6 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Haulu dan Kisah Pilu Para Perajin Perahu Kayu dari Pulau Poteran

JaswantobyJaswanto
December 27, 2024
inPersona
Haulu dan Kisah Pilu Para Perajin Perahu Kayu dari Pulau Poteran

Haulu, perajin perahu kayu dari Pulau Poteran, Madura, saat istirahat mengerjakan kapal slerek di Pengambengan | Foto: tatkala.co/Jaswanto

SEPERTI Nuh, Haulu memotong balok-balok mahoni, membelah dan menjadikannya papan tebal yang banyak. Lalu menyusunnya satu per satu dengan ketekunan dan kesabaran yang terukur. Kemudian, sebentar saja, papan-papan itu membentuk dinding kapal yang kokoh. Ya, pria paruh baya dengan kretek yang tak kunjung padam itu sedang membuat sebuah kapal slerek yang legendaris.

Di pinggir Pantai Ketapang Muara, di wilayah Jembrana, Bali, di ujung setapak di tengah kebun terbengkalai yang penuh lamtoro dan katang-katang, ia dan dua rekannya sibuk menyusun dan melengkungkan papan, membuat pasak, menyerut, dan sesekali memotong kayu menggunakan gergaji mesin. Suara mesin pemotong itu kejar-kejaran dengan debur ombak Samudera Hindia yang ribut.

Pagi itu terik sekali. Dan nyaris tak ada angin berembus. Haulu kini memasah pelipis dinding kapal. Dan di sebelah timur tempatnya memasah, beberapa papan sedang dipanggang dan diberi batu pemberat untuk dilengkungkan. “Itu khusus untuk dinding,” terang Haulu, lamat-lamat, di tengah bising suara alat serut listrik.

Haulu sedang membuat kapal kayu untuk seorang tajir yang namanya beken di Pengambengan, Negara, Jembrana, Bali—kawasan yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup kepada lautan Samudra Hindia. Lemuru (Sardinella longiceps)—ikan bersirip kipas dalam genus Sardinella yang banyak ditemukan di timur Samudera Hindia dan di barat Samudera Pasifik itu—adalah emas bagi penduduk Pengambengan. Mereka “menambangnya” dari perut laut yang dalam sampai jauh ke Jimbaran dan sekitarnya.

“Kira-kira kami sudah mengerjakannya selama satu setengah bulan,” ujar Haulu, atau akrab dipanggil Ulu, dengan logat Madura-nya yang khas, sesaat setelah ia menyalakan sebatang kretek pabrikan. Mereknya cukup terkenal.

Dua bulan ke depan, kata Ulu lagi, kapal slerek pesanan Haji Ali—juragan kapal di Pengambengan—ini bakal rampung. Dengan dimensi panjang 22 meter, lebar 5 meter, dan tinggi 2 meter, perahu setengah jadi—yang dikerjakan satu setengah bulan sebelumnya—itu tinggal finishing di beberapa bagian.

Saduki sedang mengerjakan kapal slerek di Pengambengan | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Kali ini, Ulu dibantu dua karibnya, Ersan dan Saduki. Mereka bertiga seumuran, 50 tahunan atau lebih-kurang sedikit barangkali, dan berasal dari pulau yang sama, Talango. Hanya saja, Saduki lahir di desa yang berbeda dari Ulu dan Ersan. Saduki lahir di Sang; sedangkan Ulu dan Ersan tumbuh dan berkembang di Kombang. Namun, sekali lagi, kedua desa tersebut sama-sama terletak di Kecamatan Talango, Pulau Poteran, Sumenep, Jawa Timur.

Ulu, Saduki, dan Ersan, sama-sama belajar membuat perahu sejak kecil, turun-temurun. Sejak dulu, tanah di mana mereka lahir memang terkenal sebagai lumbung perajin perahu. Maka wajar jika tangan-tangan mereka begitu terampil dan cekatan. Mereka tidak mengenal gambar teknis atau sekadar sketsa sebagai panduan karena semua dibuat berdasarkan ingatan akan ajaran dari orang tua.

Papan kayu mahoni yang tebal, seperti ranting kecil di hadapan mereka. Enak saja mereka membuat lengkungan yang nyaris presisi. “Semua ada ukurannya, rumusnya, dan hitungannya sendiri. Hanya tukang yang tahu itu semua,” terang Saduki sambil membuat pasak—yang banyak.

Benar. Kapal slerek memang minim besi. Paku besi pun jumlahnya tidak lebih banyak daripada pasak kayu. Dan bukti tertulis tertua yang berhubungan dengan penggunaan pasak kayu/bambu dalam pembuatan perahu/kapal di Nusantara berasal dari sumber Portugis awal abad ke-16 Masehi. Dalam sumber itu disebutkan bahwa perahu-perahu niaga orang Melayu dan Jawa yang disebut Jung (berkapasitas lebih dari 500 ton) dibuat tanpa sepotong besipun di dalamnya. Untuk menyambung papan maupun gading-gading hanya digunakan pasak kayu. Cara pembuatan perahu dengan teknik tersebut masih tetap ditemukan di Nusantara, seperti yang terlihat pada perahu-perahu niaga dari Sulawesi dan Madura yang kapasitasnya lebih dari 250 ton.

Pulau Poteran—yang kecil mengambang di Selat Madura dan berbentuk seperti kepala ayam tanpa paruh itu—memang terkenal dengan perajin perahunya. “Khususnya dari Desa Kombang,” ucap Ersan, menegaskan.

Ersan dan Saduki sedang melengkungkan papan mahoni yang akan digunakan sebagai dinding slerek | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Para artigiano perahu-kapal Poteran memiliki garapan yang tak hanya indah dari segi bentuk, pula dipercaya memiliki semacam kemagisan. Perahu atau kapal yang lahir dari tangan mereka, dipercaya dapat membawa keberkahan tersendiri.

“Dari kakek saya mendapat doa khusus sebelum atau saat membuat kapal,” terang Ulu saat istirahat. Ia belajar membuat perahu-kapal dari sang kakek, saat belum lulus SD. Dan sang kakek mewariskan mantra-mantra turun-temurun supaya perahu atau kapal buatannya dapat berlayar sebagaimana mestinya dan membawa keberkahan kepada si pemilik. “Tapi doanya rahasia,” sambungnya sembari tertawa.

Selain di Kombang di Pulau Poteran, Pasongsongan dan sekitarnya juga dikenal sebagai salah satu tempat pembuatan perahu di kawasan pesisir utara Madura. Sedikit ke timur, di daerah Ambunten, juga terdapat lokasi pembuatan perahu tradisional. Titik lain yang dikenal sebagai tempat pembuatan perahu ada di Desa Slopeng, Kecamatan Dasuk, dan juga masih di wilayah Sumenep.

Dunia maritim telah berkibar di kawasan tersebut sejak lama, sebagaimana tergambar dalam bait lagu “Tanduk Majeng” ciptaan R Amirudin Tjitraprawira tahun 1940-an. “… Ngapote wak lajereh etangale/reng majeng lantona lah pade mole/…/Duh monajeling odikna oreng majengan/Aabental ombek sapok angen salanjenggah”, (“…Layar putihnya mulai kelihatan/nelayan tentu sudah pada pulang/…/duh kalau dilihat hidupnya pencari ikan/ berbantal ombak berselimutkan angin selamanya”).

Pasak yang digunakan dalam pembuatan kapal slerek | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Di Madura terdapat beragam perahu-kapal, dari yang ukurannya besar, hingga yang kecil berupa sampan. Sulaiman BA dalam bukunya Perahu Madura menyebutkan, setidaknya ada 36 jenis perahu di Madura, mulai dari jukung, sampan, hingga perahu. Jukung masih dibedakan lagi dalam beberapa varian, mulai jukung pajangan, gambringan, hingga tengkongan. Sementara sampan ada belasan jenis, di antaranya sampan patetedan, pote, pakesan, dan tambangan. Adapun beberapa perahu, di antaranya padduwang, janggolan, dan lete’ gole’an.

Dan slerek, kapal kayu yang sering digunakan nelayan Pengambengan dan Muncar di Banyuwangi. Di Sumenep, berbahan kayu kutat, camplung, dan mahoni, dilengkapi empat buah mesin, kapal nelayan dengan lambung yang besar itu dibanderol mendekati harga satu unit bus double decker baru, yakni nyaris Rp 1 setengah miliar. Harganya jauh di atas perahu biasa yang hanya puluhan hingga ratusan juta.

“Tapi kalau buat langsung di sini [Pengambengan], untuk tukangnya ini borongan. Kami borong antara 80-125 juta,” Ketut Sumajaya, pengurus kapal Bintang Grup milik Haji Ali Nuri, berkata.

Bintang Grup sering menggunakan jasa Ulu, dkk. Bukan saja karena orang Pengambengan sendiri nyaris tak ada yang bisa membuat kapal slerek (mungkin bisa membuat bentuknya, tapi belum tentu dapat berlayar), pula garapan orang seberang ini dinilai istimewa.

“Kami sering meminta Pak Ulu untuk membuat kapal,” terang Sumajaya sembari melemparkan senyum kepada Ulu yang masih sibuk menyerut dinding slerek menggunakan pasah elektrik. “Garapannya bagus,” sambung pria paruh baya berkacamata itu saat ditanya alasannya meminta Ulu, dkk, membuat kapal-kapal Bintang Grup.

