DALAM kegiatan Aktiviasi Ekosistem Subak, Siwi Garbha Gumi: Memuliakan Subak Sebagai Ibu Bumi yang diselenggarakan oleh Kemetrian Kebudayaan (Kemenkebud) RI, ada delapan desa—yang termasuk catur angga Batukaru—di Tabanan, Bali, yang terlibat untuk membawakan tema dan potensinya masing-masing.
Desa-desa tersebut ialah Mengwi, Wongaya Gede, Tegallinggah, Rejasa, Sangketan, Jatiluwih, Penatahan, dan Tengkudak. Acara itu dilakukan dari 7-8 Desember 2024 di masing-masing desa. Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik di setiap desa itu ketika menampilkan cerita dan potensinya masing-masing.
Seperti pada Desa Tegallinggah, Tabanan, di hari Minggu, 8 Desember 2024. Dengan konsep JENAR (Jelajah dan Belajar) di Subak Tegallinggah, pagi-pagi, siswa-siswi SD dan SMP berkaos olahraga sudah bersiap menjelajah sawah dan mengenal seluk-beluk Subak Tegallinggah. Mereka datang begitu ceria ke wantilan adat setempat.
Sekitar 70 orang siswa datang. Ramai. Sambil toal-toel teman, mereka seakan tak sabar pergi ke sawah, dan barangkali hendak main lumpur itu di jam 9 pagi.
Sebelum pergi ke sawah, siswa-siswa itu dikenalkan terlebih dahulu bagaimana sistem subak itu secara umum.
70 siswa SD-SMP sedang menjelajah Subak Tegallinggah | Foto: Panitia
“Subak itu organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah (irigasi) yang digunakan dalam bercocok tanam padi di Bali. Sistem subak telah menjadi salah satu ciri khas dari masyarakat Bali, dan salah satunya di Telallinggah ini,” terang I Wayan Edy Setiawan saat memberikan materi topografi desa kepada siswa-siswi SD dan SMP.
Kemudian, Putu Adi Karsa Utama, Perbekel Desa Tegallinggah menambahkan, generasi muda sekarang mesti mengenal subak, minimal tahu bagaimana kaki menyentuh tanah sawah yang becek. Mereka harus dikenalkan kembali ke sawah, ke tanah, tentu, lanjut lelaki itu, agar kelak merekalah yang akan menjadi pengurus subak untuk tetap terus dilakukan.
Subak Bali, dunia memang telah mengakuinya sebagai warisan dunia oleh UNESCO sejak 29 Juni 2012. Pada kegiatan ini, Adi Karsa hendak menanamkan nilai Tri Hita Karana pada masyarakat melalui bermain ke sawah.
Katanya, kita bisa saja membuat wisata di sini. Tapi, untuk apa jika kesadaran belum terbentuk? Ia hendak menanamkan kesadaran itu lebih dulu selain kepada masyarakat dewasa juga kepada anak-anak melalui pendidikan dan kesehatan.
Ibu-ibu PKK Tegallinggah sedang menyiapkan sayur pakis bersama beberapa siswi | Poto: Panitia
“Nah, di sanalah kami pelan-pelan sebenarnya sedang membuat pondasi wisata di kemudian hari. Kegiatan hari ini dirancang sebagai pembelajaran kepada siswa-siswi bahwa berwisatalah di sawah sendiri dengan pengetahuan. Itu tak kalah asiknya,” kata Adi Karsa dengan senyum.
Di wantilan adat Tegallinggah, siswa-siswi SD dan SMP berkaos olahraga itu duduk begitu apiknya. Setelah diberikan pemahaman bagaimana subak di Bali, mereka kemudian pergi ke sawah dengan mentor seorang petani, yaitu Ketut Suastika.
***
Di Tegallinggah, terdapat beberapa jaringan sistem pengairan subak, yakni empelan/empangan sebagai sumber aliran air/bendungan; bungas/buka sebagai pemasukan (in take); aungan, yaitu saluran air yang tertutup atau terowongan; telabah aya (gede), saluran utama; tembuku aya (gede), adalah bangunan untuk pembagian air utama; dan telabah tempek.
Saat momen menjelajah atau melali ke sawah, Ketut Suastika mengajak anak-anak ke beberapa tempat, menjelaskan bagaimana air itu dibagi dalam sistem subak, dan bagaimana padi-padi ditanam. Kemudian ia berdiri di sawah untuk berbicara dan bercerita, dan anak-anak mendengarkannya di pematang sawah yang berderet panjang.
“Kita mesti tahu sawah dan penting menjaganya. Hidup tidak bisa dipisahkan dari tanah. Menjaga sawah dan tanah, berarti menjaga kehidupan,” kata Suastika berbicara seputar pertanian.
Seorang ibu PKK Tegallinggah membersihkan ikan bersama dua orang siswa | Poto: Panitia
Laki-laki itu kemudian melanjutkan pembicaraannya. Bagaimana semua yang ada di sawah, katanya, itu bermanfaat bagi manusia. Ada belut, ada kakul, dan masih banyak lagi selain padi menjadi beras dan nasi. Sehingga sawah mesti dirawat tetap bersih.
“Jangan buang sampah sembarangan!” seru lelaki itu dengan perangai lembut.
Sebelum acara jelajah, sekitar 17 ibu-ibu PKK Desa Tegallinggah memasak makanan yang bahan bakunya diambil dari sawah, seperti belut dan kakul, juga sayur pakis.
Mereka hendak memasak belut goreng, belut pepes, nyalian suna cekuh, keong goreng bumbu suna cekuh, sayur gondo bejek, dan pakis urab, dan satu lagi, sambal kecombrang sebagai pelengkap yang lezat.
Siswa-siswi makan bersama di akhir acara Jelajah dan Belajar di Subak Tegallinggah | Foto: Rusdy
Menariknya, siswa-siswi dilibatkan dalam proses memasak yang menyenangkan, dan membantu para ibu-ibu memasak olahan yang barangkali jarang dijual di restoran-restoran modern. Siswa-siswi mulai membantu dari memotong sayuran, menyiapkan bumbu, ada juga yang memperhatikan proses belut digoreng. Intinya, mereka ikut campur pada rasa makanan yang alami itu secara sederhana pada kegiatan demonstrasi memasak ibu-ibu dan anak-anak.
Di akhir acara, setelah menjelajah, makanan itu disantap dan pengalaman diraih tentang subak dan kuliner khas Tegallinggah. Lezat.[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto