RINTIK gerimis belum juga reda. Pelataran kampus masih tampak basah. Ruangan dosen sudah mulai sepi. Satu per satu dosen kembali ke rumah seiring dengan datangnya senja. Namun tidak demikian dengan Elisabeth Nunce. Pekerjaan yang masih numpuk membuatnya masih bertahan di ruang kerjanya.
Berulang kali suami dan anak-anaknya menelpon. Mereka menanyakan kenapa Nunce belum juga pulang ke rumah. Mereka khawatir terjadi sesuatu pada Nunce. Ketika diberitahu alasannya, mereka pun maklum, dengan harapan Nunce tidak pulang terlalu malam; mengingat mendung di langit semakin tebal.
Ruang kerja Nunce tidak terlalu besar. Ada tumpukan buku literatur di atas meja. File kabinet berisi surat-surat penting. Nunce tidak begitu tertarik untuk menata ruang kerjanya. Baginya yang penting bersih, sejuk, dan nyaman untuk bekerja.
Sebetulnya Nunce bisa saja menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Namun ia tak yakin bisa melakukannya. Saat di rumah alih-alih mau mengerjakan tugas, ia justru disibukkan dengan pekerjaan domestiknya. Anak-anaknya pasti akan mengganggunya dengan berbagai permintaan yang memaksanya harus turun tangan. Sedangkan suaminya lebih asyik bermain game di ponselnya saat di rumah.
Menyelesaikan pekerjaan di kantor hingga menjelang malam sebetulnya bukan hal baru bagi Nunce. Kadang ia juga memberikan waktu sore hari kepada mahasiswanya untuk bimbingan skripsi maupun tesisnya. Alasannya sama. Membimbing mahasiswa di rumah banyak gangguan oleh anak-anaknya yang ribut bermain, berlarian di dalam rumah.
Seperti sore ini, mahasiswa bimbingan skripsi baru saja keluar dari ruang kerjanya. Mata Nunce sudah mulai terasa mengantuk diterpa dinginnya AC di ruang dosen. Nunce memutuskan membuat segelas kopi untuk mengusir kantuknya. Agak sedikit malas ia harus ke dapur sendirian. Banyak cerita dari para dosen bahwa pantry atau dapur di ruang jurusan ada hantunya. Sejenak ia hendak membatalkan membuat kopi, namun rasa capai di tubuh sepertinya harus diredakan dengan segelas kopi.
***
Kopi itu masih panas. Nunce tak segera meminumnya. Dibiarkannya beberapa saat hingga panasnya berkurang. Kebiasaan minum kopi sudah Nunce lakukan sejak ia masih kuliah dulu. Kopi dan musik sering menjadi teman belajarnya.
Nunce kembali melanjutkan pekerjaannya. Tugas mata kuliah Komunikasi Pembangunan yang dibuat mahasiswanya tinggal beberapa yang belum ia baca. Perlahan Nunce menyeruput kopi yang dibuatnya. Kopi itu merupakan oleh-oleh dari Aceh yang dibawa Mita Setiani, rekan kerjanya.
Baru saja satu teguk Nunce mencicipi kopinya, terdengar suara derap langkah di selasar ruang dosen. Nunce mengira pasti Mita Setiani yang melintas. Suara langkah orang itu semakin keras dan mendekati ruang kerjanya. Kini suara itu seperti langkah kaki yang terseret-seret di lantai. Tentu menyeramkan mendengar suara seperti itu di ruangan sepi senja hari.
“Bu Mita ya…?” tanya Nunce ke arah suara itu. Tidak ada yang menyahut. Ia penasaran, dan mencoba menengok keluar ruangan. Tak ada tanda-tanda orang melintas.
Nunce kembali masuk ruangan. Baru saja hendak duduk kembali, terdengar suara orang membuka pintu ruang sebelah. Itu adalah ruangan Sri Hastuti, rekan kerjanya yang sudah senior. Nunce agak heran, tidak seperti biasanya Sri Hastuti ke kampus senja hari.
“Ibu Sri.., tumben ke kampus…?” kata Nunce ke ruangan sebelah. Tidak ada jawaban apa pun. Namun dari dalam ruangan Sri Hastuti terdengar seperti orang sedang membuka-buka buku.
Merasa penasaran, Nunce menghampiri ruang Sri Hastuti. Ia buka pintu ruangannya. Tidak tampak seorang pun di ruangan itu. Buku-buku di atas meja Sri Hastuti juga masih tersusun rapi. Bulu kuduk Nunce mulai merinding. Jangan-jangan suara itu adalah hantu yang seperti diceritakan dosen-dosen.
Nunce tidak ambil pusing. Meski sedikit ketakutan, ia tetap kembali meneruskan pekerjaannya. Kopi di gelas sudah mulai dingin. Senja juga sudah tergantikan malam. Satu jam lagi pulang, begitu pikir Nunce saat melihat arlojinya sudah menunjukkan angka tujuh.
Tiba-tiba, braaakk…! Seperti barang yang terjatuh dari atas meja. Kali ini datang dari ruang Ketua Jurusan, Edward Santo Sonara. Tentu saja Nunce terkejut. Untuk apa Pak Edward malam-malam ke kampus? Apakah ada sesuatu yang ingin diambilnya? Ataukah mau kerja lembur malam? Belum selesai pertanyaan-pertanyaan Nunce itu, terdengar suara orang menguap di ruang Ketua Jurusan.
