DI atas panggung, penari memiliki hak dalam mengeksplorasi gerakan dengan tubuh yang ia punya juga pakemnya sebagai penari. Dan pada perlombaan ngibing di Sasana Budaya oleh Paguyuban Seniman Bali (PSB) Buleleng pada Minggu, 3 November 2024 malam itu, seakan mengembalikan tarian Joged Bumbung dari nilai sempit, Joged Jaruh—alias porno itu, kepada ranahnya yang sesuai: keindahan dan hiburan rakyat.
Erotisme pada tubuh penari, terutama dalam tarian Joged Bumbung, tidak bisa dielakkan. Tapi, bagaimana cara pengibing memandang, adalah bagian terpenting menjadikan tarian itu sebagai gerak estetika dan merdeka.
Penari perempuan dan pengibing—yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan—umumnya membangun cerita di atas panggung secara spontan, dan menarik.
Di panggung Sasana Budaya malam itu, misalnya. Para penonton yang di dalamnya terdiri dari anak-anak dan para orang tua itu, seakan mendapat satu hiburan yang hidup. Mereka menebak-nebak cerita si penari dan si pengibing di atas panggung menceritakan apa.
Ketika alat musik gamelan (rindik) dari bambu itu sudah ditabuh, Komang Erni Sri Wahyuni (28), penari Joged dari Seka Joged Karya Remaja, Desa Sari Mekar, Buleleng, sebagai penampil pertama datang dengan gerakan yang realtif pelan, lemah gemulai.
Komang Hendi Darmawan ngibing bersama penari Komang Erni Sri Wahyuni | Foto: tatkala.co/Son
Tangannya meliuk dengan jari-jari yang lentik. Kakinya pelan, dengan anggun membawakan tarian dan tubuh cantiknya. Puspa Winangun, itulah nama tabuh yang mengiringi Komang Erni menari.
Tabuh dan tarian itu mempresentasikan gadis desa yang sedang kasmaran. Perawan. Komang Erni membawakannya dengan penuh perasaan dan penghayatan. Di tengah tarian, setelah ia menggibaskan slendangnya—yang seperti menggibaskan rambutnya yang panjang itu—kipas dikibarkannya di tengah tarian. Ia menari dengan kipas. Ia menari dengan cantik dengan jiwanya yang berbunga-bunga.
Sementara Erni masih menari, dari arah barat, Komang Hendi Darmawan (48), penonton, di dorong teman-temannya untuk segera ngibing. Tampaknya, ia agak malu-malu. Itulah barangkali cerita yang hendak dibangun.
Komang Erni Sri Wahyuni mendapat ibingan macan tutul dari seorang pengibing | Foto: tatkala.co/Son
Di atas panggung, beberapa langkah ia berjauhan dengan Komang Erni, seperti memberi space percakapan batin barangkali.
Lelaki paruh baya itu kemudian ngibing dengan lihai. Tangannya meliuk dengan badannya yang lincah berpindah pijak. Matanya penuh rayuan. Sebuah awalan yang bagus untuk menyambung cerita: didorong-dorong teman.
Sederhananya Etika Ngibing
“Saya suka ngibing. Tadi itu gaya merayu..” kata Komang Hendi. “Bahwa lelaki, saat mendekati perempuan, itu tidak boleh terburu-buru, kita harus memberikan waktu dan membuat penasaran si perempuan,” lanjutnya.
Pandangan Komang Erni seketika tajam, seperti mempertanyakan siapa lelaki yang datang itu, sebagaimana ia mencitrakan sebagai gadis desa dalam buruan lelaki yang misterius. Ia lalu menarikan, sesuai apa yang diwacanakan—cerita yang dibangun Komang Hendi.
Mula-mula mereka berjauhan, musik seketika berubah menjadi cepat. Mereka berdekatan kemudian, seakan memberi isyarat, lelaki itu telah berhasil membujuknya—untuk didekati. penonton bersorak, anak-anak bersorak. Tarian itu selesai dengan salaman.
Tu Meli ngibing dengan Fitri Yudiastuti | Foto: tatkala.co/Son
“Dalam ngibing, yang penting tidak boleh melakukan tindakan yang tidak senonoh. Itu gak boleh. Harus sopan, harus berseni, menghibur!” tegas Komang Hendi.
Berbeda dengan Dida (20) dalam gaya ngibing-nya. Ia justru melakukan gaya tarian macan tutul—istilahnya sendiri—yang agresif. Dari arah yang sama, barat, ia menekuk lututnya dan sorot matanya sangat tajam seakan macan sedang melihat mangsanya.
Tetabuhan semakin keras—melihat agresifitas Dida. Ia menarikan gaya macan kemudian. Tangan seperti hendak mencakar. Ia seperti mempresentasikan sebagai lelaki penuh energik dan kesatria. Sesekali ia mengelilingi tubuh sang penari. Ketika musik pelan, ia mendekati penari itu.
Di sini, Komang Erni seperti ketakuan. Ia mencitrakan gadis desa yang difensif. Tetapi di tengah cerita bahwa lelaki itu ksatria, ia menari mendekati Didu. Mereka menari dengan harmonis.
Ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak saat menonton lomba ngibing PSB | Foto: tatkala.co/Son
Di sini, gaya tarian pada pengibing dan penari, memiliki kontak sosial dalam membangun cerita, barangkali melalui batin tadi. Bagaimana konflik diciptakan dengan plot yang spontan. Tentu, ini tidak mudah dan di situlah salah satu bagian menghiburnya. Bercerita.
Seperti pada penari yang ke dua, Fitri Yudiastuti (40), di sana ia menarikkan tarian Sekarjepun lebih dulu.
Pada tarian yang ia bawakan, lebih energik dari tarian Puspa Winangun. Tarian Sekarjepun adalah tarian yang mengisahkan tentang bentuk kegembiraan para petani pasca panen. “Sebab itulah tariannya energik. Berbeda dengan tarian sebelumnya yang lebih lembut,” kata Fitri.
Sebagai peserta ngibing, Tu Meli (25) yang juga memiliki latar belakang penari, seolah tahu apa yang harus dilakukan. Ia ngibing dengan energik pula. Bahkan, di tengah mengibing, seperti sudah paham, si penari meladeni Tu Meli dengan gerakan odong-odong (numpak jaran), pergi mengitari space di panggung dengan cara berantai, atau sebagaimana odong-odong itu pergi berjalan. Hepi. Geyal-geyol, Semeton.[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto