Pernahkah Anda mendengar kata kolok?
Kata kolok adalah bahasa isyarat lokal yang berkembang di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Bahasa isyarat kata kolok digunakan oleh komunitas tunarungu di Desa Bengkala. Selain digunakan oleh sesama tunarungu di desa itu, bahasa isyarat ini juga digunakan oleh warga desa yang mendengar ketika berkomunikasi dengan warga desa yang tunarungu. Bahasa isyarat ini fungsional di kalangan warga Desa Bengkala.
Dian R. Putri, seorang akademisi dan peneliti bahasa isyarat kata kolok, mengatakan bahwa kata kolok terdiri atas dua kata bahasa Bali, yaitu kata (dibaca kate) yang bermakna ‘bahasa’ dan kolok yang bermakna ‘bisu’. Dikatakan, secara harfiah, kata kolok bermakna ‘bahasa bisu’, yaitu bahasa yang digunakan oleh orang bisu. Bahasa isyarat kata kolok digunakan di Desa Bengkala karena warganya banyak mengalami tuli bisu yang dalam bahasa Bali disebut kolok.
Bahasa isyarat kata kolok merupakan sebuah fenomena linguistik yang tidak hanya unik di Indonesia, tetapi juga di dunia. Bahasa ini berkembang secara alami di desa tersebut sejak lama sebagai respons terhadap tingginya angka komunitas tunarungu di sana.
Berbeda dengan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) atau American Sign Language (ASL), kata kolok tidak dipengaruhi oleh sistem bahasa isyarat lain. Bahasa ini memiliki struktur tata bahasa, kosakata, dan ekspresi yang unik. Misalnya, penggunaan gerakan tubuh dan ekspresi wajah dalam kata kolok sangat kontekstual dan kerap kali lebih langsung dibandingkan bahasa isyarat lainnya. Bahasa ini juga mencerminkan aspek budaya lokal, termasuk tradisi dan cara hidup masyarakat Desa Bengkala.
Kata kolok tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi bagi individu tunarungu, tetapi juga digunakan oleh seluruh anggota komunitas, termasuk warga desa yang mendengar. Hal ini menjadikan bahasa isyarat kata kolok sebagai bagian integral dari identitas budaya Bengkala. Bahasa isyarat ini mencerminkan inklusivitas sosial yang tidak ada perbedaan dalam akses komunikasi antara individu tunarungu dan mendengar.
Sama seperti bahasa alami, bahasa isyarat juga mempunyai ancaman dalam keberlangsungan hidupnya. Seperti banyak bahasa lokal lainnya, bahasa isyarat kata kolok juga menghadapi ancaman kepunahan. Globalisasi, urbanisasi, dan adopsi bahasa isyarat standar, seperti Bisindo menjadi tantangan besar. Generasi muda di Desa Bengkala, yang semakin terhubung dengan dunia luar, cenderung mengadopsi bahasa isyarat yang lebih luas digunakan. Hal ini bisa mengurangi frekuensi penggunaan bahasa isyarat kata kolok.
Untuk melindungi keberlangsungan bahasa isyarat kata kolok, berbagai langkah pelestarian perlu dilakukan. Dokumentasi bahasa melalui video, kamus, atau penelitian akademik menjadi langkah awal yang penting. Selain itu, pelibatan generasi muda melalui pendidikan dan pengenalan teknologi, seperti aplikasi digital, dapat membantu mempertahankan penggunaan bahasa isyarat ini. Pemerintah daerah dan komunitas internasional juga perlu mendukung pengakuan bahasa isyarat kata kolok sebagai warisan budaya takbenda.
Bahasa isyarat kata kolok adalah bukti nyata bagaimana manusia dapat menciptakan cara berkomunikasi yang sepenuhnya baru dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Keberadaannya merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya, tidak hanya bagi masyarakat Bengkala, tetapi juga bagi dunia linguistik. Melalui upaya pelestarian yang berkelanjutan, kata kolok dapat tetap hidup dan menjadi simbol kekayaan budaya Bali khususnya, kekayaan budaya Indonesia umumnya. [T]
BACA artikel lain tentang BAHASA atau artikel lain dari penulis MADE SUDIANA