9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Farm Brew & Co, Menikmati Kopi di Tanah Legendanya

I Wayan ArtikabyI Wayan Artika
December 20, 2024
inEsai
Farm Brew & Co, Menikmati Kopi di Tanah Legendanya

Farm Brew & Co, Menikmati Kopi di Tanah Legendanya

Kopi Jawa dan Kopi Bali: Dimensi Sejarah, Kultural, dan Ekonomi

Sebagai kecamatan, wilayah Pupuan di Tabanan, subur karena Gunung Batukaru menyediakan humus dan hujan akan melarutkannya ke hulu sungai-sungai yang mengalir di dataran landai menuju Samudera Hindia di Selatan. Gunung Batukaru sendiri adalah dinding di sebelah barat agak ke selatan dari Danau Tamblingan di wilayah Kabupaten Buleleng.

Potensi ini kemudian pada awalnya menyumbang tradisi subak. Semenjak lampau hingga sekarang raja-raja Bali yang membangun puri di Tabanan mengayomi wilayah ini. Karena subur maka migrasi-migrasi lokal kuno pun terjadi. Kelompok-kelompok ksatria dari Bali dataran di sekitar Tabanan, Kaba Kaba, Samsam, pergi bermukim ke wilayah-wilayah yang luas di Kecamatan Pupuan. Di kecamatan ini pada mulanya dibangun persawahan untuk menopang kehidupan dan berbagai upacara adat.

Desa Pupuan di mana adalah persimpangan tiga kabupaten yaitu Buleleng, Negara, dan Tabanan, dipilih menjadi ibu kota kecamatan. Pemukiman yang multikultur, orang-orang Cina datang di awal abad pertama Masehi, demikian pula halnya orang-orang muslim dari Madura dan Jawa bermukim di sekitar terminal atau stanplat Pupuan.

Perkebunan kopi dibawa oleh penjajah Belanda sejalan dengan popularitas komoditas ini di Pulau Bali. Sejak itu ada dua sumber kehidupan atau ekonomi masyarakat di kecamatan Pupuan yaitu pertanian padi dan perkebunan kopi. Masih tersedia lahan yang tidak bisa digunakan untuk subak. Di sinilah lahan bagi tanaman kopi.

Secara ekonomi pertanian, Kecamatan Pupuan sangat tangguh karena memiliki komoditas padi dan kopi (komoditas dunia). Kehadiran perkebunan kopi memberi kesejahteraan yang sangat berarti bagi masyarakat setempat. Perkebunan kopi juga menunjukkan strata ekonomi. Ada kelompok-kelompok masyarakat yang kaya, dengan perkebunan puluhan hektar dan mempekerjakan ratusan buruh. Pada musim panen perkebunan kopi Pupuan menyerap tenaga kerja musiman dari Gianyar, Klungkung, Karangasem, serta dari desa-desa di pinggiran Tabanan.

Perkebunan kopi adalah sebuah legenda ekonomi di kecamatan Pupuan. Masyarakat menjalani berbagai aktivitas hidup di tengah-tengah alam perkebunan. Siapapun di Pupuan tahu tentang kopi.  Di daerah ini ditanam dua jenis kopi dengan istilah lokalnya adalah kopi jawa (robusta) dan kopi bali (doriah godeg, arabika).

Kopi jawa adalah kopi yang pohonnya sangat besar dan tinggi menjulang, buahnya sedikit bulat dengan kulit yang lebih tebal.  Sementara kopi bali kopi yang lebih ramping, lembut (rantingnya lentur), buahnya lonjong besar dan kulitnya sangat tipis. Karena ranting kopi bali tidak sebanyak kopi jawa maka popularitas kopi bali berada di bawah kopi jawa.

Kopi jawa tumbuh terus-menerus sepanjang tahun dan termasuk tanaman berumur panjang.  Karena usianya yang sudah sangat tua mencapai hampir mendekati satu abad, pokok-pokok utama kopi ini sangat besar, mencapai diameter kurang lebih sekitar 80 cm. Para petani biasanya harus bekerja keras untuk memetik kopi dengan cara memanjat dan melenturkan ranting-ranting yang sangat tinggi.  

Karena rimbunnya tanaman kopi ini, rantingnya yang sangat tinggi dan berdaun lebat, maka memasuki perkebunan kopi seperti masuk ke dalam ruang yang gelap. Sinar matahi tidak sampai menembus. Perkebunan kopi tradisional yang sedemikin itu (kini sudah tidak ada lagi di Kecamatan Pupuan) dinaungi oleh tanaman penau atau inang dari pohon dapdap berduri atau dapdap oong. Hasil sampingan dari kebun kopi adalah kayu bakar yang sangat tinggi mutunya. Kayu bakar diperoleh dari ranting-ranting atau dahan pohon kopi tua yang sudah tidak produktif.

