- Tulisan ini banyak terinspirasi atau materi lebih banyak diambil dari hasil penelitian saat menyusun disertasi, Kebutuhan Keluarga Baduy, juga Penelitian Mulyanto dkk Prilaku Konformitas Orang Baduy, yang saya baca.
SEBUTAN “Orang Baduy” atau ”Urang Baduy” yang digunakan untuk kelompok masyarakat ini bukan berasal dari mereka sendiri. Penduduk wilayah Banten Selatan yang sudah beragama Islam, biasa menyebut masyarakat yang suka berpindah-pindah seperti halnya orang Badawi di Arab, dengan sebutan “Baduy”. Orang-orang Belanda seperti Hoevell, Jacobs, Meijer, Penning, Pleyte, Trcht, dan Geise menyebut mereka Badoe’i, Badoej, Badoewi, dan orang Kanekes seperti dikemukakan dalam laporan-laporannya.
Sekitar tahun 1980-an, ketika KTP (Kartu Tanda Penduduk) diberlakukan di sini, hampir tidak ada yang menolak dengan sebutan Orang Baduy. Walaupun, sebutan diri yang biasa mereka gunakan adalah Urang Kanekes, Urang Rawayan, Urang Tangtu (Baduy Dalam) dan Urang Panamping (Baduy Luar). Nama “Baduy” mungkin diambil dari nama sungai Cibaduy dan nama gunung Baduy yang kebetulan berada di wilayah Baduy (Garna, 1993a:120).
Kisah yang hampir sama muncul dalam cerita rakyat di daerah Banten. Kisah tersebut menceritakan bahwa dalam suatu pertempuran, Kerajaan Pajajaran tidak dapat membendung serangan Kerajaan Banten. Pucuk pimpinan Pajajaran saat itu, Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi), beserta punggawa yang setia berhasil lolos meninggalkan kerajaan dan masuk ke dalam hutan belantara. Akhirnya mereka tiba di daerah Baduy sekarang ini dan membuat pemukiman di sana. (Djuwisno, 1987:1-2).
Apabila kita menanyakan mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran, pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih 600 tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.
Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000:47-59).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Biarkan waktu dan sejarah yang akan menjawab perihal asal-usul mereka, yang pasti mereka hadir sebagai bagian dari masyarakat Banten dan memiliki kekhasan dalam hal perilaku sikap dan sifatnya dalam menjalani kehidupannya. Mereka memiliki strategi dan cara sendiri dalam mempertahan tradisi adatnya.
Perilaku Konformitas
Konformitas dalam bahasa Inggris conformity, yang berarti jenis pengaruh sosial saat individu mengubah sikap dan tingkah lakunya, agar sesuai dengan norma sosial dan nilai masyarakat yang ada. Singkatnya penyesuaian diri. Masyarakat Baduy dapat dikatakan dalam sudut pandang kita memiliki perilaku yang tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman saat ini, atau perilakunya tidak konformitas (nonconformity).
Komunitas Adat Terpencil (KAT) Baduy sebuah komunitas yang hidup sangat sederhana dengan menggantungkan hidup terutama dari bercocok tanam padi dan tanpa menghiraukan dengan perkembangan zaman.
Menurut Mulyanto et.al (2006), prinsip yang dimiliki dan dijalani oleh masyarakat Baduy antara lain: tidak membangun permukiman dari bebatuan, semen, genting, paku atau produk industri modern lainnya. Berkali-kali tawaran pembangunan dari Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten berupa pembangunan jalan, listrik masuk desa, balai pengobatan, sekolah hingga pengadaan alat tenun ditolak masyarakat Baduy karena dianggap bertentangan dengan ketentuan karuhun dan adat.
Namun beberapa hal masyarakat Baduy juga sudah mulai mau menerima seperti alat tenun mereka sudah mau menerima bantuan dari pihak luar, pengobatan medis, bahkan keluarga berencana mereka sudah mau menerima. Perihal penerimaan KB oleh warga Baduy dapat dilihat dari penenelitian penulis pada Jurnal ISKI https://jurnal-iski.or.id/index.php/jkiski/article/view/704 sudah lebih 1500 akseptor KB, bahkan di Baduy juga sudah ada yang menerima.
Apabila puun (Ketua Adat Tertinggi Baduy Dalam) sudah menimbang dan memutuskan sesuatu, maka keputusan itu pula yang akan dilaksanakan segenap warga Baduy. Akibat penolakan-penolakan terhadap modernisasi di atas, program pemerintah hanya bisa dilakukan sampai perbatasan wilayah luar Baduy, yaitu sampai Desa Ciboleger.
Gambaran di atas menunjukkan, pada saat keluarnya pernyataan sikap lembaga adat, di waktu bersamaan muncul pula konformitas warga Baduy. Keputusan lembaga adat tidak akan memiliki kekuatan apapun tanpa adanya konformitas warga yang mendukungnya. Komunalisme tidak akan terjaga, jika tidak ada konformitas para penganutnya.
Menurut Matsumoto (2004) dalam Mulyanto et.al (2006), konformitas di sini sederhananya diartikan sebagai sikap mengalah seseorang pada tekanan sosial, baik yang nyata maupun yang dibayangkan.
Pertanyaannya, apakah warga Baduy tidak mengalami “keterpaksaan” dalam melakukan konformitas tersebut? Bentuk-bentuk perilaku konformitas seperti apa yang dilakukan masyarakat Baduy? Apakah semua warga Baduy melakukan konformitas?
Konformitas Dalam Bentuk Perilaku
Manifestasi konformitas dalam bentuk perilaku masyarakat Baduy dapat dilihat dari 1) cara berjalan orang Baduy, 2) aktivitas perladangan, 3) upacara ngawalu, ngalaksa, seba dan 4) aktivitas daur hidup.
Cara berjalan orang Baduy.
Orang-orang Baduy mengenal istilah Nguruy yang artinya berjalan beruntun satu per satu. Nguruy menjadi kebiasaan berjalan orang Baduy karena kondisi jalan setapak di lereng pegunungan Kendeng tempat mereka hidup yang lebarnya hanya berkisar satu meter. Menariknya, cara berjalan ini tetap dipertahankan meskipun orang-orang Baduy tengah berjalan di jalan besar perkotaan yang bukan lagi jalan setapak.
Tata cara berjalan orang Baduy mensyaratkan orang tua atau orang yang ditokohkan harus berjalan paling depan. Artinya, menghargai para tetua dan melambangkan dalam setiap aktivitas apapun, masyarakat selalu mengikuti aturan adat.
Cara berjalan ini juga memiliki tujuan etis, yaitu untuk mencegah orang membicarakan atau menjelek-jelekkan orang lain yang itu tidak dibolehkan oleh adat, karena berjalan berdampingan akan menstimulus seseorang untuk membicarakan keburukan orang lain (Mulyanto, et.al, 2006). Dengan kata lain masyarakat Baduy cenderung tidak bergosip.
Aktivitas perladangan
Hampir setiap orang Baduy mengatakan bahwa berladang adalah mata pencaharian pokok untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga mereka. Artinya berladang bagi orang Baduy hal yang sangat penting karena berhubungan dengan adat, dan memiliki ritual khusus.
Berladang ibarat ibadah dan sakral bagi komunitas adat Baduy (Sihabudin, 2009). Orang Baduy merupakan peladang murni. Berladang merupakan tumpuan pokok mata pencaharian mereka. Sistem perladangan yang dikenal berupa perladangan berpindah (Iskandar, 1992:29). Aktivitas berladang disebut ngahuma. Bagi warga Baduy yang sudah berkeluarga, wajib memiliki huma sendiri dan mematuhi tata aturan perladangannya.
Aktivitas berladang biasanya dimulai dengan melakukan Narawas, artinya mencari atau memilih lahan untuk dijadikan huma. Nyacar, berarti menebas rumput atau semak belukar. Nukuh, berarti mengeringkan rumput dan hasil tebasan lainnya.Ngaduruk adalahkegiatan membakar sampah yang telah dikumpulkan pada kegiatan nukuh. Ngaseuk, artinya membuat lubang kecil dengan menggunakan aseukan (penugal) untuk mananam benih padi.
Menugal (melobangi tanah) dilakukan oleh pria, sedangkan memasukan benih padi ke dalam lubang tugalan dilakukan oleh perempuan. Ngirab sawan, membersihkan sampah bekas ranting dan daun atau tanaman lain yang mengganggu tanaman padi yang sedang tumbuh. Mipitadalah kegiatan pertama kali memetik atau menuai padi. Tiga bulan saat pemanenan tersebut sering pula dikenal dengan bulan kawalu (Mulyanto,et.al, 2006)
Dibuat, berarti menuai atau memotong padi (panen). Ngunjal,artinya mengangkut hasil panen padi dari huma ke lumbung padi. Nganyaran,upacara makan nasi baru atau nasi pertama kali hasil dibuat di huma serang. Seluruh tata urutan perladangan di ikuti oleh masyarakat Baduy.
Berdasarkan uraian aktivitas perladangan, dapat disimpulkan kegiatan yang berpotensi memunculkan perilaku konformitas masyarakat Baduy yaitu, segala runtutan kegiatan yang berkenaan dengan huma serang, mulai ngaseuk serang sampai ngunjal. Setelah huma serang, kemudian huma puun dan kokolot.Jika warga tidak terlibat, maka sistem kebudayaan Baduy tidak akan berfungsi dengan baik, karena berangkatnya segala upacara adat di Baduy berawal dari hasil perladangan, terutama huma serang.
