MENJADI sebuah olahraga yang sedang hype akhir-akhir ini, membuat aktivitas berlari semakin banyak dilakukan oleh masyarakat. Banyak yang mengatakan lari adalah olahraga yang paling mudah dilakukan, karena cukup dengan menggunakan pakaian olahraga dan sepatu, kemudian ayunkan tubuh selama minimal 30 menit saja sudah mampu membakar ratusan kalori.
Perasaan bahagia dan satisfying yang ditimbulkan dari adanya aktivitas fisik ini juga merupakan sebuah reaksi dari tubuh kita yang berhasil memproduksi hormon endorfin. Hormon endorfin merupakan sebuahhormon yang diproduksi oleh tubuh untuk mengurangi stress, meredakan nyeri, dan meningkatkan perasaan bahagia. Selain mudah, lari juga dikatakan sebagai olahraga yang dikatakan murah karena tidak memerlukan tambahan alat lagi untuk melakukannya. Namun, benarkah lari adalah olahraga murah?
Secara teknis, lari memang tidak memerlukan tambahan alat dalam aktivitasnya. Hanya memerlukan pakaian olahraga dan sepatu yang tentunya tergolong sebagai perlengkapan “basic” dalam olahraga. Namun ternyata, terdapat sebuah istilah dalam dunia lari yang cukup familiar yaitu “kalcer”. Kalcer merujuk pada istilah “culture” yang artinya adalah budaya. Sehingga kalcer di sini dapat diartikan sebagai budaya atau kebiasaan tertentu yang terbentuk di sebuah kalangan untuk menampilkan dirinya dalam versi terbaik.
Sehingga, pelari kalcer dapat diartikan sebagai orang-orang yang berlari dengan penuh semangat dan antusias didukung dengan penggunaan perlengkapan dan aksesoris lari terbaru dan modis yang berasal dari brand-brand ternama. Bahkan, para pelari “kalcer” ini memang selalu membawa dirinya untuk tampil stylish sembari mengutamakan fungsi dan kenyamanan saat berlari. Perlengkapan yang digunakan pun biasanya memiliki harga yang tidak main-main, karena biasanya berasal dari brand internasional terkemuka.
Lifestyle Pelari Kalcer
Para pelari kalcer ini biasanya rela merogoh kocek 3 juta – 5 juta rupiah untuk mengakomodir kebutuhan sepatu plat carbon, sebuah sepatu dengan teknologi karbon yang ditanam pada midsole untuk menghasilkan energy return yang lebih baik, sehingga mampu menciptakan efisiensi dalam aktivitas berlari. Belum lagi untuk smart watch yang digunakan rata-rata berkisar antara 3.5 juta – 19 juta, menyusul aksesoris lain, seperti jersey, topi, celana, legging, kacamata yang berkisar pada harga 200.000 – 2 juta, hingga headphone dengan teknologi bone conduction yang berkisar pada harga 500.000 – 3 juta.
Jika diakumulasi outfit from head to toe seorang pelari kalcer ini mampu bernilai belasan hingga puluhan juta rupiah. Maka dari itu, tidak heran seringkali muncul di sosial media tentang tren “Spill outfit lari kamu dong?” sehingga makin kalcer penampilan seorang pelari, makin banyak brand ternama yang melekat pada tubuhnya. Selain itu, pelari kalcer biasanya sangatlah aktif di sosial media yang kerap membagikan aktivitas berlarinya dengan beragam foto estetik dan pada akhirnya banyak dari mereka yang akhirnya menjadi selebrun-influencer lari.
Mereka juga kerap mengikuti beragam event-event lari dengan skala nasional tiap tahunnya, bahkan tak jarang ada juga yang mengikuti World Marathon Major-sebuah event lari akbar yang digelar di negara-negara tertentu yang sudah diakui kualitas dan kredibilitasnya. Untuk mengikuti event lari bergengsi seperti ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun tak dapat dipungkiri adanya kebutuhan akan eksistensi mengikuti acara semacam itu dapat menjadi motivasi terbaik bagi sebagian individu dalam menjalani hidupnya.
Peran Media Sosial
Media sosial memang berperan besar dalam membentuk pola perilaku pelari kalcer. Platform seperti Instagram dan Strava menjadi media utama untuk membagikan pencapaian jarak lari, waktu tempuh, hingga foto-foto estetik di lokasi populer.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aryanto Nur dkk, bahwa aplikasi Strava terbukti sebagai platform yang mampu mendorong perilaku positif bagi penggunanya, baik dalam hal kebugaran fisik maupun gaya hidup sehat secara keseluruhan. Dengan kombinasi teknologi pelacakan canggih, dukungan komunitas yang kuat, dan fitur sosial yang mendorong keterlibatan, Strava menjadi media yang sangat baik untuk membantu pengguna mencapai dan mempertahankan tujuan mereka.
Sayangnya, bagi sebagian pelari yang sudah terlanjur terjun ke dalam lingkungan kalcer, tekanan untuk selalu tampil di acara-acara lari besar dan kewajiban untuk selalu posting aktivitas atau kegiatan yang mereka ikuti dapat menimbulkan dampak negatif, seperti rasa cemas berlebihan saat gagal mengikuti tren atau tidak mampu mencapai target lari tertentu. Hal ini tentunya dapat berujung pada perasaan negatif dan justru menghilangkan tujuan berolahraga yang sebenarnya.
Efek FOMO dalam Olahraga Lari
Fenomena pelari kalcer adalah cerminan kompleksitas kehidupan modern yang dipengaruhi oleh kebutuhan fisiologis dan sosial. Tentunya bukan menjadi sebuah hal yang salah jika seseorang memang mampu merogoh kocek fantastis untuk memenuhi hobi mereka, namun perlu dipertimbangkan kembali sebenarnya apakah esensi dari olahraga lari itu sendiri?
Pada dasarnya, melakukan sebuah aktivitas olahraga menjadi hal yang sangat positif apabila memberikan dampak baik bagi pelakunya. Dengan adanya keinginan untuk memiliki pola hidup yang sehat dan aktif sangat cukup menjadikan seseorang mampu merubah gaya hidupnya ke arah yang lebih positif.
Maka dari itu, aktivitas berlari sebenarnya sangat mampu memotivasi seseorang untuk menjalani hidupnya dengan lebih baik dengan caratatan jangan sampai munculnya fenomena ini justru menjadikan perilaku individu mengarah ke konsumerisme yang diartikan sebagai sebuah gaya hidup yang ditandai dengan kebiasaan membeli barang dan jasa secara berlebihan untuk mendapatkan kepuasan dan status sosial.
Perspektif Teori Komunikasi
Fenomena ini memiliki ketertakitan erat dengan Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence) yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann. Teori ini menjelaskan bagaimana individu cenderung menyesuaikan diri dengan opini mayoritas untuk menghindari isolasi sosial. Dalam teori ini, individu cenderung selalu berinteraksi dengan lingkungan sosial.
Opini publik dilihat sebagai sebuah interaksi yang terbangun antara opini pribadi dengan opini yang berkembang dalam masyarakat, sehingga individu dilihat selalu menyesuaikan opini pribadinya dengan lingkungan sosial. Dalam konteks fenomena pelari kalcer, media sosial dan lingkungan sosial menjadi penggerak opini mayoritas yang menciptakan norma bahwa lari adalah bagian dari gaya hidup yang harus diikuti. Sehingga makin banyak individu yang menjadikan aktivitas ini menjadi sebuah kebiasaan baru karena tingginya tingkat popularitas aktivitas tersebut ketika dibicarakan masyarakat.
Selain itu, Teori Konstruksi Realitas Sosial oleh Berger dan Luckmann menekankan bahwa sebuah realitas dibangun melalui interaksi sosial. Bagaimana masyarakat melihat “realitas objektif”, dan bagaimana seorang individu menggunakan “realitas subjektif” sebagai acuan identitasnya di masyarakat. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka ketika media dan komunitas lari terus mempromosikan gaya hidup sehat dan menarik melalui olahraga lari, realitas ini dapat menjadi acuan bagi individu untuk menginternalisasi nilai-nilai tersebut. Akibatnya, mereka merasa perlu untuk berpartisipasi jika mereka ingin diterima secara sosial.
Jadi, apakah benar berlari adalah olahraga yang paling murah dan mudah? Semua itu dikembalikan ke pribadi masing-masing dalam mencapai tujuannya. Usahakan tujuan berolahraga itu memang untuk memberikan dampak yang positif pada tubuh terutama dalam meningkatkan kesehatan dan kebugaran, jangan sampai hanya sebatas takut ketinggalan tren atau takut tidak terlibat dalam aktivitas yang sedang populer.
Yang terpenting adalah bagaimana kita dapat menciptakan keseimbangan dalam menjadikan lari sebagai aktivitas yang bermanfaat bagi tubuh dan pikiran, tanpa terjebak dalam tekanan sosial yang berlebihan
Referensi :
Eriyanto. 2012. Teori Spiral Kesunyian dan Negara Transisi Demokrasi : Sebuah Pengujian di Indonesia. Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume 1 Nomor 1.
Karman. 2015. Konstruksi Realitas Sosial Sebagai Gerakan Pemikiran (Sebuah Telaah Teoretis Terhadap Konstruksi Realitas Peter L. Berger). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika. Volume 5 No. 3
Kembau, Agung Stefanus. Pelari Kalcer: Konsumerisme Olahraga. Kumparan Media: https://kumparan.com/agung-stefanus-kembau/pelari-kalcer-konsumerisme-olahraga-23KzTF9trvB/full Diakses pada 15 Januari 2024.
Nur, Aryanto dkk. 2024. Analisis Peranan Aplikasi Strava Terhadap Kegiatan Olahraga Lari Pagi. Kohesi : Jurnal Multidisiplin Saintek, Volume 4 No 11 Tahun 2024.