Kopi bubuk dalam kemasan di Pupuan | Foto: Artika

Komoditas kopi yang dihasilkan oleh perkebunan kopi di kecamatan Pupuan telah menjadi sumber pendapatan ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat. Di sini kopi adalah semacam alat pembayaran dan investasi.

Ketika uang belum banyak dikenal maka kopi adalah alat tukar. Kopi bisa dipakai untuk berbelanja beras, ditukar dengan garam, digunakan untuk membeli sawah atau kebun. Kopi juga sebagai alat simpan-pinjam. Ekonomi kopi mengantarkan transformasi sosial di kecamatan Pupuan. Anak-anak petani era 70-an dan 80-an banyak yang bersekolah/kuliah menengah di Tabanan atau Denpasar bahkan di Yogjakarta (Jawa Tengah) atau Malang (Jawa Timur)  dengan mengandalkan hasil perkebunan kopi. Mereka kinitelah menjadi dokter, arsitek, dan guru.

Tiada berlebihan menyebut itu sebagai sebuah legenda perkebunan kopi. Komoditas ini pun melahirkan tradisi minum kopi. Sayang sekali kecamatan ini tidak memiliki tradisi-tradisi minum kopi di warung-warung,  seperti di Gayo, Lampung, Flores dan lain sebagainya. Minum kopi dilakukan di rumah-rumah. Bubuk kopi siap seduh diolah sendiri dari kopi yang masih baru dipetik hingga diolah menjadi biji yang siap di-sangrai atau di-roasting dan pada akhirnya siap seduh. Kopi sebagai minuman sehari-hari sedemikian populer. Minum kopi adalah rutinitas pagi untuk mengusir dingin sambil menikmati hangat di depan paon atau tungku (Novel iIncest, I Wayan Artika, 2008).

Sehabis makan adalah waktu yang tepat minum kopi. Pada saat rehat sejenak dari kerja, minum kopi lagi. Demikian seterusnya. Suguhan satu-satunya bagi tamu adalah segelas kopi panas. Kalau dihitung, setiap orang di kecamatan Pupuan minum kopi kurang lebih 5-8 kali sehari. Minum kopi bagi siapapun, orang tua, perempuan, dan bahkan anak-anak.

Sebagai petani kopi masyarakat Pupuan bekerja di kebun dari menanam, memelihara dan  menjaga hingga panen. Setelah itu mereka melepas biji-biji kopi terbaiknya kepada tengkulak. Mereka tidak tahu untuk apa kopi yang mereka hasilkan. Mereka tidak bisa menghirup aroma kopi di kedai-kedai di ruang tunggu bandara internasional, di mall-mall mewah, dan hotel-hotel. Mereka tentu tidak tahu bagaimana kopi dinikmati dan dipuja di kedai-kedai itu atau di coffee shop elite di mana minum kopi adalah sebuah gaya hidup modern yang berkelas. Sebagai petani kopi, tugas mereka sampaipada menghasilkan biji kopi terbaik sehingga laku dijual di pasar.

Marginalisasi dan Revolusi Hijau

Dalam sejarahnya yang panjang kopi Pupuan memang tidak luput dari marginalisasi walaupun sudah jelas kopi memberikan dukungan ekonomi yang tidak bisa diragukan lagi. Ketika komoditas cengkeh muncul orang-orang di Pupuan pun mulai mengurangi (atau bahkan menebang) tanaman kopi dengan menyelingi cengkeh. Demikian pula halnya ketika vanili menjadi primadona sekitar tahun 80-an.  Untuk kedua kalinya tanaman kopi harus berbagi lahan dengan tanaman vanili atau cengkeh. Vanili memang tidak bertahan lama.

Cengkeh tumbuh terlalu tinggi, menyulitkan saat dipanen, dan iklim yang sangat dingin ternyata tidak cocok. Vanili tidak bisa bertahan lama karena terserang hama busuk batang. Akhirnya lagi-lagi para petani kembali kepada legenda itu perkebunan kopi (sebutan tradisionalnya, I Yayu Congkeh). Kalau vanili masih lebih toleran terhadap lahan karena bisa ditanam dengan sistem tumpang sari dan kopi masih tetap bisa dipertahankan. Tetapi, cengkeh adalah tanaman besar yang membutuhkan lahan banyak dan karena itu tanaman kopi harus dikorbankan.

Sudah menjadi cerita lama, beberapa kali tanaman kopi dirombak, diganti cengkeh atau diganti vanili lalu kembali lagi ke kopi. Singkat kata, singkat cerita, legenda kopi Pupuan tetap bertahan.

