ADA satu danau berbentuk hati. Danau itu punya air biru jernih. Di sekitar danau tinggallah seekor capung bersama keluarga serangga: Belalang dan Kupu-kupu dan Kunang-kunang dan Laron. Mereka hidup bahagia. Mereka cari makan bersama. Mereka bermain bersama.
Hingga pada suatu hari, mereka mendengar deru bunyi, dan tiupan angin kencang; suara itu buat Rusa yang sedang minum air danau lari terbirit-birit, angin kencang bikin sayap Capung hampir patah.
Dari perut air, yang serupa cermin, mereka lihat sesuatu, sesuatu terbang di bawah awan, sesuatu yang mirip bentuk tubuh capung. Mereka penasaran, Capung bertanya di dalam hati: bagaimana ia bisa terbang? Terbuat dari apakah tubuh dan sayapnya?
Sepanjang hidup capung dan kawan-kawan belum pernah bertemu, atau dengar cerita tentang sesuatu yang baru mereka lihat itu.
Capung segera terbang meninggalkan danau, terbang ke arah timur, hendak bertemu Elang. Elang punya cakar tajam dan paruhnya merah hitam seperti buah matoa matang, sayapnya kuat seperti dahan kayu besi, bulunya berwarna putih berbintik hitam.
Capung tiba di sana, ia hinggap pada ranting bese nale.
“Kek, apakah Kakek tahu tentang sesuatu yang baru terbang?“ Capung bertanya kepada Elang yang dipanggil dengan sebutan Kakek. Capung bertanya dengan suara gemetar.
Kakek Elang sedang lahap menikmati daging kuskus. Elang melepas cakar dari cengkraman tubuh kuskus putih, ia menatap Capung.
Capung menggigil, seluruh tubuhnya dingin, kaki-kakinya serasa lepas dari tubuhnya.
Kakek Elang menggoyang-goyangkan tubuhnya—darah kuskus, lepas dari bulu dan paruhnya.
Ia maju selangkah dari tubuh kuskus yang sebagian sudah tinggal tulang. Ia kasih kode kepada Capung dengan paruhnya agar ia datang dan hinggap di sampingnya.
Capung buka sayap dan terbang, mendekat dan hinggap dan ia dengar Kakek Elang bilang: “Itu burung buatan manusia!”
Burung buatan manusia itu, tentu sangat mengganggu elang. Kakek Elang sudah beberapa kali melihatnya, dan ia tak suka dengan bising suaranya, ia juga tak suka kecepatan miliknya.
Setelah pertemuan itu, Capung meninggalkan Elang. Ia berniat terbang seperti burung buatan manusia. Ia bilang kepada dirinya: saya mau belajar terbang.
Setiap hari ia belajar terbang. Terbang dari satu daun ke daun lain. Ia menambah tinggi jangkauan terbangnya juga, tak seperti teman-teman Capung yang hanya bermain di atas perut air.
Sambil bermain, mereka mengamati Capung. Mereka bilang kepadanya: biar Elang dan burung buatan manusia saja yang terbang tinggi, kita cukup begini saja.
Tapi Capung tetap berlatih.
Teman-teman tidak percaya ia bisa terbang lebih tinggi dari tinggi pohon ketapang.
Ia cepeh berlatih dan capung duduk di daun teratai yang mengapung di atas perut air, yang sebagian daunnya tenggelam di air, yang tangkai besar menjulang tinggi ke awan, yang kelopak bunga besar berwarna putih kemerahan dan mekarnya menyerupai payung. Teratai hidup bahagia bersama air.
Tapi banyak serangga yang yang tak suka padanya. Hanya Capung yang suka duduk dan merenungi impiannya di atas sehelai daun teratai, bernaung di bawah payung teratai, capung suka mengamati warna bunga teratai dan sering bertanya-tanya juga: bagaimana ia memiliki warna seindah ini?
Teratai senang bersama capung, dan ia mekar dan mengeluarkan aroma untuknya, dan kapanpun capung datng ia selalu menyiapkan tempat buatnya duduk dan bermenung. Teratai juga mendengar setiap keluh kesah Capung. Hingga suatu hari Teratai berkata: “Aku akan menghadiahkan engkau daun milikku, ia akan menerbangkanmu setinggi-tingginya”
Teratai memberi satu daun miliknya kepada Capung. Tetapi dengan syarat: Capung tak boleh terbang tinggi dan jauh mendekat di tempat tinggal Elang.
Capung terbang gunakan daun teratai, awalnya ia terbang rendah dan hinggap di atas daun ilalang, lalu terbang agak tinggi dan hinggap di atas daun sagu, lalu terbang tinggi dan hinggap di atas daun ketapang; setiap hari ia terbang makin tinggi bahkan lebih tinggi dari bese nale—tempat Elang tinggal.
Elang melihat Capung terbang, beberapa kali Capung terbang tinggi di sekitar wilayah Elang; Elang bertanya dalam hati: bagaimana bisa Capung terbang setinggi itu? Elang pun terbang mendekat dan melihat, oh, ternyata Capung terbang menggunakan daun teratai; Elang merampas, membawa pergi daun teratai lalu menyobek dan menghamburkan ke tanah.
Capung terbawa angin kencang, seperti daun ketapang kering, Capung terbawa jauh tak tentu arah.
Capung jatuh di semak-semak yang buat perutnya berdarah; sayap kirinya sobek ditusuk ranting kayu kering. Ia menjerit kesakitan.
Beberapa hari ia tak sadarkan diri. Tak ada yang tahu keberadaannya, kecuali seekor semut. Semut datang, ia membangunkan capung, dan ia menggotongnya ke tepi danau, seekor katak membawa dan menidurkan tubuhnya di atas daun teratai.
Teratai dan teman-temannya datang menghiburnya, Teratai mengobati luka, dengan ramuan, seketika luka di perut sembuh, sayapnya yang sobek pulih.
Capung menceritakan kejadian itu, ia memohon maaf kepada Teratai dan ia berjanji: tidak akan lagi terbang dekat Elang tinggal. Teratai beri lagi daunnya. Capung terbang menggunakannya lagi tapi ia terbang rendah. Ia terbang jauh dan menaburkan benih teratai dari satu danau ke danau lain. Capung dan Kupu-kupu dan Belalang dan Laron sering menggunakan daun teratai juga—mereka terbang bersama mencari makanan di tempat jauh, mereka terbang dari satu pohon ke pohon lain, terbang dan hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain. Di tepi danau itu kini, mereka hidup bahagia, bersama Teratai. [T]
(Ubrub-Semografi, 2024-2025)