Dengan menyeberangi Selat Madura ke Pelabuhan Kalianget, para seniman perahu-kapal ini mencapai wilayah yang menjorok di pinggiran pesisir Samudra Hindia, Bali bagian barat itu, setelah sebelumnya menempuh perjalanan nyaris 12 jam melewati jalur Pantura. “Mereka sengaja kami datangkan ke sini [Pengambengan], karena kalau membeli kapal langsung dari sana [Sumenep], ongkosnya lebih mahal,” ujar Sumajaya.

Tahun ini Bintang Grup membuat tiga slerek sekaligus. Satu sudah berlayar, satu lagi baru kelihatan bentuknya, dan satu lagi lantainya saja belum tampak, masih sekadar dasaran. Ketiga kapal tersebut dikerjakan pihak yang berbeda, meski semua artigianonya berasal dari Sumenep. Satu kapal yang sudah kelihatan bentuknya, dikerjakan kelompok Haulu. Ia, bersama Ersan dan Saduki, sudah malang-melintang membuat perahu-kapal, khususnya di Jawa Timur dan Bali.

Sebagai Nadi Kehidupan

Meski tampak besar uang yang mereka dapat dalam sekali borongan membuat sebuah slerek, tapi sebenarnya tidak demikian. Katakanlah 125 juta adalah nominal borongan yang diberikan pemilik kapal kepada tukang selama pengerjaan kapal kurang lebih tiga bulanan, setelah kepotong konsumsi, dll, menurut Ulu, mereka hanya mendapat uang 40 ribu per hari. “Kalah sama kuli bangunan,” Ulu berkata sambil tertawa. Padahal, sambungnya, pembuat kapal pekerjaannya lebih berat daripada itu. “Ini kayu berat semua,” lanjutnya.

Jika sedang sepi garapan perahu-kapal (pesanan perahu-kapal kayu sudah tidak banyak), di kampung, Ulu hanya bisa mengais rongsokan (sampah) di pinggir-pinggir pantai. Ia menjadi pemulung, atau kadang ikut tukang bangunan menjadi kuli proyek. Hidup di pulau kecil macam Poteran memang tidak mudah. Tanah yang kering, tandus, dan sempit membuat semuanya tampak sulit.

Dan apa yang dialami Ulu juga tak jauh berbeda dengan Saduki. Di Banyuwangi, tempat tinggalnya sekarang, kalau tidak ada pesanan membuat perahu-kapal, Saduki juga bekerja menjadi kuli bangunan. Barangkali Ersan terlihat lebih beruntung daripada kedua karibnya itu.

Pantai Ketapang Muara, Pengambengan, Jembrana, Bali, tempat pembuatan kapal slerek | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Di Situbondo, tempat Ersan sekarang tinggal, ia mempunyai perahu. Perahu itu cukup menghasilkan. “Meskipun saya tidak bisa melaut. Saya gampang mabuk,” katanya sembari terkekeh. Perahu Ersan dijalankan orang lain. Ia cukup menunggu pembagian hasilnya saja. Meski demikian, tak jarang hasilnya hanya bisa memenuhi hidup beberapa minggu saja.

Pada kisaran 1982, Ersan dan Saduki sudah bekerja di Bali. Saduki pernah menjadi nelayan di Jimbaran dan Pengambengan. Sedangkan Ersan, dari dulu memilih bekerja di darat—karena memang tidak bisa melaut. Sedangkan Ulu mulai bekerja di Bali sejak 2001. Saat itu ia mendapat pesanan perahu-kapal di Pengambengan. Merantau memang identik dengan Madura, selain Minang, tentu saja.

Tanah pertanian yang kurang subur, sumber makanan yang sedikit, kepadatan penduduk yang tinggi, dan ongkos berlayar yang murah, menjadi beberapa faktor kenapa orang Madura merantau. Dan itu sudah terjadi sejak lama sekali. Pada abad ke-15, orang Madura migrasi ke Melaka, sebuah kerajaan Islam yang berdiri tahun 1400-an dan kini masuk wilayah Malaysia. Pada abad tersebut, perahu-perahu Madura telah berlayar ke Melaka.

“Hidup di Madura itu susah,” Ulu mengeluh. “Mau bertani ndak punya tanah, Dik. Kalaupun punya tanah, itu tanah tandus. Musim hujan baru bisa ditanami jagung,” sambungnya, dengan suara yang lebih pelan.

Beberapa tahun belakangan, Ulu menderita kencing manis. Ia sering merasa lelah dan lemas, tidak seperti dulu. Oleh sebab itu, saat menggarap kapal slerek di Pengambengan, istrinya ikut serta, supaya dapat menjaga dan merawatnya. Sudah lama Ulu hanya makan nasi jagung. Tapi itu sudah biasa sejak kecil, katanya. Dan kalau boleh dikatakan, kecing manis ini begitu mengganggu hidupnya.