Sejak 25 atau 30 tahun yang lalu, revolusi hijau merambah pula perkebunan kopi.   Hal ini akan mengubah pola pikir petani. Mereka mulai tergiur untuk melipatgandakan produksi atau hasil panen. Mereka berharap setiap tahun hasil melimpah padahal secara organik tidak setiap tahun panen kopi itu meningkat. Ada irama yang ditentukan oleh daya tanaman serta iklim.

Kafe Farm Brew & Co | Foto: Artika

Sebagai tanaman yang bernilai ekonomi tinggi, kopi sudah sangat baik; tidak sekali berbunga, misalnya. Kopi di perkebunan berbunga setidaknya dua atau bisa pula tiga kali setahun. Ini semua untuk mengantisipasi jika benih-benih bakal buah kopi (biik) gagal pada periode berbunga pertama sekitar bulan Januari dan Februari karena busuk oleh sayong yang terlalu kejam atau terbakar oleh sengatan matahari. Maka ia akan berbunga lagi pada sekitar bulan Maret atau April. Lalu inilah harapan terakhir karena akan matang mulai bulan Agustus hingga September. Jika ini gagal maka dalam bulan-bulan yang mendesak kopi akan berbunga lagi menjelang Agustus tetapi ini sangat jarang terjadi.

Karena keinginan untuk melipatgandakan hasil kini kopi jawa Pupuan yang sekali tanam dan berkelanjutan, demikian pula halnya dengan kopi bali (doriah godeg), telah tamat riwayatnya.  Perkebunan kopi di Pupuan tidak lagi rimbun legam seperti 25 atau 30 tahun yang lalu. Pohon-pohon dapdap berduri yang tinggi tidak ada lagi karena digantikan oleh gamal atau kaliandra yang tumbuh tidak terkendali.

Pohon-pohon kopi yang menjulang tinggi dengan ranting-ranting serta pokok-pokok yang besar diganti dengan kopi top atau stek. Pohon kopi top tidak berumur panjang. Dari awal ditanam membutuhkan waktu empat tahun untuk panen pertama. Setelah itu akan mencapai masa puncak pada tahun ketujuh atau kedelapan. Setelah itu mati perlahan yang diawali dengan pertumbuhan daun keriting kekuning-kuningan. Maka bibit baru harus disiapkan untuk meremajakan kebun secara total.

Siklus di kebun kopi berulang. Perkebunan kopi tidak menghasilkan selama kurang lebih empat atau lima tahun sejak tanam. Selama periode itu itu petani kopi harus melakukan penyambungan dengan harapan hasilnya melimpah, dipilihlah mata sambung yang unggul, seperti varietas tugu sari. Cara bertani kopi seperti ini adalah baru tetapi ini dipilih bersama karena dianggap lebih produktif dan lebih menjanjikan.

Demikianlah walaupun didera oleh marginalisasi karena terdesak komoditas baru seperti vanili dan cengkeh di masa lalu, pohon-pohon kopi di perkebunan tetap abadi.  

Erupsi Gunung Agung, Buruh Musiman, Pesta Desa

Ketika Gunung Agung meletus (1963), perkebunan kopi di Pupuan pada awalnya menjadi tujuan pengungsian lalu mereka di sini bermukim, menjadi tenaga buruh perkebunan kopi. Sampai pada generai kedua atau ketiga, mereka sudah sukses.

Catatan lain tentang perkebunan kopi, kecamatan Pupuan dan beberapa desa dengan perkebunan kopi di bagian atas arah selatan Kecamatan Busungbiu (Buleleng), pernah menjadi tujuan bekerja orang-orang dari Gianyar, Tabanan, Klungkung, dam Karangasem. Mereka pergi ke kecamatan Pupuan ketika musim kopi. Hal ini bertahan hingga pariwisata maju pesat di Bali. Karena pariwisata Bali menjanjikan kehidupan baru, sejak itu tidak lagi kerja musiman di kebun-kebun kopi menjadi pilihan.

Cerita lain kopi Pupuan adalah masih berkaitan dengan ekonomi. Pada setiap musim kopi adalah masa yang menggembirakan tidak hanya bagi petani tetapi juga bagi pedagang-pedagang di kota Kecamatan Pupuan. Mereka yakin bahwa dagangannya akan laku berlipat banyak pada musim kopi. Di samping itu, musim kopi juga menjadi arena keramaian di setiap desa dengan menanggap drama gong, beberapa kali selama musim kopi. Secara bergiliran desa-desa di kecamatan Pupuan akan menyelenggarakan pertunjukan drama gong. Ini bukan hanya pertunjukan drama tradisional tetapi juga arena keramaian atau pasar malam. Di sinilah orang-orang Pupuan membelanjakan uangnya.

Ketika musim kopi gagal atau harga kopi merosot tajam, tidak hanya para petani kopi yang sedih. Para pedagang Jawa, Cina, dan Madura di kecamatan Pupuan yang membangun toko-toko mereka di stanplat juga bersedih.

