“Burungnya itu mengeluh ceritanya, ke mana saya akan mencari makan setelah raib padi akan dipanen,” kata I Ketut Nuarta Jaya (58).
Nuarta adalah satu petani dari Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali. Ia sedang bercerita soal burung yang cemas. Jika padi raib, burung itu tak bisa lagi mendapatkan makan.
Cerita itu ia sampaikan dalam acara Subak Bercerita, satu bagian dari kegiatan Aktivasi Program Penguatan Ekosistem Kebudayaan Kawasan Warisan Dunia Tahun 2024 yang diinisiasi Kementerian Kebudayaan RI. Acara itu digelar di sebuah balai subak di Banjar Dinas Gunung Sari Kelod Desa Jatiluwih, Minggu malam, 8 Desember.
Acara itu dipenuhi anak-anak. Jauh sebelum acara dimulai anak-anak itu sudah berdatangan, bermain berhamburan asik di areal balai subak.
Ketut Nuarta Jaya dalam acara Sumbak Bercerita di Jatiluwih | Foto: tatkala.co/Son
Anak-anak bermain sebelum pertunjukan seni dimulai, yakni pertunjukan seni yang dimainkan anak-anak muda harapan desa. Anak bermain kejar-kejaran saling tangkap. Balai itu seketika menjadi wahana bermain bagi mereka yang ramah dan asik.
Lima langkah dari balai itu, terdapat pemandangan tersendiri yang ngangenin. Hamparan sawah menguning dan hijau terpintal cahaya lampu remang-remang di pinggir jalan wisata Desa Jatiluwih, terlihat seperti menggantikan bintang yang tak tampak karena kabut cukup tebal di langit. Ini musim hujan.
Di sana, tak hanya anak-anak menunggu pementasan seni pertunjukan akan digelar, tetapi bagaimana ibu-ibu, bapak-bapak dan para dadong juga ikut duduk sambil gendong anak kecil—barangkali itu adalah cucunya. Mereka duduk di samping panggung utama sambil mengobrol satu sama lain. Malam yang cair.
Ada beberapa pementasan yang akan digelar di sana, dua di antaranya adalah pertunjukan seni baleganjur dan orang bercerita. Pementasan baleganjur dimainkan oleh gerombolan anak-anak penuh senyum. Mereka berjumlah 17 pemain.
Di situlah, di tengah acara, I Ketut Nuarta Jaya bercerita. Nuarta mengawali ceritanya dengan mengalunkan pupuh atau nyanyian sekar alit. Tembang itu memiliki pesan kehidupan. Saat pupuh dikumandangkan, alam seperti memberkatinya, karena angin cukup keras datang tiba-tiba ke panggung utama.
Saya membayangkan seperti sebuah pesan baik sudah tersampaikan ke atas langit, menyapa dan seketika itu menggibas sebuah spanduk bertuliskan “Subak Bercerita”.
Di sana, lelaki itu bercerita bahwa ia sudah menjadi petani sejak tamat SMA tahun 1984. Sebagai petani, ia mengaku selalu gembira ketika menginjakkan kakinya di pematang sawah yang basah sebelum bekerja membajak atau melihat air mengalir dengan adil di setiap sawah warga.
Terlebih ketika padi di sawah miliknya sudah menguning adalah kebahagiaan yang sederhana dan paling dekat. Walaupun di samping ada hewan lain yang bersedih seperti burung pipit karena padi sebentar lagi akan dipanen. Di Jatiluwih, burung tidak boleh ditembak, tetapi boleh diusir dengan alat kepuakan yang terbuat dari bambu.
Cerita Nuarta tentang burung yang terancam punah jika sawah-sawah punah. Karena semasih sawah ada, para petani kerap membagi kebahagiaan dengan hewan lain untuk menjaga ekosistem subak mereka tetap hidup.
Pada sistem membajak, para petani di Jatiluwih kerap membajak menggunakan sapi atau kerbau, namun setelah memasuki era modern hewan itu mulai tergantikan dengan mesin traktor, tetapi juga masih banyak petani lain masih menggunakan sapi untuk membajak. Keseimbangan zaman masih terpelihara di Subak Jatiluwih.
Sementara yang paling konsisten atau belum tergantikan untuk saat ini, kata Nuarta adalah sistem menamanya. Masyakarat di Jatiluwih masih menamam varietas unggul padi beras merah setiap awal Januari, kemudian dipanin sekitaran akhir Mei atau bulan Juni awal. Kemudian setelah itu ditanami lagi padi dari varitas lain seperti padi beras putih sentani yang batangnya lebih pendek dari padi beras merah. Biasanya, paninnya bulan November awal atau akhir.
Penonton acara Subak Bercerita di Jatiluwih | Foto: tatkala.co/Son
Di tengah arus zaman yang begitu cepat dan canggih, Nuarta berharap generasi muda boleh bermimpi menjadi apapun, juga bersekolah tinggi dimanapun, tetapi, alangkah bijaknya tidak meninggalkan dunia pertanian karena ini adalah warisan leluhur.
“Harus terus dilestarikan dan dirawat!” harap Nuarta ketika ditemui di belakang panggung.
Pertunjukan Seni
Selain Nuarta, anak-anak di desa itu juga bercerita dengan media permainan. Di atas panggung, alat-alat musik seperti sepasang kendang, 8 pasang ceng-ceng, 1 petuk, satu kempul dan satu gong sudah siap dimainkan untuk pertunjukan baleganjur.
Di Bali, tabuhan baleganjur biasa digunakan pada upacara keagamaan seperti ngaben, atau arak-arakan ogoh-ogoh sebelum hari nyepi. Tetapi walaupun begitu, tabuhan itu juga memiliki fungsi lain selain spiritual, juga digunakan sebagai tabuhan yang menghibur pada suatu acara. Salah satunya pada malam gelar seni Subak Bercerita di Jatiluwih-Tabanan malam.
“Mereka semua adalah pemula, baru belajar satu bulan yang lalu dari nol. Dan ini adalah pertunjukan mereka yang pertama,” kata I Ketut Rawan Sugiarta (56), pelatih dari kelompok Gita Rare Angon, sebuah kelompok seni untuk anak muda di Jatiluwih.
Tabuhan baleganjur dan nyanyian anak-anak di acara Subak Bercerita di Jatiluwih | Foto: tatkala.co/Son
Tabuhan baleganjur yang dimainkan oleh 17 pemain dan semuanya adalah anak-anak itu, dibarengi dengan dua buah lagu anak-anak pula, yaitu Pong Pongmal dan Goak Maling. Lagu pertama menceritakan tentang bagaimana keseruan anak-anak bermain di sawah. Bermain lumpur kotor-kotoran, mengejar belalang atau burung, atau apa saja cerita anak-anak waktu kecil diekspresikan melalui lagu itu.
Sementara, Goak Maling bercerita tentang anak-anak yang sudah merasa capek bermain di sawah, akhirnya ia kesiangan hingga memutuskan untuk bolos sekolah. Mereka memilih tertidur pulas hingga menjadi seorang pemalas satu hari. Momen-momen seperti itu adalah momen anak-anak di desa pertanian yang memang penuh kenangan.
“Subak Bercerita ini bisa mengedukasi anak-anak kita, generasi kita, dengan melihat kreatifitas seni, dan kedepan—semoga tumbuh inisiarif untuk memajukan seni dan budaya, juga subaknya nanti itu.” kata I Nengah Kartika, Perbekel (Kepala Desa) Jatiluwih. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole