DISKURSUS mengenai kecerdasan buatan yang akan menggantikan peran manusia sudah ada sejak lama. Seperti pada tahun 1950 dengan munculnya novel imajinasi sains berjudul “I, Robot” karya Isaac Asimov, atau pada konferensi Dartmouht di tahun 1956 yang menandai mulai maraknya penelitian di bidang kecerdasan buatan di mana potensi dan risiko dari kecerdasan buatan sudah mulai hangat diperbincangkan.
Kecerdasan buatan memperlihatkan hasil yang relatif nyata di periode 1990 hingga saat ini. Di saat tulisan ini dibuat, kecerdasan buatan sudah dapat dipakai oleh masyarakat umum untuk mengolah dan menyimpulkan informasi yang diperlukan. Contohnya, untuk membantu seseorang dalam belajar. Hal tersebut sempat saya alami dan membuat saya kaget: sudah sejauh ini perkembangannya!
Pada waktu itu–belum ada seminggu dari tulisan ini dibuat–saya mengajari salah satu residen psikiatri (dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialis psikiatri) di Rumah Sakit Universitas Udayana mengenai salah satu jenis psikoterapi yang bernama Cognitive Behavioral Therapy (CBT).
Psikoterapi ini spesifik menyasar kesalahan logika yang terjadi pada seseorang yang mengalami masalah mental. Tidak hanya menjelaskan tentang dasar filosofi dari psikoterapi ini, saat itu saya juga mengajarkan berbagai teknik untuk mematahkan logika pasien yang salah dengan berdasar pada tipe kesalahan logika tersebut.
Teknik itu saya ajarkan dengan menggunakan salah satu kasus nyata yang ditemui oleh residen tersebut. Saya menjabarkan simulasi dialog antara psikiater dan pasien dengan menggunakan contoh kalimat dari kedua belah pihak. Makna dan tujuan dari kalimat yang dilontarkan kedua belah pihak juga saya jelaskan dengan detail.
Sehari setelahnya, residen itu bertemu dengan saya lagi dan mengatakan bahwa semalam ia menanyakan hal yang sama kepada kecerdasan buatan bernama Chat GPT. Ia menggunakan prompts (petunjuk sebagai garis besar) kepada kecerdasan buatan dengan simulasi kasus dan pertanyaan yang sama persis seperti yang diajukan pada saya.
Hasilnya? Kecerdasan buatan dapat menjawab dengan paparan yang sangat mirip dengan yang saya jelaskan, lengkap dengan simulasi dialog dan makna dari kalimat yang dilontarkan oleh psikiater dan pasien!
Lalu, di mana ngerinya?
Psikoterapi CBT adalah teknik yang sukar untuk dipelajari, bahkan oleh residen di tahap madya. Jika sudah memahami teknik, seseorang perlu jam terbang tinggi untuk mengasah keahlian dalam memberi umpan balik terhadap semua pernyataan pasien yang sangat tak tertebak. Jam terbang tersebut bisa digantikan oleh kecerdasan buatan dalam waktu singkat.
Saat perkembangannya sudah jauh lebih maju, kecerdasan buatan sangat mungkin untuk menghadirkan visual manusia buatan di layar gawai yang dapat menggantikan peran psikiater. Visual manusia buatan tentu akan mengubah kalimat berbentuk tulisan menjadi lisan saat berdialog dengan manusia yang membutuhkan psikoterapi ini. Mesin itu akan menggantikan profesional seperti mesin pintal yang mendisrupsi pekerjaan manusia di era revolusi industri.
Kecerdasan buatan sudah berkembang sejauh itu. Perkembangannya pun berpola eksponensial dan akan semakin menyerupai kognitif manusia. Karena, kecerdasan buatan selalu belajar dari penggunanya dan manusia adalah satu – satunya pengguna mesin ini.
Cara pandang pesimistis terhadap perkembangan teknologi ini memiliki dampak yang luas. Seperti ketakutan akan banyaknya pengangguran akibat otomatisasi dan efisiensi produksi. Psikoterapi CBT yang memiliki kerumitan yang tinggi saja bisa digantikan oleh kecerdasan buatan, apa lagi hal lain yang lebih remeh?
Dampak lain yang mungkin akan terjadi adalah kecerdasan buatan dapat melampaui kontrol manusia dan menjadi ancaman eksistensial bagi manusia yang menciptakannya.
Walaupun demikian, kecerdasan buatan masih memiliki kelemahan yang membedakannya dengan manusia. Kelemahan itu adalah ketiadaan kecerdasan emosional. Contoh ketiadaan kecerdasan emosional dari kecerdasan buatan juga sempat saya rasakan saat diskusi psikoterapi dengan residen itu berlanjut.
Setelah terpukau dengan kemampuan kecerdasan buatan dalam melakukan Psikoterapi CBT, saya mengajak residen tersebut untuk menantang kecerdasan buatan untuk melakukan Psikoterapi Psikodinamik.
Psikoterapi Psikodinamik adalah psikoterapi yang fokus menyasar alam bawah sadar seseorang yang bermasalah. Psikoterapi ini adalah pengembangan dari Psikoterapi Psikoanalisa yang dipaparkan oleh Freud dan post–Freud.
Secara garis besar, tesis awal dari psikoterapi ini adalah adanya trauma masa lalu yang tertekan dari alam sadar ke alam bawah sadar. Trauma yang tertanam di alam bawah sadar tersebut memunculkan pikiran, perasaan, dan tindakan maladaptif yang tidak bisa dijelaskan secara logika.
Contoh dari hal ini adalah kalimat “Saya sudah tahu bahwa hal itu tidak logis untuk membuat cemas tetapi saya tetap cemas” yang disampaikan pasien saat logika pasien yang salah sudah berhasil dipatahkan dengan Psikoterapi CBT.
Sebelum berdiskusi lebih jauh mengenai Psikoterapi Psikodinamik, saya terlebih dahulu meminta residen tersebut untuk duduk di kursi pasien dan bermain psikoterapi dengan saya sebagai psikiaternya. Tentu saja konsep dan teknis dasar dari psikoterapi ini sudah dikuasai oleh residen. Tetapi, ia tidak pernah melihat proses psikoterapi ini berlangsung, apa lagi duduk di kursi pasien.
Tujuan dari menempatkan residen di kursi pasien adalah agar ia dapat merasakan dan mengalami sendiri berbagai teknik Psikoterapi Psikodinamik yang mengguyurnya. Dengan cara mengalami sendiri, maka pemahaman saat melakukan teknik ini sebagai psikiater pun akan lebih baik. Seperti seorang koki yang perlu bisa merasakan rasa masakan terlebih dahulu sebelum menghidangkannya ke orang lain.
Tidak seperti CBT yang fokus pada kognitif sehingga pertukaran informasi dapat diwakilkan oleh kalimat tertulis, Psikodinamik sangatlah berbeda. Psikoterapi ini sangat bergantung pada gestur, ekspresi, kesalahan bicara yang tidak disengaja—biasa disebut dengan Freudian Slip, posisi tubuh yang tidak disadari, nada, volume suara, dan banyak hal yang tidak dapat diwakilkan oleh kalimat eksplisif. Psikoterapi ini benar-benar memerlukan kehadiran komponen manusia sebagai psikoterapis yang menilai pasien sebagai manusia seutuhnya.
Setelah sepakat mengenai apa dan bagaimana Psikoterapi Psikodinamik, kami melakukan tes yang sama kepada kecerdasan buatan: memberikan prompts (petunjuk sebagai garis besar) kepada kecerdasan buatan dengan kasus yang serupa dengan kasus Psikoterapi CBT sebelumnya.
Bagaimana hasilnya? Jawaban dari kecerdasan buatan tidak secemerlang sebelumnya. Kecerdasan buatan hanya menjawab teori-teori secara garis besar seperti yang sering dijelaskan di buku manual.
Saat diminta untuk lebih detail dalam menjabarkan contoh dialog antara psikiater-pasien, mesin itu hanya menjawab dengan berputar-putar dan tidak sampai ke inti pertanyaan. Sama seperti mahasiswa yang tidak bisa menjawab pertanyaan dosen, atau bahkan dosen yang menjawab berputar-putar saat tidak bisa menjawab pertanyaan mahasiswanya. Tindakan yang secara mental dilakukan untuk menyelamatkan rasa malu. Tapi, yang sedang kita bicarakan saat ini adalah mesin yang katanya tidak punya malu. Ya, kan?
Baik. Kembali ke topik. Kita sedang membicarakan mesin bernama kecerdasan buatan. Bukan manusia yang menyelamatkan malu.
Kecerdasan buatan ternyata belum bisa menjamah Psikoterapi Psikodinamik yang kaya materi-materi alam bawah sadar yang benar-benar abstrak. Algoritmanya benar-benar berbeda dengan simulasi kognitif yang kuantitatif. Psikoterapi Psikodinamik memerlukan pendekatan hermeneutika, yaitu bagaimana manusia memahami manusia lainnya yang mengalami fenomena yang terjadi.
Contohnya begini. Saya mencoba memahami anda yang sedang jatuh cinta atau benci kepada seseorang. Dalam konteks ini, perasaan yang muncul pada anda adalah pengalaman subjektif yang benar-benar milik anda dan tidak bisa diwakilkan oleh siapa pun.
Dalam era awal pengembangan teori hermenuetika, memang pernah ditawarkan konsep hermeneutika romantis oleh Schleiermaher di mana ia mengatakan bahwa seseorang bisa merasakan pengalaman orang lain sepenuhnya; saya bisa sepenuhnya merasakan cinta atau benci yang Anda alami.
Tetapi, hal itu tidaklah mungkin karena semakin saya mencoba untuk merasakan pengalaman Anda, sebenarnya saya hanya berkubang pada pengalaman pribadi saya dan memaksakan delusi pemahaman ini kepada Anda.
Kekurangan teori tersebut selanjutnya dibenahi oleh Dilthey melalui hemerneutik metodologis. Hermeneutik metodologis adalah cara yang dilakukan dengan melihat tanda dan gejala dari orang lain yang sedang mengalami fenomenanya, lalu melemparkan argumentasi mengenai apa yang dirasakan orang lain tersebut.
Orang yang melihat tanda dan gejala dari orang lain tersebut tentu memerlukan kemampuan manusia seutuhnya dalam mengalami sesuatu pula. Orang tersebut perlu berkesadaran. Orang yang mengalami fenomena yang pada akhirnya menjadi hakim, apakah argumentasi terhadap pengalaman subjektif tersebut benar atau salah.
Contoh lebih mudah: saya melihat tanda dan gejala dari Anda yang sepertinya sedang jatuh cinta atau benci kepada seseorang lalu membuat argumentasi mengenai apa yang terjadi pada Anda. Tentu saja dengan menggunakan perabaan awal di mana seandainya saya adalah anda—dan tindakan ini memerlukan kesadaran.
Pada akhirnya, kebenaran dari argumentasi saya mengenai pengalaman yang terjadi pada Anda tergantung pada Anda. Apakah Anda setuju dengan argumentasi saya atau tidak. Cara ini lebih objektif dan cukup terhindar dari penghakiman yang semena-mena kepada orang lain. Dan ini adalah cara yang dipakai psikiater saat berkomunikasi dalam Psikoterapi Psikodinamik.
Dengan segala keunggulannya, kecerdasan buatan tampaknya belum bisa menjamah area hermeneutika tersebut. Alasan dari hal ini adalah karena diperlukannya kesadaran untuk memunculkan konsep hermeneutika. Kecerdasan buatan sebagai mesin sepertinya belum memiliki komponen itu.
Tapi, apakah mungkin suatu saat kecerdasan buatan akan memiliki kesadaran? Saya pun belum bisa memperkirakan. Yang bisa saya perkirakan, jika pada akhirnya kecerdasan buatan memiliki kesadaran, saat itulah manusia benar-benar tergantikan oleh mesin buatannya.
NB: Jangan-jangan, tulisan ini juga dibuat oleh kecerdasan buatan?[T]
Desember, 2024
BACA artikel lain dari penulisKRISNA AJI