Nunce kembali membuka ruangannya, menengok ke ruangan Ketua Jurusan.
“Pak Edward..?” panggil Nunce ke ruangan Ketua Jurusan.
Sama seperti kejadian sebelumnya, tidak ada orang yang menjawab Nunce. Kali ini Nunce memberanikan diri membuka ruangan pak Edward yang tidak terkunci.
Betapa kaget Nunce. Barang-barang di meja Pak Edward jatuh berserakan di lantai. Dengan jelas Nunce melihat buku, map, spidol, dan beberapa vandel berjatuhan seperti habis diacak-acak. Nunce segera menutup ruangan pak Edward. Kali ini bukan hanya bulu kuduknya yang berdiri, namun keringat dingin mulai menetes dari keningnya. Bergegas ia masuk ke ruangannya sendiri.
Nunce berharap kejadian di ruangan pak Edward adalah yang terakhir kali ia saksikan. Tetapi ternyata tidak. Kali ini ia dengar suara ketukan jemari tangan di atas meja. Nunce mencoba menerka dari mana suara itu berasal. Ruangan Isnaeni, Ketua Laboratorium Komunikasi.
Suara ketukan jari di atas meja Isnaeni makin cepat dan semakin keras, seperti mengikuti irama lagu. Isnaeni memang termasuk dosen yang suka mendengarkan musik ketika bekerja di ruangan. Namun Nunce tak yakin itu suara ketukan jari Isnaeni. Nunce tahu persis, Isnaeni termasuk dosen yang lebih personal. Andai pun ia mendengarkan lagu di laptopnya, itu hanya untuk didengar sendiri dengan volume yang lirih.
Detak jantung Nunce mulai meningkat debarnya. Mengapa ia harus mengalami suara-suara misterius, mulai dari derap langkah di selasar ruang dosen hingga ke beberapa ruangan dosen. Ia segera mengambil tisu untuk mengelap keringat dingin di dahinya. Nunce memutuskan untuk tidak menghampiri ruangan Isnaeni. Nyali keberaniannya mulai surut.
Perlahan ia habiskan minum kopinya. Tumpukan tugas di mejanya segera dibereskan. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah saja. Kampus telah membuatnya tidak nyaman bekerja di malam hari. Ia berpikir, kalau pun dia teruskan pekerjaannya, tentu akan muncul suara-suara misterius yang lainnya.
Sambil berjingkat pelan, ia tutup pintu ruangan. Berjalan lambat meninggalan ruangan melewati selasar ruang dosen. Suara ketukan di meja ruangan Isnaeni belum juga berhenti, meski mulai terdengar pelan. Nunce tak ingin menoleh ke belakang, ke selasar ruang dosen. Takut ia akan melihat sosok hantu yang sering jadi bahan perbincangan di kalangan dosen.
***
Hari ini Nunce berangkat ke kampus agak siang. Semalam ia sulit memejamkan mata. Kejadian di selasar ruang dosen membuatnya sulit tidur. Masih terngiang di telinga dan terbayang di benaknya suara-suara aneh di kampus tempat kerjanya.
Nunce semalam tidur larut malam. Setiba di rumah masih banyak pekerjaan domestik yang harus ia selesaikan. Setumpuk piring bekas makan anak-anaknya masih berantakan di tempat cuci. Sebetulnya ia merasa kesal kepada suaminya yang lebih memilih asyik dengan ponselnya ketimbang membantunya mencuci piring. Tapi Nunce dengan sisa tenaganya tetap mengerjakan, karena memang ia yang mengambil keputusan untuk tidak memiliki asisten rumah tangga.
Suasana di kampus belum begitu ramai. Baru beberapa dosen yang datang. Sementara Wahyono, pegawai tata usaha di jurusan sedang mengetik sesuatu di komputer. Nunce menghampiri Wahyono untuk menanyakan siapa saja dosen yang telah hadir.
“Pak Edward sudah datang, Mas?” tanya Nunce pada Wahyono.
“Belum, Bu, baru Pak Heri dan Pak Aldo,” jawab Wahyono.
“Antar saya ke ruangan pak Edward ya mas…,” pinta Nunce kepada Wahyono. Ia penasaran dengan kejadian kemarin malam.
Ditemani Wahyono, Nunce menuju ruangan pak Edward. Ia buka pintu ruangan Pak Edward. Tidak ada barang-barang di meja Pak Edward yang berantakan. Semua tertata dengan rapi. Padahal semalam Nunce menyaksikan dengan matanya sendiri kondisi ruangan Pak Edward yang porak-poranda.
Nunce tertegun. Ia tak habis pikir, siapa yang membuat ruangan Pak Edward berantakan. Ia juga masih penasaran, siapa yang melangkah di selasar ruang dosen. Semua serba misterius. Nunce tak ceritakan semua ini kepada Wahyono. Juga tidak kepada pak Heri dan dan Aldo. Ia simpan semua untuk dirinya sendiri. (Bersambung)
- Ini adalah cerita fiksi misteri bersambung. Jika terdapat kesamaan nama, tempat, dan peristiwa hanyalah kebetulan dan rekaan penulis semata