“Tapi saya tidak pernah mendapat bantuan [bansos] pemerintah,” terang Ulu. “Malah orang-orang yang punya toko, punya perahu, dapat,” lanjutnya. Ini pengakuan klasik khas Dunia Ketiga.

Bagi Haulu, Saduki, dan Ersan, perahu-kapal kayu adalah nadi kehidupan. Meskipun dalam perkembangannya, perahu-kapal kayu di Madura juga menghadapi tantangan. Salah satunya akibat bahan baku untuk membuat perahu semakin langka dan harganya mahal. Selain jati, galangan perahu Madura lumrah memakai kayu nyamplong (Calophyllum inophylum) atau ulin (Eusideroxylon zwageri). Sedangkan untuk dindingnya biasa menggunakan kayu mahoni (Swietenia mahagoni).

Ulin atau kayu besi yang ada di Kalimantan jumlahnya makin sedikit dan kini masuk apendik II dan dilindungi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Artinya, tidak mudah untuk memanfaatkan kayu-kayu eksotis itu. Sementara mahoni statusnya hampir terancam punah. “Sulit nyari kayu. Nyampolong ini kami dapat dari Lombok, di Bali atau di Sumenep tidak ada,” terang Ulu.

Di Pulau Poteran maupun Pulau Madura jelas sudah tidak ada lagi hutan yang dapat menghasilkan kayu yang diperlukan. Oleh karena itu mereka harus mendapatkannya dari tempat lain yang cukup jauh jaraknya, misalnya dari Pulau Kangean yang pernah disebut sebagai salah satu pulau penghasil kayu jati yang baik kualitasnya. Kalaupun dapat, harga yang harus dibayar cukup tinggi. Tidak mengherankan bila kurangnya modal amat menghambat perolehan kayu itu, dan akibatnya banyak pesanan yang terpaksa tidak dilayani.

Kapal slerek setengah jadi buatan Haulu, Ersan, dan Saduki | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Menurut Guru Besar Departemen Teknik Perkapalan Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya Heri Supomo,  keluhan soal bahan baku memang sering dialami perajin perahu di Bangkalan dan daerah lainnya di Madura. Dan itu menyebabkan aktivitas pembuatan perahu dan kapal tradisional menurun. Ini tidak saja terjadi di Madura, tetapi juga daerah lain di Jawa Timur dan Indonesia.

“Mulai 2010, kita lihat perkembangan kapal tradisional, tidak hanya di Jawa Timur, tetapi juga daerah lain di Indonesia mulai menurun kegiatannya, terutama untuk kapal-kapal rakyat. Penyebabnya karena sumber daya, material kayu semakin sulit dan mahal,” kata Heri, sebagaimana dikutip di Kompas.

Menurut Heri, sejauh ini belum ada kebijakan dari pemerintah untuk mengangkat galangan kapal rakyat. Yang ada hanya bantuan perahu nelayan beberapa tahun silam. Bantuan itupun bersifat top down, tidak sesuai dengan kearifan lokal. Perahu bantuan terbuat dari fiberglas, bukan kayu. Jadi, perajin perahu-kapal kayu tak dapat manfaatnya.

Kelangkaan bahan baku dan persaingan perahu-kapal modern, membuat profesi Ulu, dkk, menjadi “terancam” punah. Dan itu mungkin akan lebih menyulitkan hidup mereka. Padahal, sekali lagi, itu merupakan urat nadi hidup mereka.[T]

Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole

Mengintip Pembuatan Slerek Pengambengan, Kapal Kayu Warisan Maritim Nusantara
Kisah dari Geladak Perahu Nelayan Pengambengan di Bali Barat
Ikan Bakar Komel Pengambengan: Kelezatan di Balik Kesederhanaan
“Mejunjungan”, Tradisi Unik Guyup Bugis Melayu Pesisir Pengambengan yang Masih Tersisa
Tags: Desa Pengambenganjembranakapal nelayanMaduraslerek
Previous Post

Kalender Adat dan ”Kolenjer” — [Bagian 1]: Panduan Kehidupan Etnis Baduy

Next Post

Unggah-Ungguh Van Java

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Unggah-Ungguh Van Java

Unggah-Ungguh Van Java

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025

IA bukan Abraham Lincoln, tapi Abraham dari Lionbrew. Bedanya, yang ini tak memberi pidato, tapi sloki bir. Dan panggungnya bukan...

by Dede Putra Wiguna
June 6, 2025
Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali
Khas

Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali

BUKU Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali karya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., memperkaya perspektif kajian sastra,...

by tatkala
June 5, 2025
Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas
Khas

Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

“Kami tahu, tak ada kata maaf yang bisa menghapus kesalahan kami, tak ada air mata yang bisa membasuh keburukan kami,...

by Komang Sujana
June 5, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co