SORE itu, lima tahun yang lalu, pada April 2019, pemuda itu berdiri di panggung Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, bersama enam kawannya yang masing-masing memegang alat musik—gendang, kudu (yang berbentuk seperti kendi), gitar, seruling, synthesizer, siter, dan beberapa alat musik lainnya. Di panggung itu, mendong atau semacamnya, ditebar dan dijadikan dekorasi.
Sementara di belakang mereka duduk, tepat di tengah-tengah panggung, kelir kecil yang diapit hiasan padang kering itu, berdiri, mencipta semacam semesta kecil dengan kehidupannya sendiri. Sedang di samping kanan dan kiri atas kelir itu, enam wayang ditancapkan.
Rambut panjang pemuda yang berdiri itu digelung dengan jepitan alih-alih diikat. Di sana, di panggung itu, sesaat setelah menyapa hadirin, dengan logat Jawanya yang khas, ia berbicara tentang apa yang sedang dan akan ia tampilkan.
“Perkenalkan, kami dari Wayang Suket Indonesia. Kali ini kami akan membawakan pertunjukan wayang suket dengan lakon Roro Jonggrang,” ujar pemuda itu, dengan kepercayaan diri yang penuh.
Wayang Suket Indonesia saat pentas di Galeri Indonesia Kaya 2019 dengan lakon “Roro Jonggrang” | Foto: Dok Wayang Suket Indonesia
Perlu Anda ketahui, itu pertunjukan wayang yang lain dari segi apa pun. Bukan saja dari jenis dan bentuk wayangnya, tapi juga cerita, alat musik, dan segala perangkat yang menyertainya. Benar saja. Ini bukan pertunjukan wayang kulit (purwa) dengan segala keagungannya itu; ini, sebagaimana telah dikatakan pemuda tersebut, merupakan pertunjukan wayang suket—wayang yang terbuat dari rumput (suket).
Lihatlah, kini kelir mulai menyala seiring musik dimainkan. Pemuda yang berdiri memperkenalkan diri tadi ternyata juga selaku “dalang” dari pertunjukan ini. Di balik kelir, suaranya menggema dan mulai membawakan cerita dengan iringan musik yang menenangkan.
Di kelir, bayangan-bayangan sosok mulai muncul satu per satu. Narasi dan dialog tumpah silih-berganti dengan nyanyian dan musik pengiring, layaknya pementasan wayang kulit dengan sinden dan wiyogo-nya. Kisah mengalir. Dan Gaga Rizky, pemuda tersebut, menuntaskan legenda Candi Prambanan—kisah antara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso—itu dengan kesan yang dalam. Gaga dan Wayang Suket Indonesia, sore itu, panen apresiasi.
Menonton pertunjukan Wayang Suket Indonesia—Gaga, dkk—mengingatkan kita kembali pada sosok seniman multitalenta Slamet Gundono (1966-2014). Ya, wayang suket pernah booming saat Slamet—seniman bertubuh bongsor yang ikonik itu—pentas di berbagai acara dan televisi nasional era 2008-2012. Sayangnya, pamor hiburan wong cilik ini kembali tenggelam setelah Slamet Gundono tutup usia pada Januari 2014 silam.
Wayang Suket Indonesia saat pentas di Galeri Indonesia Kaya 2019 dengan lakon “Roro Jonggrang” | Foto: Dok Wayang Suket Indonesia
Selain wayang suket, sebagaimana yang tertulis di Wikipedia, Slamet juga menetaskan konsep wayang nggremeng, wayang lindur, wayang air, wayang multimedia, wayang kondo-m, dan wayang api. Masing-masing konsep pertunjukan wayang ini sudah mengangkat sejumlah repertoar yang digelar di berbagai panggung dan kantong seni dalam maupun luar negeri. Dan Slamet memberontaki pakem-pakem pewayangan dengan cinta dan elegan.
Uniknya, proses kreatif Slamet juga digodok, dierami dan ditetaskan di Solo, di mana Wayang Suket Indonesia lahir dari buah-pikir Gaga Rizky belakangan—walaupun Gaga mengaku saat membentuk komunitas seni tersebut ia belum tahu sosok maestro Slamet Gundono.
Nama lengkapnya Yhoga Rizky Kristanto. Barangkali Gaga Rizky hanya nama panggung saja. Ia lahir di Tuban, 25 Maret 1990. Gaga, panggilan akrabnya, merupakan pendiri sekaligus direktur kreatif Wayang Suket Indonesia. Dan di setiap pertunjukan, ia sendiri yang menjadi dalangnya—walaupun ia enggan disebut demikian.
Gaga Rizky dengan karya wayang suketnya | Foto: Dok. Wayang Suket Indonesia
Alasan Gaga enggan disebut dalang karena menurutnya sebutan itu memiliki pakem khusus, tidak bisa sembarangan orang mengklaim dirinya sebagai dalang. Gaga benar. “Jadi, saya ini puppeteer, bukan dalang,” ujarnya dalam sebuah wawancara di media massa di Tuban beberapa tahun yang lalu.
Sebelum menggeluti kesenian wayang suket, Gaga sebenarnya lebih dulu intens dengan seni boneka tali (marionette)—semacam Pinokio, tokoh boneka kayu yang terkenal itu. Ia mengaku cukup lihai dalam menggerakkan kesenian yang berasal dari peradaban kuno seperti Mesir dan Yunani itu. Gaga dapat, katakanlah, memberi ruh kepada boneka-boneka tali yang ia mainkan.
Tapi, sejak kembali bersentuhan dan pada akhirnya bergumul, bertungkus lumus melestari-wacanakan wayang suket, ada semacam nasionalisme, sebut saja begitu, atau kesadaran identitas, yang tiba-tiba bersemayam dalam hati dan pikirannya, tidak sekadar merasa keren sebagaimana saat ia memainkan marionette, dulu.
Gaga Rizky saat mementaskan wayang suket | Foto: Dok. Wayang Suket Indonesia
***
Wayang Suket Indonesia seperti sudah menjadi identitas yang melekat dalam diri Gaga. Bagaimana pun, kelompok seni tersebut lahir dari buah pikir kepalanya. Pada awalnya, ia merasa prihatin akan keberadaan wayang suket dan cerita rakyat yang eksistensinya perlahan lenyap dari pengetahuan-ingatan kolektif, dan pandangan mata khalayak.
Wayang suket serta cerita rakyat bagi banyak orang hanya dianggap sekadar masa lalu dengan embel-embel peyoratif—seperti jadul, ketinggalan zaman, kuno, kampungan, tidak masuk akal, dll.
“Saya belajar membuat wayang suket sejak kecil,” ungkap Gaga kepada Tatkala.co saat dihubungi lewat WhatsApp, Rabu (30/10/2024) siang. Siang itu ia mengaku sedang di Yogyakarta. “Tapi saya berhenti membuatnya—dan itu sudah sangat lama,” sambungnya.
Gaga mengenal wayang suket dari sang kakek—ia memanggilnya Mbah Kung. Namun, seingat Gaga, ia belajar membuat wayang suket secara otodidak dari panduan sebuah buku membuat kerajinan yang ia baca di perpustakaan. Tapi pada saat itu bukan rumput yang ia pakai, melainkan tangkai daun singkong. Dan itu terjadi sudah lama sekali, sekira ia masih duduk di kelas 4 atau 5 SD.
Wayang suket karya Wayang Suket Indonesia | Foto: Dok. Wayang Suket Indonesia
(Di beberapa desa di Tuban, Jawa Timur, pada era ‘90-an sampai awal 2000-an, wayang suket masih banyak dimainkan anak-anak, memang.)
Gaga kembali membuat wayang suket pada 2017 silam, saat seorang teman memintanya membuat semacam cinderamata untuk sebuah hotel. Saat itu ia masih kuliah di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. “Waktu itu saya memang jualan souvenir—untuk tambahan makan dan biaya kos,” terang Gaga.
(Wayang suket kreasi Gaga berbahan rumput mendong (Fimbristylis umbellaris). Ia sengaja memilih jenis rumput tersebut karena, selain tahan lama dan tidak mengeluarkan bau tak sedap, pula paling memungkinkan untuk dianyam menjadi berbagai bentuk—karena kelenturan (elastisitas) rumput tersebut. Di beberapa daerah, rumput ini dibudidayakan untuk memenuhi pasokan bahan baku kriya. Di tangan Gaga, mendong-mendong kering itu bisa menjelma-rupa tokoh kesatria, priayi, wanita, dan anak-anak, dan berbagai bentuk lain sesuai kebutuhan cerita.)
Wayang suket karya Wayang Suket Indonesia | Foto: Dok. Wayang Suket Indonesia
Ternyata, wayang suket buatannya laku keras. Bahkan ia sering ikut pameran produk kreatif sejak itu. Tapi beberapa orang memberinya syak wasangka. Termasuk seorang anak kecil yang mengatakan bahwa kerajinan tangannya hanya sekadar rumput. “Suket [rumput] kok dijual!” kata Gaga menirukan anak kecil yang menyangsikan karyanya. Dari situlah Gaga mulai paham bahwa generasi belakangan ternyata tidak mengerti apa-apa tentang wayang suket.
“Lalu saya punya ide proyek pelestarian wayang suket. Hingga 25 Januari 2018, terbentuklah Wayang Suket Indonesia,” Gaga mengisahkan terbentuknya Wayang Suket Indonesia kepada Tatkala.co.
Pemuda lulusan SMAN 1 Tuban ini mengawali kariernya menjadi puppeteer (katakanlah orang yang menghidupkan boneka—kalau bukan dalang) untuk pertama kalinya saat masih duduk di bangku ilmu komunikasi UNS Surakarta.
Gaga mengatakan, pada awalnya, saat hendak melakukan pementasan wayang suket, sangat sulit mengajak teman-teman yang berasal dari Indonesia. Tapi, saat ia mengajak mereka yang dari luar, orang-orang manca berkulit pucat itu, Gaga disambut dengan penuh antusias. “Awalnya teman-teman saya yang bule-bule itu justru yang ngoyak-ngoyak [baca: menyemangati] saya,” kata Gaga, bernostalgia.
Rumput mendong, bahan baku wayang suket | Foto: Dok. Wayang Suket Indonesia
Saat ia mendirikan Wayang Suket Indonesia, 80 persen anggotanya berasal dari luar negeri—dari Amerika hingga Eropa. Kebanyakan dari bule tersebut adalah mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Bersama mereka, Gaga mementaskan wayang suket. Dan mereka kebanjiran tawaran manggung, dari dalam dan luar negeri. Berkat kemampuannya berbahasa Inggris, itu berkah bagi Gaga.
Jadilah Gaga dan Wayang Suket Indonesia terbang ke mana-mana, pindah dari satu panggung pertunjukan ke panggung lainnya. Dari Solo ke Jakarta, Hungary, Qatar, Taiwan, sampai Korea Selatan. Dari panggung konser di Balai Soedjatmoko (2018), sampai pentas di International Gamelan Festival pada tahun yang sama.
Dari Galeri Indonesia Kaya (2019), ArtJog Festival 2019, Parade Pertunjukan Seni Media Baru 2020, sampai di Helateater Salihara 2023. Dari Karakulit International Shadow Theatre Festival 2023 di Hungary, terbang ke panggung Years of Culture 2023 di Qatar, berkemas ke Lize Artist in Residence Program 2023 di Taiwan, dan belakangan performance di Busan University of Foreign Studies 2024 di Korea Selatan.
“Tapi sekarang sudah sebaliknya. 80 persen anggota kami dari Indonesia, selebihnya dari luar. Bahkan tim inti pementasan juga 100 persen orang Indonesia,” ujar Gaga sembari bersyukur.
Beberapa anak punk ikut workshop wayang suket di Sukabumi, Jawa Barat | Foto: Dok. Wayang Suket Indonesia
Selama ini, ide cerita Wayang Suket Indonesia selalu mengangkat kisah legenda atau cerita rakyat, seperti Roro Jonggrang, Aji Saka, Jaka Tarub, dan sebagainya. Setiap pentas, Wayang Suket Indonesia menampilkan kolaborasi visual, musik, dan storytelling trilingual language (bahasa Inggris, Indonesia, dan Jawa). Setiap cerita rakyat dibawakan dengan kemasan baru—dengan muatan kritik sosial, humor, dan pesan moral yang lebih segar. “Sekali pentas membutuhkan 6 sampai 12 orang,” terang Gaga.
Pementasan wayang suket dilakukan dengan teknik bayangan (shadow art techniques), yang menggabungkan perpaduan antara wayang suket dan seni visual bayangan. Terdapat tiga komponen utama dalam pementasan semacam ini, yaitu (1) wayang suket sebagai props atau alat untuk membawakan cerita, (2) visual art sebagai pendukung untuk memvisualisasikan latar belakang cerita, dan (3) musik sebagai pengiring yang lebih memberikan jiwa dan rasa pada pementasan wayang suket.
“Tapi kegiatan Wayang Suket Indonesia tidak hanya pertunjukan saja,” terang Gaga. Setidaknya ada empat hal yang mereka lakukan. Pertama, lokakarya membuat wayang suket; kedua, pementasan wayang suket; ketiga, eksibisi wayang suket; dan keempat, kegiatan sosial. “Misalnya terjadi bencana alam, biasanya kami melelang karya, dan hasilnya kami sumbangkan. Atau sekadar pentas di tempat bencana, sebagai semacam trauma healing,” Gaga mempresentasikan program-programnya secara umum.
***
Di Desa Semanding Gaga mencerap api kecil (jiwa) kesenian dari sang kakek—yang notabene sebagai seniman keroncong. Sosok yang ia panggil Mbah Kung itulah yang kerap mengajaknya latihan keroncong dan menonton pertunjukan wayang kulit, dulu. “Saya senang saat diajak nonton wayang, walaupun belum mengerti alur ceritanya,” ujar Gaga.
Sebagaimana telah disampaikan di atas, Gaga lahir dan besar di Tuban, Jawa Timur. Bahkan setelah lama tinggal di Yogyakarta, sekira lima tahunan, ia pulang kampung ke Dusun Semanding Barat, Desa Semanding, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. “Saya pulang kampung biar relasi saya dari berbagai negara di dunia itu tahu kalau Wayang Suket Indonesia itu dari Tuban,” kata dia.
Menurut Gaga, pada saat ia SMA dulu, ekosistem kesenian kontemper atau tradisi di Tuban cukup bergeliat. Pentas teater cukup ramai di Gedung Budaya Loka. Lalu seni pertunjukan macam sindir atau langen tayub, sandur, masih hidup dan lestari di desa-desa. Tapi setelah pulang kampung beberapa tahun yang lalu—Gaga cukup lama “meninggalkan” Tuban untuk menambang ilmu di beberapa kota—ia agak kaget.
Gaga Risky dan Wayang Suket Indonesia saat memberikan workshop di Kota Semarang | Foto: Dok. Wayang Suket Indonesia
“Saya merasa kesenian dan kebudayaan di Tuban sekarang tidak seramai dulu. Makanya saya punya cita-cita membuat festival di Tuban, tapi masih merangkai dan mencoba membangun relasi dengan teman-teman seniman di Tuban,” terangnya.
Ekosistem kesenian dan kebudayaan di Tuban tampaknya memang sedang rebah—kalau bukan pingsan atau bahkan mati suri. Hal-hal yang berbau sastra, teater, atau katakanlah kesenian tradisi, seperti tak memiliki ruang jembar untuk berkembang. Festival-festival digelar hanya sekadar seremonial dan terkesan hiburan—untuk tidak mengatakan hura-hura—semata.
Tampaknya, barangkali kesenian di Tuban memang telah lama tinggal semata sebagai (aktivitas) kesenian. Ia telah menjadi sirkus pasar malam setiap akhir pekan atau di bulan-bulan tertentu dalam bentuk festival-festival populis dengan artis-artis musik yang sedang naik daun. Ia menjadi festival kostum dan perayaan setahun sekali dalam rupa karnaval-karnaval. Lalu untuk apa kesenian dan kebudayaan ketika ia sudah sampai di tahap itu?
Namun, dengan pulangnya Gaga dan wayang suketnya, Tuban masih memiliki harapan—masih ada cahaya di ujung lorong sana.
Saat ini, Wayang Suket Indonesia masih berjalan sebagaimana visi-misinya, yakni melestarikan dan mengenalkan wayang suket dan cerita-cerita rakyat Indonesia ke seluruh dunia. Sembari terus menjalankan program, Gaga dan Wayang Suket Indonesia tak berhenti belajar.
Wayang Suket Indonesia saat pentas di ArtJog Festival 2019 | Foto: Dok. Wayang Suket Indonesia
Mereka terus berusaha mengeksplorasi bentuk-bentuk artistik baru. Melakukan riset-riset yang dapat menguatkan ekosistem wayang suket. Dan terus terlibat dengan banyak agenda festival untuk merawat relasi sebagai penguat modal sosial.
“Seniman harus terus mencari, pencarian yang takkan pernah selesai,” kata Slamet Gundono, maestro wayang suket di Indonesia.
Akhirnya, Wayang Suket Indonesia akan terus tampil total, unik, dan menarik. Menggelitik, namun jauh dari vulgar. Sarat kritik, tapi tidak kasar. Selalu memproduksi sindiran (sarkas) segar untuk isu aktual. Kadang penonton diajak terbahak, atau sekejap diantarkan untuk menangis.
Wayang suket selalu tampil lentur, memang. Durasi pementasannya tak pernah baku, tergantung panjang-pendek cerita yang dibawakan. Begitu pula iringan musiknya. Dan lakon memang bersumber dari cerita rakyat, tapi diperkaya dengan konteks, isu-isu terkini, serta cerita keseharian yang sedang jadi sorotan publik, misalnya.
Maka, wayang suket pun menjadi media seni teater berbasis kesenian wayang yang tak hanya sekadar populer, tapi juga berakar dari jiwa Jawa itu sendiri. Pesan-pesan kebaikan lewat visual, dialog, dan lagu-lagu, menarik lebih banyak orang dari lintas usia untuk memetik dan mendapatkan ibrah manis darinya. Bukan begitu, Mas Ga?[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole