“Waduh!”
Tiada satupun dari anak-anak itu yang tersenyum. Ekspresi datar pun tak tertayang pada wajah mereka. Semua kompak menunjukkan ekspresi kaget dan panik. Keseruan bermain sepak bola buyar seketika saat Dulindul terlalu semangat menendang bola hingga melambung melewati pagar tembok putih yang berdiri tinggi, mendarat di pekarangan rumah orang yang dianggap simbol kengerian anak-anak di kampung itu. Mbah Rojek.
Moklis terduduk di tanah berpasir yang ditumbuhi rumput sedikit-sedikit, tak mampu membendung kekecewaan karena baru dua menit ikut bermain, ia terlambat karena harus cuci piring dulu. Dulindul menengok pada teman-temannya yang lemas, mental mereka telanjur lungsur karena bola itu jatuh di tempat terburuk bagi mereka. Bukan sekadar mitos, warga kampung paham setiap ada bola masuk ke sana dan diketahui Mbah Rojek, kemungkinan bola dikembalikan nyaris nihil.
Dulindul mau menangis, itu bola kesayangannya. Untuk mendapatkannya, ia harus memasrahkan diri di hadapan mantri khitan. Usai resmi disunat dan menjalani hari mengenakan sarung, bapaknya membawakan bola itu dari kota. Bola berbahan karet, permukaannya mengilap, pola segilima terhias kombinasi warna putih, hitam, dan kuning yang cantik. Anak-anak kampung menyebut bola itu sebagai bola betulan, sebab bola seperti itu yang kerap mereka lihat di televisi saat warga berkumpul di warung kopi Abah Gonjreng, menyaksikan pertandingan sepak bola di televisi tabung dengan tangkapan siaran paling jernih seantero kampung.
Biasanya Dulindul dan kawannya bermain menggunakan bola plastik yang tiap ditendang arahnya sembarang berbelok, terlebih terpaan angin pesisir memang tak ramah bagi bola macam itu. Bola yang dibeli secara patungan itu juga cepat rusak, biasanya berakhir pecah. Pernah juga berlubang, mereka coba mengisinya dengan pasir, namun bola siluman itu justru menyakiti jari kaki mereka. Jika tak ada uang beli bola plastik, mereka berkreasi mengumpulkan kertas-kertas bekas dari berbagai tempat, seperti tempat sampah sekolah, kantor desa, atau meminta orang dewasa. Limbah kertas itu dibentuk bulat, diisi sabut kelapa dan diikat dengan tali. Hanya saja, bola itu berujung menjadi hamburan sampah berserakan saat mereka sudah bersemangat menendang.
Kesukaan Dulindul dan kawannya bermain bola bagai telah menjadi candu, pokoknya setiap hari harus main. Namun apalah sepak bola tanpa bola. Ludesnya bola mereka selain karena rusak, kadang juga musnah ketika sudah masuk ke area rumah Mbah Rojek. Mereka pernah melihat sendiri bagaimana bola mereka yang terdampar di sana dilumat api bersama daun-daun kering dan sampah oleh Mbah Rojek.
Kini Dulindul memantapkan hati, mencoba segala kemungkinan sekecil apapun demi bola kesayangannya itu. Ada gerogot penyesalan karena tidak menolak permintaan teman-temannya untuk mengeluarkan bola itu dari kamarnya. Dulindul rela dikatai pelit karena jarang mau memakai bolanya, sebab risiko masuk ke pekarangan Mbah Rojek amatlah tinggi. Lapangan bermain mereka adalah satu-satunya lapangan paling mumpuni di kampung. Permukaannya paling datar, areanya paling luas, tanahnya keras, rumput-rumput pendeknya lebih banyak dari tanah kosong sekitarnya yang didominasi pasir, letaknya pun di pusat kampung. Lapangan kesayangan warga yang juga sering dipakai untuk kegiatan ramai seperti lomba tujuh belasan, dangdutan, bahkan menyembelih kurban. Batas lapangan ini adalah pagar tembok putih yang cukup tinggi. Tak ada lagi orang yang rumahnya bertembok pagar sekelas itu di kampung selain Mbah Rojek.
Tembok pagar itu ditengahi oleh sepasang pintu besi bercelah-celah yang berfungsi sebagai gerbang masuk ke pekarangan. Di situlah Dulindul dengan langkah pelan dan sedikit gemetar mendekat dan mengintip mencari bolanya. Telapak tangannya perlahan menyentuh pintu pagar besi bercelah itu dan pintu itu bergerak. Rupanya tak terkunci. Kemudian bunyi engsel pagar berderit seketika membuat Dulindul terkejut bukan main. Ia langsung terbirit-birit meninggalkan tempat itu dan kembali ke lapangan bermain.
Teman-temannya masih di sana, duduk berkumpul di bawah pohon agak rindang dan memainkan apa saja di sekitar mereka: pasir, kerikil, bahkan sekadar menggambari pasir memakai ranting. Anak-anak yang mati gaya karena kehilangan bola itu melihat Dulindul datang terangah-engah. Mereka tahu Dulindul nekat mengintip ke area rumah Mbak Rojek dan tidak ada satupun yang berani ikut-ikutan. Ada sedikit rasa lega mereka melihat Dulindul kembali dalam keadaan hidup dan baik-baik saja.
“Ada bolanya, Dul?” Mokles mewakili pertanyaan di benak masing-masing kawannya.
Dulindul menggeleng, masih mengatur napasnya dan belum mampu berbicara.
“Sudahlah, Dul, tak mungkin bolanya bisa diambil,” sahut lesu Ojik, bocah yang sedari tadi menggambari pasir dengan ranting tanpa bentuk jelas.
“Betul, ikhlaskan saja. Daripada kau yang kenapa-kenapa!” Yang lain mulai ikut bersuara.
Kepasrahan teman-temannya justru buat Dulindul tersinggung. Anak-anak ini sebenarnya kompak sebab sebagian besar seumuran. Namun urusan dengan Mbah Rojek lain cerita. Kekompakan mereka terbentur perkara yang tak mungkin bisa diatasi dengan sekadar kompak. Dulindul memaklumi dan dia tidak ingin berlama-lama tersinggung. Anggaplah kawan-kawannya sudah tak mungkin membantunya, maka tanpa pamit dan bicara Dulindul kembali menantang kengerian itu demi bolanya.
***
Rumah Mbah Rojek terbilang paling mewah di kampung. Dari kejauhan sudah terlihat pucuk atap rumahnya yang memakai genteng keramik warna kecokelatan yang mengilap, kadang berkilau di siang hari. Begitu mencolok dibanding rumah warga lain yang didominasi atap seng ataupun genteng tanah liat yang warnanya pudar dan berjamur. Rumah tak bertingkat dengan seluruh tembok berwarna putih gading, berlantai keramik, dan perabotan didominasi kayu jati yang kokoh, beberapa furniturnya berbahan ulin didatangkan dari Kalimantan. Pekarangannya jangan ditanya, halamannya mungkin muat untuk diparkir beberapa truk pengangkut pasir. Halaman itu ditumbuhi pohon kelapa, rambutan, bunga-bunga, dan didominasi semak-semak yang dipangkas rapi serupa rambut model cepak.
Sekarang Dulindul sudah berada di antara semak itu. Sejak ia melihat pintu pagar yang tak sengaja didorongnya tadi masih dalam posisi sama, ia yakin rumah Mbah Rojek benar-benar keadaan sepi dan segenap keberaniannya ia pertaruhkan untuk pelan-pelan masuk ke area menyeramkan itu.
Dengan langkah mungil-mungil dan jinjitan sangat hati-hati, Dulindul menyisir pandangannya ke seluruh halaman. Butir keringat muncul di dahinya sepelan langkahnya, debar-debar jantungnya yang begitu kencang sedikit membuat Dulindul khawatir seolah debarnya akan terdengar orang lain. Usai sekian langkah yang terasa panjang, mata Dulindul berbinar melihat bulatan yang begitu dikenalnya. Bola kesayangannya tergeletak tepat di depan teras utama berkeramik rumah itu. Teras yang lengkap dengan meja kayu bundar dikelilingi lima kursi kayu berlengan berwarna senada. Tempat itu biasa digunakan Mbah Rojek menerima tamu bapak-bapak di kampung sekaligus tempat favorit Mbah Rojek duduk-duduk bersantai bersama istrinya—bahkan hingga seharian. Kebiasaan Mbah Rojek itu umum diketahui warga kampung.
Bola yang masih di sana dalam keadaan utuh adalah kabar baik, kabar terburuk tentunya adalah lokasinya berada seperti di pintu kandang singa. Dulindul makin berdebar, namun melihat bolanya hanya berjarak sepelemparan sandal saja dari semak tempatnya bersembunyi semakin menaikkan rasa optimis membawa pulang kembali bolanya.
Sebuah rencana gesit tertayang di kepala Dulindul. Pada pengamatannya, semua pintu rumah bagian depan termasuk pintu utama yang tersambung langsung dengan teras, tertutup. Jendela-jendela kacanya terlihat gelap dari luar, tertutup gorden. Selanjutnya Dulindul akan berjinjit dengan langkah selebar mungkin, meraih bola, lantas berlari sekencang melebihi apa yang ia mampu jika perlu.
Dimulailah langkah pertamanya, diikuti langkah kedua, begitu lebar hingga ia mulai merasa muncul rasa berat di paha dan betisnya, namun langkah terus berlanjut hingga kedua tangannya berhasil memungut bola itu. Tanpa berpikir lagi kakinya langsung melompat sebagai langkah pertama pelariannya dari pekarangan dengan hawa teror yang tinggi ini. Namun baru saja berbalik, sosok besar tahu-tahu sudah di belakangnya, menyetop total langkahnya dan refleks mendongak. Tampaklah wajah Mbah Rojek menatapnya tajam, tangan kanannya membawa sebilah bambu kecil nan tipis.
Dulindul jatuh terduduk, seluruh tulang-tulangnya seakan rontok berbarengan.
***
Jauh sebelum Dulindul lahir, Mbah Rojek memutuskan pensiun sebagai nahkoda kapal penyeberangan antarpulau dan memilih menikmati masa purna di kampung halamannya ini bersama istri dan putrinya. Mbah Rojek hendak menebus panjang waktu yang dilalui tanpa bersama keluarga kecilnya itu. Ia bahkan merasa banyak melewatkan saat tumbuh kembang Lela—anak gadis yang akan selamanya jadi gadis kecil bagi Mbah Rojek—
yang tahu-tahu sudah dewasa dan seorang lelaki telah menghadap Mbah Rojek dengan berani untuk meminang putrinya itu. Itulah momen Mbah Rojek tak kuasa menahan tangis haru. Ia lebih banyak menghidu wangi laut daripada wangi rambut putrinya sendiri karena begitu jarang pulang.
Untungnya suami Lela adalah lelaki yang sejatinya tepat. Hal yang melegakan Mbah Rojek. Terlebih saat Genta, cucu pertama Mbah Rojek lahir. Mbah Rojek bagai menjumpai cinta baru. Mbah Rojek bukan orang yang begitu menyukai anak kecil, ia tak begitu tertarik pada gemas anak-anak. Bahkan kadang baginya anak kecil adalah makhluk berisik dan tukang berantakan. Apalagi jika ada anak terlihat gelagat bandelnya, Mbah Rojek menjelma monster tua galak. Namun, pada Genta, ia menjadi sosok malaikat lembut penuh kasih sayang.
Genta bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Hanya dengan mendengar itu, Mbah Rojek tanpa ragu memberikan hadiah-hadiah berbau sepak bola seperti sepatu, kaus, bahkan bermacam-macam bola dibelikannya saat mengunjungi cucu tersayangnya itu di kota tempat Genta tinggal bersama orang tuanya. Hati Mbah Rojek seketika remuk mendapat kabar bahwa Genta harus dioperasi karena kecelakaan saat bermain—tapi bukan sepak bola—dan pen harus tertanam di kakinya yang patah. Jelas cita-cita Genta yang sudah mendapat dukungan finansial penuh dari Mbah Rojek untuk dimasukkan ke sekolah sepak bola terbaik di kota haruslah runtuh. Genta sering menangis kala melihat anak-anak lain bermain sepak bola. Konon, cerita barusanlah yang menjadi alasan Mbah Rojek tak suka ada bola masuk ke pekarangannya, ingin membersihkan rumahnya dari rasa trauma dan kecewa cucunya yang sewaktu-waktu mengunjunginya di kampung.
Orang-orang dewasa di kampung tidak mau terlalu mengurusi masalah Mbah Rojek dan bola yang nyasar ke pekarangannya, toh korban galaknya Mbah Rojek adalah anak-anak. Mereka tidak mau membuat masalah dengan Mbah Rojek. Apapun hal buruk darinya, Mbah Rojek tetaplah tokoh dermawan. Warga kampung yang sebagian besar nelayan sering mendapat pinjaman lunak saat musim dan cuaca sedang tak memungkinkan mereka melaut. Cukup sampaikan alasan logis meminjam uang, Mbah Rojek dengan murah hati meminjamkan kemudian menagihnya jika ingat saja.
Kali ini satu bola berikut pemiliknya tengah duduk lemas di pekarangan Mbah Rojek. Dulindul gemetar dan bening air mengambang di ekor mata tanpa mampu dibendung.
“Ngapain kamu di sini?” Sebuah pertanyaan yang lebih mirip bentakan itu keluar dari mulut Mbah Rojek.
Dulindul seperti akan mendapat trauma yang bakal diingatnya seumur hidup hari itu. Entah atas dorongan apa, Dulindul langsung melompat memeluk kaki Mbah Rojek dan meraung-raung minta maaf.
“Mbaahh… ampuunn… jangan bakar bolanya Dul. Dul janji tidak melakukannya lagi. Dul mau pulang sama bolanya Dul.”
Raut wajah Mbah Rojek tak berubah sama sekali, tatapannya tetap dingin.
“Tidak boleh ada bola masuk ke sini! Mau, kamu dihukum?” Gelegar suara Mbah Rojek beriring teracungnya bilah bambu di tangannya.
“Di…hukum?”
Dulindul makin meraung, namun kepalanya seperti mengangguk pelan. Menandai pasrahnya sudah di titik puncak.
“Tapi jangan ambil bola Dul…” Dulindul sesenggukan, menanti bagaimana ia diadili setelah ini.
***
Petang mulai menggulirkan matahari ke wadah terbenamnya, suasana kampung begitu syahdu dengan pendar senja yang menyeruak melewati celah daun-daun kelapa. Di lapangan, anak-anak mendadak menoleh ke arah yang sama. Semuanya membelalak dan ternganga. Tak lama mata mereka berbinar dengan ekspresi bahagia kemudian bersorak, berlarian serempak menghampiri Dulindul yang berdiri di seberang lapangan.
Dulindul disambut bak pahlawan, di antara lengan dan pinggangnya terapit bola yang baru saja selamat dari maut. Mata Dulindul masih sembab, namun bibirnya tersenyum puas sambil sedikit-sedikit memegang bokong dan pahanya yang masih memerah. Bekas bilah bambu tercetak di sana. [T]
BACA cerpen lain di tatkala.co