DI tengah suka cita kita memanfaatkan dunia digital, ada suatu ancaman yang tak kasat mata, semacam virus, tengah mengintai generasi muda kita. Adalah brain rot, yang meskipun terdengar tidak resmi, namun menggambarkan kondisi yang sangat serius, yaitu penurunan fungsi kognitif dan mental akibat konsumsi konten digital yang dangkal dan berlebihan.
Ironisnya, di saat bangsa ini bersiap memanen bonus demografi, dan digadang-gadang menuju generasi emas, kita justru menghadapi risiko besar melemahnya aset terpenting kita yaitu sumber daya manusia muda. Yang ingin saya sampaikan brain rot bukan hanya musuh negara, tetapi juga ancaman nyata bagi kita semua sebagai anggota inti terkecil masyarakat yaitu keluarga.
Brain rot, dalam pengertian yang sederhana, adalah kerusakan kognitif akibat asupan informasi yang berlebihan, dangkal, dan tidak bermanfaat. Maka disebut juga suatu pembusukan otak. Sebenarnya awalnya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan efek negatif dari menonton televisi yang terlalu banyak. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, kemudian diluaskan mencakup media digital, terutama media sosial.
Kita semua tahu bahwa media sosial, kontennya memang dirancang untuk memanjakan perhatian sesaat seperti: video pendek, meme, dan drama viral yang kemudian menguasai pikiran anak-anak kita. Pada anak dengan usia lebih muda akan terjadi juga gangguan sosial dan emosional, di mana anak menjadi lebih mudah tantrum, menangis, dan rewel. Pasti banyak dari para pembaca yang budiman melihat fenomena ini di tengah masyarakat.
Secara kimia biologis, ketika scrolling di media sosial kegiatan ini memicu pelepasan dopamin, yang dikenal sebagai hormon bahagia, di mana otak anak akan merasa senang dan terhibur. Namun, ini adalah kebahagiaan semu. Bahayanya, dalam jangka panjang, si anak lebih memilih perangkat digital dibandingkan interaksi nyata dengan keluarga. Pasti banyak yang merasa bahwa kini interaksi sosial yang sehat sudah mulai tergantikan oleh interaksi digital yang sebenarnya dangkal.
Musuh Negara: Melemahkan SDM Muda
Brain rot bukan hanya soal kecerdasan yang melemah. Dampaknya lebih luas dan mendalam. Anak-anak dengan paparan konten dangkal yang berlebihan sering kali kesulitan untuk fokus. Informasi yang kompleks sulit mereka proses karena otaknya terbiasa dengan hal-hal instan. Dengan demikian mereka jelas akan mengalami penurunan kemampuan belajar. Efeknya jelas, otak anak-anak kita menjadi tumpul dalam berpikir kritis, kreativitasnya juga menurun, dan kemampuan belajar merosot drastis, prestasi gak ada juga.
Negara kita termasuk kaya sumber daya manusia, alias penduduknya banyak. Sebenarnya bonus demografi semacam ini adalah peluang emas bagi bangsa kita. Namun, tanpa SDM berkualitas, peluang ini bisa menjadi bencana. Brain rot melemahkan daya saing generasi muda, membuat mereka lebih rentan terhadap manipulasi informasi, dan kurang inovatif.
Bayangkan saja, Indonesia melimpah dengan suatu generasi yang lemah, yang tidak mampu menganalisis masalah kompleks, mustahil mengharapkan mereka mampu menciptakan solusi inovatif. Sebaliknya, mereka perlu dipenuhi segala macam kebutuhan dan konsumsinya namun tidak mampu untuk menjadi produktif, jadi mereka hanya akan menjadi beban bagi perekonomian dan sosial masyarakat.
Generasi muda yang kecanduan konten dangkal mana mungkin mampu membawa Indonesia menjadi negara maju. Padahal sudah menjadi keprihatinan umum bahwa negara kita sedang tidak baik-baik saj. Jadi dengan generasi macam ini ke depan negara kita bisa terancam ambyar.
Pemerintah dan masyarakat, yaitu kita sendiri, perlu sadar bahwa brain rot adalah musuh yang harus dilawan secara kolektif dan serempak. Ini bukan hanya persoalan individu, tetapi telah menjadi masalah struktural yang berdampak langsung pada masa depan bangsa.
Merusak Ikatan Emosional Keluarga
Di depan sudah disampaikan bahwa brain rot juga merupakan musuh utama keluarga. Ketika anak-anak lebih sibuk dengan perangkat digital mereka, hubungan dengan orang tua menjadi renggang. Interaksi yang seharusnya menjadi momen penting dalam pembentukan karakter anak, kini tergantikan oleh video TikTok atau gim daring.
Orang tua sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang “kalah bersaing” dengan media digital. Bisa jadi menyadari namun membiarkan masalah ini hari demi hari, tanpa terasa menjadi bulan demi bulan, dan tahun.
Anak yang terlalu sering terpapar media digital cenderung kehilangan kemampuan untuk membangun hubungan emosional yang sehat. Akibatnya ada yang putus dalam hubungan orang tua dan anak. Usaha pendidikan dalam keluarga menjadi gagal dan tentu ini adalah ancaman serius bagi stabilitas keluarga, dan ujungnya ke negara juga.
Melawan Brain Rot Tugas Kita Bersama
Mengatasi brain rot bukan perkara mudah. Dibutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan keluarga, sekolah, dan pemerintah. Dari banyak saran ahli, beberapa langkah konkret harus diambil. Misalnya orang tua harus mengawasi waktu layar anak-anak mereka. Batasi aktivitas pasif seperti scrolling media sosial dan ganti dengan kegiatan yang lebih bermakna.
Anak-anak harus diterapkan adanya rutinitas sehat. Dengan pola tidur, makan, dan olahraga yang teratur, akan membantu otak anak pulih dari paparan digital yang berlebihan. Rutinitas ini juga bisa meningkatkan kemampuan kognitif dan emosional anak. Kita juga harus mendorong aktivitas kreatif seperti kembali membaca buku, menulis cerita, atau mempelajari alat musik; di mana hal ini merupakan kegiatan yang dikenal mampu merangsang otak dan meningkatkan kreativitas.
Tak kalah penting adalah detoks digital. Mau tak mau, orang tua harus menjadwalkan waktu bagi anak-anak untuk bebas perangkat digital secara berkala. Ini memberikan kesempatan bagi otak anak-anak untuk beristirahat sehingga bisa memproses informasi secara lebih baik. Di sini pentingnya edukasi orang tua dan guru, di mana keluarga dan sekolah harus menjadi garda terdepan dalam melindungi anak-anak dari bahaya brain rot.
Para guru juga perlu memahami bagaimana mengarahkan anak menggunakan teknologi secara bijak. Jadi sebaiknya guru jangan dibebani dengan tugas administratif yang banyak sehingga bisa fokus dalam pengajaran dan pendidikan. Faktanya beban itu membuat sering jamkos dan malahan menyuruh anak mengerjakan tugas mandiri dengan macam-macam fitur digital.
Investasi untuk Masa Depan
Brain rot adalah ancaman nyata yang harus segera kita tangani. Jika dibiarkan, generasi muda kita tidak akan mampu menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Di sisi lain, keluarga sebagai unit terkecil masyarakat akan kehilangan fungsinya sebagai tempat pembentukan karakter dan nilai-nilai moral.
Mengatasi brain rot bukan hanya sok-sokan tentang membatasi waktu layar. No debat, ini adalah perjuangan nyata untuk melindungi masa depan bangsa dan memperkuat ikatan keluarga sebgai pondasi negara. Orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat harus bersatu padu dalam melawan fenomena ini.
Sebagai penutup, sekali lagi mari kita renungkan. Teknologi adalah buatan manusia yang seharusnya menjadi alat yang mendukung kehidupan kita lebih baik, bukan sebagai penghancur generasi muda. Brain rot adalah musuh bersama yang harus kita lawan dengan kesadaran, tindakan, dan cinta kepada anak-anak kita.
Masa depan mereka adalah masa depan bangsa ini, masa depan kita juga di masa tua. Jangan biarkan mereka tumbang oleh virus digital yang kita ciptakan sendiri. Kita terlanjur membuat virus, mari segera buat vaksinnya. Tabik. [T]
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI