HIRUK Pikuk Pasar Intaran di Desa Bengkala, Buleleng, mendadak jadi arena debat sengit. Tapi tunggu dulu, ini bukan debat politisi atau akademisi. Kali ini, panggungnya diambil alih anak-anak SMA dan SMK! Dengan percaya diri, mereka beradu argumen soal topik panas yang lagi ramai, yakni pembangunan Bandara Internasional Bali Utara.
Argumen demi argumen dilontarkan dengan enteng saja. Ya, seenteng scroll TikTok, mungkin. Tapi sungguh, pemikiran mereka cukup logis dan mudah diterima—walau hanya pemikiran anak SMA/SMK yang menggebu seperti tokoh dalam Dilan 1990, tapi mereka cukup serius.
Dua tim dari SMAN Bali Mandara (tim pro) dan SMKN 1 Sawan (tim kontra) tampil membawa semangat muda, lengkap dengan data dan logika.
Tim SMAN Bali Mandara tampil layaknya investor yang sedang mempromosikan proyek besar. Mereka optimis bahwa bandara ini adalah langkah maju yang akan mengubah wajah Buleleng. Coba bayangkan, berapa banyak peluang kerja yang tercipta? Dari tukang parkir, petugas bandara, sampai barista di kafe terminal. Semua dapat bagian! Kalau dipikir-pikir, benar juga sih. Ya, tentu kalau bandara jadi. Diamini saja dulu.
Tak hanya soal lapangan kerja, mereka juga menyoroti potensi pemerataan ekonomi. Selama ini Bali Selatan selalu jadi pusat segalanya—turis, hotel, restoran. Bali Utara gimana? Dapat sisanya aja? Menurut mereka, bandara baru ini adalah kunci untuk menyebar wisatawan secara merata ke seluruh Bali. Buleleng punya pantai, air terjun, dan kebun cengkeh. Masa kalah sama Kuta yang cuma punya pasir? Iya, kan?
Tak lupa, tim ini juga membawa argumen soal modernisasi. Bandara itu simbol kemajuan. Kalau kita mau bersaing di tingkat global, fasilitas seperti ini wajib ada. Lagian, siapa tahu nanti ada artis Hollywood yang nyasar ke sini. Atau artis Korea landing di Buleleng. Penggemar K-Pop ya gak perlu jauh-jauh lagi ke Denpasar hanya untuk liat idola. Belum lagi jalannya macet. Telat deh.
“Kalau ada bandara berarti Buleleng nanti bisa lebih maju,” begitu kira-kira salah satu argumen yang disebutkan oleh tim SMAN Bali Mandara pada debat ringan yang tak ringan itu. Meski berada di posisi tim yang mendukung bandara, mungkinkah mereka benar-benar yakin itu akan terwujud? Entahlah. Ini hanya debat biasa. Jangan baper!
Namun, tim SMKN 1 Sawan tidak tinggal diam. Dengan gaya yang lebih serius tapi tetap santai, mereka langsung menyerang argumen lawan.
“Pembangunan bandara itu tidak semanis janji kampanye. Hutan-hutan akan habis, sawah-sawah akan berganti aspal, dan ekosistem rusak. Apakah ini harga yang mau kita bayar?” begitu kira-kira sekelumit yang saya dengar.
Sebagai tim kontra dengan isu pembangunan bandara ini, rasanya mudah saja bagi tim SMKN 1 Sawan meluncurkan serangan. Bertubi-tubi, membabi buta! Mereka juga menantang klaim soal lapangan kerja. “Memangnya tanpa bandara, masyarakat nggak bisa kerja? Buleleng punya banyak potensi. Buka usaha kecil-kecilan, misalnya,” serangan ditambah lagi.
Benar juga ini. Kalau kreatif, jual es kelapa di pantai atau jadi pemandu wisata air terjun juga bisa kok. Tidak harus menunggu ada bandara dulu baru bisa kerja.
Tak hanya itu, mereka juga memaparkan risiko sosial. Dari sudut pandang tim SMKN 1 Sawan. Buleleng ini tenang, damai. Kalau bandara dibangun, akan ada arus migrasi besar-besaran. Buleleng kita bisa berubah jadi Bali Selatan kedua, penuh macet dan gedung tinggi. “Apa itu yang kita mau?”
Meski masih pelajar, kedua tim membuktikan bahwa mereka serius. Data statistik, analisis dampak, hingga contoh kasus dari daerah lain dilontarkan dengan lancar. Salah satu momen puncak terjadi ketika tim pro dan kontra saling menantang dengan pertanyaan.
Penonton, termasuk pedagang pasar, ikut terpukau. “Kalau anak muda kayak gini, masa depan Buleleng cerah!” celetuk seorang ibu, pengunjung pasar. Saya sedikit kaget. Ibu yang sedari tadi duduk di belakang saya sambil scroll reels di Facebook ternyata memperhatikan juga. Luar biasa kemampuannya. Nonton reels sambil dengar debat.
Debat ini tidak memberikan jawaban langsung soal nasib bandara. Tapi satu hal yang pasti, generasi muda Buleleng siap berpikir kritis dan bersuara untuk masa depan daerah mereka.
Entah bandara itu jadi dibangun atau tidak, yang jelas semangat anak-anak ini patut diacungi jempol. Kalau mereka yang memimpin nanti, mungkin kita semua bisa berharap Buleleng tetap indah—dengan atau tanpa runway.[T]