Upacara Kawalu, Ngalaksa, dan Seba
Kecintaan dan penghormatan orang Baduy pada alam terlihat dalam berbagai aktivitas kehidupan terutama saat akan melakukan perladangan, berhuma, selalu ada upacara yang tujuannya sebenarnya menghormati alam, karena mereka sangat mejaga keseimbangan alam, seperti, upacara Kawalu, ngalaksa, dan seba. Ada tiga kegiatan upacara terkait dengan kegiatan perladangan yang harus diselenggarakan oleh orang Baduy. Kawalu, adalah upacara dalam rangka “kembalinya” padi dari ladang ke lumbung dilakukan sebanyak tiga kali, masing-masing sekali dalam tiap-tiap bulan kawalu. Kawalu awaldisebut kawalu tembeuy atau kawalu mitembeuy, kemudian kawalu tengah, dan terakhir kawalu tutug (akhir). (Sihabudin, 2009:74)
Ngalaksa, berarti kegiatan atau upacara membuat laksa, semacam mie tetapi lebih lebar, seperti kuetiaw yang terbuat dari tepung beras. Keterlibatan warga sangat dijunjung tinggi pada saat upacara ngalaksa, karena upacara ini menjadi tempat perhitungan jumlah jiwa penduduk Baduy. Bahkan, bayi yang baru lahir maupun janin yang masih didalam kandungan juga akan masuk hitungan ketika upacara ngalaksa. Oleh karena sifatnya yang sakral, maka upacara ngalaksa dan kawalu tidak boleh disaksikan oleh orang luar, termasuk peneliti.
Seba,berasal dari kata nyaba artinya menyapa yang mengandung pengertian datang mempersembahkan laksa disertai hasil bumi lainnya kepada penguasa nasional. Substansi seba adalah silaturrahmi pemerintahan adat kepada pemerintah nasional seperti camat, bupati dan gubernur yang diadakan setahun sekali. (Garna, 1994, Mulyanto et.al, 2006, Permana, 2007, Sihabudin, 2009).
Aktivitas Daur Hidup
Berdasarkan hasil observasi di salah satu perkampungan Baduy, Kampung Marenggo, Balimbing, Kaduketug, umumnya kehidupan sehari-hari orang Baduy berjalan secara rutin, mulai dari bangun tidur, makan, ke huma, sampai tidur lagi.
Hari istirahat atau libur orang Baduy adalah hari Selasa. Berikut aktivitas keseharian orang Baduy: Isuk-isuk (dinihari / waktu subuh), membereskan rumah, persiapan masak, ada yang mulai berangkat ke huma; Rangsang (matahari mulai naik pukul 07-08an waktu Duha), memasak, mencuci, mengasuh anak, ke huma; Tengari (Tengah Hari jam 12-13 waktu Duhur)pulang ke rumah untuk makan, atau makan di huma; Lingsir (menjelang waktu Ashar jam 15-16), akhir kerja di huma, istirahat di huma atau langsung pulang ke rumah; Burit (sore hari jelang matahari tenggelam), pulang ke rumah dari huma, mandi, makan; Sareureuh buda (malam hari sekitar jam 20-21), anak-anak istirahat dan tidur, dewasa masih berbincang-bincang di sosoro (teras depan) rumah; Sareureuh kolot (malam hari jam 21-22) orang tua dan dewasa istirahat, mulai tidur; Tengah peuting orang dewasa tidur, ronda malam bergerak; Janari leutik (Waktu Fajar menjelang jam 04:30), bangun tidur bersiap ke huma. (Sihabudin, 2009: 132).
- Tulisan ini bersambung ke bagian 2 (habis), Konformitas penampilan, dan pandangan hidup (world view) orang Baduy.
Sumber Bacaan:
Adimihardja, Kusnaka. 2007. Dinamika Budaya Lokal. Bandung. CV. Indra Prahasta dan Pusat Kajian LBPB.
________.2000. Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai, Jakarta. Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Januari-April 2000, FISIP Universitas Indonesia.
Djoewisno, MS., 1987. Potret Kehidupan Masyarkat Baduy. Jakarta: Khas Studio.
Garna, Judistira, K. 1993a. Masyarakat Baduy di Banten., dalam Koentjaraningrat (ed) Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Depsos RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, dan Gramedia.
Iskandar, Johan. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia. Studi Kasus Dari Daerah Baduy Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Sihabudin, Ahmad. 2009. Persepsi KAT Baduy Luar Terhadap Kebutuhan Keluarga di Kabupaten Lebak Banten. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
- BACA esai-esai tentang BADUY
- BACA artikel lain dari penulis AHMAD SIHABUDIN