Farm Brew & Co Menawar Ironi

Setelah biji-biji kopi itu beralih dari tangan petani ke pasar lewat tengkulak atau toke (tauke) maka kopi akan masuk ke sentra-sentra pengolahan. Salah satunya adalah ke kedai kopi. Soal kedai, industri menikmati seduhan kopi, Pupuan adalah sebuah ironi. Di sini tidak ada kedai-kedai kopi modern padahal kecamatan ini menjadi lintasan yang sangat ramai.

Tentu menikmati kopi di kebunnya adalah sensasional, penuh makna, dan kaya cerita.  Namun rupanya hal itu sedikit tertawar dengan berdirinya Farm Brew & Co pada tahun 2022. Konsepnya sangat memanjakan para penikmat dan pecinta kopi, ”fresh from the farm”. Kafe ini terletak di tepi jalan jurusan Antosari Pupuan, salah satu jalan provinsi yang menghubungkan Bali selatan dan Bali utara, tepatnya di depan Vihara Dharma Giri. Bean yang disajikan adalah arabika Pupuan dari perkebunan dan di-roasting dengan teknologi pengolahan kopi berstandar internasional di kaki Gunung Batukaru. Jadi, ”fresh from the farm” bukan omong kosong.

Harga untuk berbagai jenis racikan kopi yang ditawarkan terbilang sangat terjangkau. Hal ini tentu bukan tanpa pertimbangan. Tetapi pasti bukan karena soal ”harga” yang harus dibayar. Hal ini tampaknya keinginan Farm Brew & Co dalam rangka menghadiahkan tradisi minum kopi modern kepada masyarakat petani di Pupuan yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya bagi kopi.

Logo Farm Brew & Co | Foto: Artika

Farm Brew & Co seperti hendak menegaskan bahwa ketika minum kopi adalah sebuah gaya hidup modern yang mewah maka petani kopi dan keluarganya pun berhak mencicipinya. Karena itu, mereka tidak pernah putus hubungan dengan buah kerja kerasnya di perkebunan kopi, di bawah sayong atau terik Batukaru.   

Tentu karena masih baru, masyarakat lokal tampaknya belum melirik tempat ini. Mungkin dianggap tidak nyaman atau hal ini terjadi karena memang masyarakat di Pupuan tidak memiliki tradisi minum kopi di warung seperti di Gayo, di Medan, atau di Sumatera pada umumnya. Tradisi minum kopi (walaupun orang Pupuan minum kopi antara 5 sampai 8 kali sehari) terjadi di rumah-rumah. Kopi disiapkan dari biji dari roasting (di-nyahnyah) hingga ditumbuk (seperti di Wai Rebo) hingga nyeduh dilakukan sendiri. Siapapun di Pupuan bisa menyiapkan kopinya dengan sangat baik.

Walaupun tradisi menikmati kopi di kedai tidak ada di Pupuan namun apa salahnya menikmati kopi yang ditawarkan dengan kemurahan dan apreasiasi dari Farm Brew & Co, sebagai sebuah pengalaman baru. Ini perlu dicoba oleh masyarakat Pupuan sendiri untuk menikmati kopi di tanah leluhurnya, untuk menikmati kopi di tanah legendanya. [T]

BACAesai-esai lain dari penulisI WAYAN ARTIKA

Made Darsana, Kopi, Hutan, dan Ekonomi Berkelanjutan: Inspirasi dari Desa Wanagiri
Kopi dan Pemandangan Alam, Kopi dan Kelestarian Alam
Perempuan-Perempuan Pemetik Kopi di Desa Pegayaman
Wayan Sudiarta dan Kopi Rempah Jiro di Sela Dingin Jatiluwuh
Heritage Coffee Farm & Roastery: Usaha Melestarikan Sejarah dan Menumbuhkan Ekosistem Kopi di Bali Utara
Tags: Desa PupuanKecamatan Pupuankopikopi balikopi pupuantabanan
Previous Post

”Ngeceng”, Tradisi Lisan Humor Betawi — [Bagian 2]: Hubungan Kocak, Humor dan ”Ngeceng”

Next Post

“Fisik Bisa Dirubah”: Fenomena Kata-Kata Viral yang Salah Kaprah

I Wayan Artika

I Wayan Artika

Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. | Doktor pengajar di Fakultas Bahasa dan Seni, Undiksha Singaraja. Penulis novel, cerpen dan esai. Tulisannya dimuat di berbagai media dan jurnal

Next Post
“Fisik Bisa Dirubah”: Fenomena Kata-Kata Viral yang Salah Kaprah

“Fisik Bisa Dirubah”: Fenomena Kata-Kata Viral yang Salah Kaprah

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co