiran terhadap baleganjur akan menjadi dasar untuk pertumbuhan bahkan kebaharuannya”.

Pada teks juga ditambahkan bahwa karya ini tidak serta merta mendeskripsikan tentang tahapan-tahapan prosesi Tawur Kesanga. Dalam prosesi, hal yang lazim dilakukan seperti pola jagul tidak lagi muncul sebagai ideologi pemikiran sebelumnya.

Dan menariknya pada karya ini, komposer mencoba menafsirkan kembali teknik-teknik vokal yang terdapat pada pupuh jerum. Hanya saja secara durasi bagi saya kurang diberi poprsi untuk dapat lebih lama dalam pengolahannya. Pada ramuan musikalnya ditemukan beberapa patron-patron tradisi yang diolah dan dimanipulasi. Pembentukan pada beberapa bagian dengan merangkai repetisi atau pengulangan, tekanan, variasi ukuran dan motif yang disusun mampu memanipulasi kesederhanaan.

Penampilan Komunitas Biying Baha dengan judul karya “TOHANG MANAH” | Foto : Panita Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung

Kata Ida Bagus Herry usai perlombaan, “Ini merupakan penampilan perdana Komunitas Biying Baha dalam ajang perlombaan baleganjur.”

Ia juga mengatakan bahwa pemanfaatan sumber daya manusia, dalam hal ini musisi, yang dimiliki Yowana Desa Baha adalah musisi setempat, bisa dikatakan adalah sekaa sebunan (seluruh personil berasal dari satu wilayah yang sama), dan ini menjadikan proses yang lebih ekstra dalam memaksimalkannya. Belum lagi ini adalah kali pertama mereka mengikuti perlombaan yang tentu ada tantanga tersendiri dalam proses kreatifnya.

Sekaa Semara Mradangga

Beranjak ke penampil terakhir di hari pertama itu, yakni Sekaa Semara Mradangga, dari Desa Perean, Tabanan. Semara Mradangga membawakan karya dengan judul Mejelih Lambih yang diambil dari sebuah tradisi yang ada di Desa Perean.

Dalam teksnya, Majelih Lambih menjelaskan tentang sebuah paceklik yang di alami ketika Sasih Kesanga di Desa Perean sehingga masyarakat harus melakukan sebuah ritual untuk menetralkan segala bentuk energi. 

Saya tidak mengetahui pasti kapan fenomena itu terjadi dan juga tidak tertera pada sinopsis yang dibacakan. Majelih Lambih juga coba ditransformasikan ke dalam bentuk musikal oleh sang komposer Dita Nava atau akrabnya Dek Dita.

Ide musikal yang salah satunya berangkat dari gending kekriningan yang sering digunakan masyarakat Desa Perean dalam mengiringi tapakan Sesuhunan Barong juga dijadikan dasar pembentukan komposisi karya ini. Terlihat pada salah satu bagian komposisi dimana pemain kendang menggunakan teknik jeditan dan kendang tunggal menggunakan panggul.  

Penampilan Semara Mredangga, Desa Perean dengan judul Karya “Majelih Lambih” | Foto: Dokumentasi Semara Mredangga

Sayangnya saya tidak bisa menikmati secara menyeluruh penampilan dari Sekaa Semara Mradana. Ketika hampir menuju akhir komposisi, hujan juga ikut merayakan akhir dari pertunjukan di hari pertama. Tanpa aba-aba sebagian penonton langsung bergegas untuk berteduh. Di tengah hujan yang perlahan semakin semangat untuk membasahi juga tergerak bagi penampil untuk menuntaskan hasil dari proses kreatif mereka yang kurang lebih dilalui selama dua bulan.

Semangat juga tergambar dari sudut timur panggung. Supporter yang datang langsung dari Perean masih antusias menemani dan berdiri bangga di tengah deraian hujan yang kembali bergabung hari itu.

Perlombaan hari pertama pun ditutup dengan rasa syukur para panitia dan seluruh peserta lomba yang sudah menuntaskan tugas-tugas mereka. Sayangnya di hari kedua perlombaan saya tidak hadir menonton lima karya baleganjur lainnya.

Namun melalui potongan video yang tersebar di media sosial tentang lomba tersebut cukup memberi saya informasi dan gambaran berlangsung dan berakhirnya laga di hari kedua. Saya hanya bisa menuliskan apa yang saya dapat dan cermati dari seluruh penampilan di hari pertama dan menanggapi sedikit atmosfer di hari kedua.

Tantangan ke Depan

Pencarian menjadi kata kunci pandangan saya terhadap suguhan atraktif karya-karya baleganjur di hari pertama. Pencarian tersebut bisa mengarah ke pencarian bentuk-bentuk baru dalam konteks kreatifitas baleganjur, perspektif pemahaman apa itu baleganjur, pencarian ide-ide musikal baleganjur, dan yang menjadi menarik adalah hadirnya peranan konseptor yang mulai dimunculkan pada setiap teks baleganjur.

Nampaknya ke depan hal ini akan menjadi sebuah trend baru dalam dunia per-baleganjuran. Dan menjadi konseptor bukanlah pekerjaan yang mudah. Seluruh elemen dalam menunjang terbentuknya karya Baleganjur sangat berperan penting. Tidak kalah pentingnya juga unsur-unsur musikal yang menjadi elemen utama pada komposisi Baleganjur. Setiap elemen yang tertuang dalam karya Baleganjur malam itu belum cukup menjawab apa tantangan yang dihadapi saat ini. Walaupun dalam beberapa karya sudah mulai menghadapi tantangan tersebut.

Tantangan yang saya maksud adalah tanda-tanda dan kewajiban yang mungkin dipusatkan untuk dipatuhi dalam penggarapan gending Baleganjur. Kenapa hal itu menjadi tantangan?. Menurut pandangan saya tantangan adalah sebuah masalah yang harusnya mampu membuat kita tergugah untuk mengasah dan menggali kemampuan dalam menjawab masalah-masalah yang dihadapi.

Salah satunya belenggu mendiskreditkan pengalaman dan perbedaan pandangan. Dalam konteks berkarya komposisi Baleganjur apakah aturan-aturan itu menjadi sebuah keharusan? Atau ada cara lain dalam menyikapi sebuah keharusan tersebut? Jika membahas tentang aturan tentu ada sikap transparansi pendapat dan perspektif di dalamnya.

Kejujuran dalam sebuah penilaian karya apalagi dalam konteks perlombaan sudah seharusnya menjadi hal yang dibicarakan dan dibagi ke ruang publik. Bukannya menjadi rahasia, justru argumentasi bisa menjadi bahan evaluasi, saran serta tantangan mungkin juga ide baru untuk sebuah karya menuju tingkat kematangannya. Kerahasiaan dalam penilain juga dapat menimbulkan dua persepsi yang berbeda.

Jika mereka diuntungkan, kerahasiaan itu bisa membuat mereka ada dalam posisi cukup dan mengapresiasi. Sebaliknya jika itu tidak menguntungkan apakah ada argumentasi jelas yang bisa membuat mereka untuk tidak bertanya dibalik kerahasiaan itu? Mari kita berpikir bersama-sama, [T]

Penulis: I Kadek Janurangga
Editor: Adnyana Ole

“Sura Belawa” dan Upaya Merawat Ekosistem Baleganjur | Catatan Lomba Baleganjur Taksu Agung
Sublim Spirit I Maria dalam Karya Kreasi Baleganjur Komunitas Seni Taksu Agung
Dari Virtual Menuju Nyata | Kreativitas Baleganjur Komunitas Taksu Agung
Tags: baleganjurgamelan balikarawitan balikesenian baliKomunitas Taksu Agunglomba baleganjur
Previous Post

Kami Hidup di Sepanjang Sungai Kalimalang | Cerpen Pry S.

Next Post

Pementasan Musik “Gala Resonant”: Perpaduan Tradisi dan Modernitas dalam Narasi Filosofis

I Kadek Janurangga

I Kadek Janurangga

Komposer. Tinggal di Lingkungan Padangtegal Kaja, Ubud, Gianyar, Bali.

Next Post
Pementasan Musik “Gala Resonant”: Perpaduan Tradisi dan Modernitas dalam Narasi Filosofis

Pementasan Musik “Gala Resonant”: Perpaduan Tradisi dan Modernitas dalam Narasi Filosofis

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

“Pseudotourism”: Pepesan Kosong dalam Pariwisata

by Chusmeru
May 10, 2025
0
Efek “Frugal Living” dalam Pariwisata

KEBIJAKAN libur panjang (long weekend) yang diterapkan pemerintah selalu diprediksi dapat menggairahkan industri pariwisata Tanah Air. Hari-hari besar keagamaan dan...

Read more

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co