TILEM Sasih Kalima bertepatan dengan Sabtu Umanis Medangkungan, 30 November 2024, persis akhir pekan dan akhir bulan. Dalam konteks kearifan lokal sejumlah desa adat di Gumi Delod Ceking, di wilayah Kuta Selatan, Badung, seperti Desa Adat Kutuh, Kampial, Peminge, Jimbaran dan Pecatu melaksanakan upacara Mendak Hujan (menjemput hujan).
Prosesi ritual Mendak Hujan di Desa Adat Kutuh dilaksanakan beberapa kali di sejumlah Pura mulai dari Pura Desa pada Tilem Sasih Kalima, Pura Puseh dan Pura Pengubengan pada saat Kliwon setelah Tilem Sasih Kalima, Pura Dang Kahyangan Gunung Payung pada saat Purnama Kanem dan terakhir di Pura Segara Desa Adat Kutuh pada Tilem Sasih Kanem. Dengan demikian, ritual Mendak Hujan di Desa Adat Kutuh dimulai saat Tilem Sasih Kalima dan berakhir saat Tilem Sasih Kanem.
Saat Mendak Hujan pertama di Pura Desa Adat Kutuh, krama Desa menancapkan sanggah cucuk di pintu gerbang masing-masing rumah. Sanggah cucuk dihaturkan banten seperti pada umumnya saat Hari Galungan dilengkapi Kober Ganapati sebagai simbol untuk menolak energi negatif agar tidak masuk ke pekarangan rumah.
Sore hari, krama bersembahyang ke Pura Desa sekaligus nunas Nasi Tawur dan dua tirta : Tirta Caru dan Tirta ke Luhur. Tirta Caru diperciki ke bawah saat ngelebar segehan disertai nasi tawur sampai ke abian. Sementara itu, Tirta ke Luhur diperciki ke Pelinggih-Pelinggih di masing-masing rumah dan diperciki pula ke masing-masing anggota keluarga setelah melaksanakan persembahyangan.
Tradisi Mendak Hujan bagi desa adat di Gumi Delod Ceking berbeda-beda antara desa yang satu dengan desa yang lain, walaupun secara geografi berdekatan dengan karakteristik yang nyaris sama.
Di Desa Adat Pecatu misalnya, upacara Mendak Hujan berlangsung setiap Tilem Sasih Kalima dipusatkan di Pantai Labuan Sait, tempat krama desa adat biasa melasti.
Sementara itu, di Desa Adat Jimbaran ritual Mendak Hujan pada Purnama Sasih Kalima berlangsung di Pura Muaya Pantai Jimbaran. Desa Adat Kampial dan Desa Adat Peminge melaksanakan upacara Mendak Hujan bersama-sama dengan Desa Adat Kutuh pada Purnama Sasih Kanem di Pura Dang Kahyangan Gunung Payung.
Kearifan lokal berupa ritual Mendak Hujan di Gumi Delod Ceking yang kini diwariskan sebagai budaya telah menjadi tradisi secara turun-temurun dan tidak ada yang berani meninggalkan. Sebagai kearifan lokal yang telah membudaya, tradisi ini mengandung sejumlah makna penting.
Pertama, ritual Mendak Hujan telah menerjadikan proses transformasi budaya melalui pewarisan dari generasi ke generasi. Secara implisit edukatif, leluhur desa adat di Gumi Delod Ceking pada umumnya telah memiliki pranata sosial religius dengan menjadi Pura sebagai sekolah kehidupan untuk mendidik mental spiritual umat-Nya.
Melalui cara itulah, mereka yang krisis air pada zamannya, berpasrah mengandalkan jatuhnya hujan dari langit. Hujan bagi mereka adalah lambang turunnya paica leluhur (rahmat Tuhan) yang diolah dari laut melalui proses tertentu menjadi awan lalu hujan. Singkatnya, lambang kesuburmakmuran mendekati kaum tani memulai ritus bercocok tanam di abian, dengan model tatakelola sawah tadah hujan.
Kedua, banten utama yang digelar saat Mendak Hujan berupa caru. Hakikat caru adalah upaya mengharmoniskan alam buana alit (mikrokosmos) dan buana agung (makrokosmos) secara sekala (nyata) niskala (nirnyata) terkait perubahan musim dari kemarau ke musim hujan.
Peralihan musim sering ditandai dengan datangnya wabah dan kearifan lokal menangkalnya dengan ritual caru sakasidan (sesuai kemampuan). Itu pula tampaknya mendasari, Pemerintah Kabupaten Badung, melaksanakan upacara mulang pakelem persis saat Tilem Sasih Kalima Sabtu, 30 November 2024, dipusatkan di Pura Segara Samuh Desa Adat Bualu di Gumi Delod Ceking.
Ketiga, tradisi ritual Mendak Hujan adalah simpul budaya agraris dengan pekerjaan utama sebagai petani, peternak, dan nelayan. Tiga pekerjaan itu dilakoni sekaligus dengan alur waktu berbeda tak ubahnya model diversifikasi pertanian dengan sistem pertanian tumpang sari. Sekali panen, memetik beberapa hasil.
Di abian, para petani bercocok tanam. Tanaman adalah taman penghiburan bagi mereka lebih-lebih panen berlimpah, sungguh menyenangkan. Ibarat guru yang berhasil mendidik dan mengajar siswa dengan hasil terbaik, sungguh menyenangkan sebagai cikal-bakal mewujudkan ketenangan hidup.
Dengan menjadi peternak yang disebut pangangon, petani melengkapi tabungan. Zaman sebelum pariwisata booming, beternak tak ubahnya menabung untuk biaya sekolah bagi anak, tabungan hari raya dan tabungan hari tua.
Sementara itu, dengan menjadi nelayan, petani melaut mencari sarining amerta di kedalaman sebagai metafora bahwa hidup tidak semata-mata heboh di permukaan, tetapi juga memaknai di kedalaman spiritual. Dengan demikian, terjadi perpaduan ritual dan spiritual sebagai relasi antara bentuk, fungsi, dan makna dalam Kajian Budaya. Inti dari ketiga profesi itu adalah menjaga ketahanan pangan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup agar tidak sampai blencongan ‘kelaparan’ akibat paceklik yang tidak terduga dengan hujan turun yang tidak menentu. Lebih-lebih dengan iklim global yang tidak menentu, tidak mudah ditebak.
Walaupun demikian, krama Delod Ceking tempo doeloe adalah orang-orang yang tangguh dan mandiri menata kelangsungan hidupnya, dalam istilah Bali disebut bisa matakeh ‘cerdas bersiasat’ agar tidak sesat dan tidak sampai kelaparan.
Begitulah krama di Gumi Delod Ceking, memaknai turunnya hujan dengan ritual Mendak ‘penyambutan’ berharap hujan menyuburkan, bukan menghanyutkan lebih-lebih bagi Desa Adat Kutuh telah mengantisipasinya dengan tradisi ritual Ngempel serangkaian Upacara Ngusaba Desa pada Purnama Sasih Kapat.
Hujan adalah berkah bila sesuai dengan kebutuhan, tetapi menjadi musibah bila berlebih menyebabkan banjir. Atau sebaliknya, kekeringan bila hujan tiada turun menyapa bumi. Krisis air pun tak terbantahkan. Namun, tradisi telah mendidik dan mengajarkan, krama Delod Ceking tampil dengan laku prihatin seraya memohon dengan tulus penuh seluruh. Walaupun terasa berat, mereka pasrah, tabah, dan tawakal. Itulah ciri ketangguhan mental baja bentukan alam batu kapur yang teguh kukuh.
Dalam kosmologi kewaktuan bagi manusia Bali di Gumi Delod Ceking, Prosesi Ritual Mendak Hujan adalah ritual lanjutan setelah Purnama Sasih Kapat yang sering disebut Purnama Kartika ditandai dengan mekarnya aneka bunga. Mekarnya bunga-bunga itu mengundang lebah berdatangan, sebuah metafora yang sering digunakan para kawi wiku dalam bersastra.
Kidung Warga Sari yang terkenal itu, mengalun di setiap desa dengan “…Kartika panedenging sari ….” Sungguh pencapaian yang luar biasa sebagai warisan tak benda yang anonim sebagai lambang semangat komunalitas dalam guyub beritual menuju spiritual : kesejatian hidup.
Semangat komunalitas dalam guyub ritual Mendak Hujan adalah ciri kehidupan agraris yang terorganisasi dalam berbagai sekaa : sekaa manyi, seka subak abian, sekaa numbeg, sekaa munuh. Keberadaan sekaa itu tiadalah berdaya bila hujan tak kunjung turun menemui cintainya di bumi.
Maka ritual Mendak Hujan pun digelar walaupun abian makin terdesak bahkan terdepak. Tradisi Mendak Hujan tidak terhapus oleh keangkuhan pariwisata yang penuh glamour. [T]
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT