BARU saja Prabowo Subianto dilantik menjadi Presiden Indonesia yang baru. Baru saja pula ia melantik punggawa-punggawa (menteri, dll) untuk membantu menjalankan program-programnya—atau visi-misinya—selama lima tahun ke depan, terlepas di tengah perjalanan nanti akan ada pergantian-pergantian punggawa tersebut sebagaimana pemerintahan yang sudah-sudah.
Sehari setelah mantan jendral TNI itu dilantik dan sah sebagai pemimpin negara, tiba-tiba saya teringat sebuah buku yang saya baca beberapa tahun yang lalu saat masih menjadi mahasiswa. Buku itu berjudul Indonesia Kita—buku yang ditulis oleh Guru Bangsa Nurcholish Madjid (1939-2005) pada tahun 2003, setelah ia melakukan perjalanan ibadah umroh, dua tahun sebelum ia kembali ke pangkuan sangkan paraning dumadi.
Saya tidak tahu secara pasti alasan kenapa dari sekian banyak buku tentang negara-bangsa hanya buku itu yang saya ingat. Mungkin karena beberapa kali saya baca, atau barangkali juga oleh sebab di sana terdapat sepuluh tawaran untuk membangun kembali Indonesia—yang menurut saya masih penting untuk dibicarakan. Dan tampaknya alasan terakhir inilah yang tiba-tiba menggerakkan saya untuk membaca kembali buku tersebut.
Saya membaca secara cepat saja—bahkan hanya di bagian-bagian tertentu, yang saya pikir memiliki konteks dengan kondisi negara-bangsa kita di hari-hari ini. Untuk itulah saya langsung melompat pada halaman 114 di bab “Platform Membangun Kembali Indonesia” yang menjelaskan hal-hal—atau, katakanlah, tawaran solusi—yang harus dipikirkan, pula dilakukan pemimpin bangsa ini (dalam hal sekarang merujuk kepada Prabowo Subianto dan para punggawanya) dalam membangun Indonesia ke depan.
Tapi, dalam tulisan sederhana ini, sebelum saya cuplik sepuluh pesan—atau “risalah”, sebagaimana Cak Nur menyebutnya—membangun kembali Indonesia itu, izinkan saya menyampaikan betapa Indonesia Kita memang penting kita baca dan pelajari kembali. Sebab, selain berisi pandangan tentang negara-bangsa, buku ini juga merupakan puncak pemikiran Cak Nur—panggilan akrab Nurcholish Madjid—selama ia bergulat sebagai intelektual pemikir bangsa.
Indonesia Kita lahir dari perenungan mendalam mengenai kenegaraan, keislaman, kemanusiaan, kebudayaan, dan politik dalam bingkai keindonesiaan—yang berusaha meneropong Indonesia jauh ke depan. Ini merupakan refleksi mendalam atas situasi mutakhir bangsa ini.
Cak Nur memulai Indonesia Kita dengan pembahasan dengan menggali akar historis bangsa Indonesia, sejak dari nasionalisme klasik di Nusantara hingga situasi saat ini. Berangkat dari perkembangan sejarah tersebut, Cak Nur menyimpulkan bahwa proses menjadi bangsa Indonesia bersifat dinamis, tergantung kepada kita ke mana mau membawanya. Karena itu, usaha untuk merumuskan kembali makna menjadi bangsa Indonesia selalu relevan.
Pada bab terakhir, yakni “Platform Membangun Kembali Indonesia”, Cak Nur menuliskan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang masih dalam pertumbuhan “penjadian diri” (in making) (hal.114)—dalam bahasa lain masih muda dan kurang matang. Oleh sebab proses menjadi bangsa bersifat dinamis, telah banyak pula para tokoh pendiri negara merintis usaha penggalian ide-ide terbaik untuk negara dan bangsa Indonesia.
Tetapi, sebagaimana dikemukakan Cak Nur dengan sangat jernih, ide-ide itu belum semuanya terlaksana dengan baik. Bagian-bagian yang telah terlaksana, khususnya wujud negara Republik Indonesia itu sendiri, merupakan modal utama bagi kita, sebagai peninggalan baik para patriot nasionalis pendiri negara itu.
Tetapi bagian-bagian yang belum terlaksana, seperti pembangunan nasional demi maslahat umum dengan keadilan dan kejujuran, merupakan sumber berbagai krisis yang melanda kita hingga sekarang ini. Menurut Cak Nur, itu disebabkan oleh faktor kemudaan yang juga berarti kekurangmatangan kita semua sebagai bangsa baru, ide-ide terbaik para pendiri negara itu, dalam pelaksanaannya sering berhadapan dengan apa yang dikatakan Bung Hatta sebagai “jiwa-jiwa kerdil sebagian pemimpin kita” (hal.116).
Atas latar belakang itulah, dalam Indonesia Kita, Cak Nur mencoba merumuskan sepuluh platform membangun kembali Indonesia.
Pesan kepada Para Pemimpin
Buku ini ditulis Cak Nur di masa trasisi dari pemerintahan otoriter Orde Baru ke sistem demokrasi. Indonesia Kita merupakan respons yang diberikan Cak Nur sebagai cendekiawan Muslim terhadap proses demokrasi bangsa ini yang belum kunjung membaik. Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru sebetulnya merupakan jalan baru sekaligus kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menentukan sejarahnya sendiri menjadi lebih baik.
Ada korelasi penting antara hadirnya karya ini dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004 silam. Bisalah dipahami mengapa Cak Nur menulis 10 Platform Membangun Kembali Indonesia di bagian akhir buku ini. Dan saya pikir, pemerintahan yang baru saja dilantik ini juga perlu menjadikan buku ini semacam referensi (kajian) pustaka dalam menentukan arah kebijakan setidaknya lima tahun ke depan.
Bagi Cak Nur, 10 Platform ini dapat menjadi modal dasar membangun kembali bangsa Indonesia dari keterpurukan sekaligus agar mampu berdaya saing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berikut 10 risalah Cak Nur yang saya pikir, sekali lagi, penting untuk dibaca para pemimpin yang baru-baru ini dilantik dan akan terpilih pada Pilkada nanti.
Risalah pertama, mewujudkan “good governance” pada semua lapisan pengelolaan negara. Kata Cak Nur, pertama-tama yang diperlukan untuk mengakhiri krisis besar sekarang ini ialah bagaimana mengelola negara secara baik dan benar, berkenaan dengan penyelenggaraan pemerintah dan penggunaan kekuasaan (running government and exercising power).
Tumpukan krisis banyak segi yang menggunung sekarang ini dapat diibaratkan sebuah gunung es raksasa sedemikian besar, sehingga sulit dihancurkan dari kaki dasarnya. Karena gunung es adalah benda mengambang, maka setiap kali puncaknya dipotong atau dihancurkan, setiap kali pula akan menyembul puncak baru ke permukaan.
Untuk mewujudkan good governance, kata Cak Nur, memerlukan kekuatan yang besar untuk dapat meyeret gunung es itu ke sekitar khatulistiwa. Kekuatan besar itu ialah tekad bersama seluruh komponen bangsa, untuk secara bahu-membahu menanggung beban tanggung jawab penyelesaian masalah nasional, dan penyatuan seluruh kekuatan nasional dalam semangat “samen bundeling van alle krachten van de natie”.
Namun, menurut Cak Nur, tekad persatuan itu hanya akan terwujud jika bangsa ini dipimpin oleh sosok yang berwibawa, yang akan tampil menjadi lambang harapan bersama, sumber kesadaran (sense of direction) dan kesadaran tujuan (sense of purpose) dalam hidup bernegara, dan menjadi dorongan rakyat untuk dengan penuh kerelaan mendukung dan mengambil bagian dalam perjuangan nasional.
Mewujudkan good governance menjadi perkara mustahil jika unsur patrimonialisme dan feodalisme masih dipelihara dalam struktur sosial-kultural bangsa kita. Dua hal ini pula yang kerap menjadi sebab pemimpin gampang sekali melakukan penyelewengan-penyelewengan yang mengandung conflict of interest, yang sesungguhnya adalah jenis kejahatan korupsi—apalagi dengan gemoy-nya kabinet Prabowo hari ini yang rawan melakukan “kejahatan” anggaran dana.
Pembangunan demokrasi yang adil, berserta pelaksanaan prinsip-prinsip good governance, mensyaratkan dihancurkannya feodalisme. Pemberantasan KKN akan sangat banyak tergantung kepada seberapa jauh kita mampu memberantas feodalisme dan budaya suap-menyuap—yang sepertinya sangat sulit dilakukan pemimpin hari ini mengingat masih kuatnya praktik budaya “politik balas budi”—dum-duman bucu—di tubuh pemerintah.
Kedua, menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen. Pelaksaan good governance diharapkan akan mendorong pelaksanaan asas hukum dan keadilan secara tegar, tegas, dan teguh. Sebaliknya, tanpa tegaknya asas hukum dan keadilan, pelaksanaan good governance adalah mustahil.
Lepas dari benartidaknya banyak sinyalmen dalam masyarakat tentang dunia peradilan kita yang terjerat oleh jaringan penyimpangan dan manipulasi hukum yang terorganisasi (semacam organized crime), segi penegakan hukum memang merupakan titik paling rawan dalam kehidupan kenegaraan kita (hal.123).
Ketiga, melaksanakan rekonsiliasi nasional. Dalam hal ini ada tiga hal yang dituliskan CaK Nur, yakni menarik pelajaran pahit dari masa lalu dengan tekad tidak mengulanginya, menatap masa depan dengan pendamaian dan penyatuan seluruh kekuatan bangsa, dan menegaskan garis pemisah antara masa lalu dan masa mendatang.
Harus diakui bahwa usaha rekonsiliasi akan berhadapan dengan tembok memori kolektif yang penuh dengan stigma dan trauma. Pengalaman-pengalaman pahit di masa yang telah lalu adalah sangat berharga bagi kita sebagai bahan pelajaran untuk tidak diulang lagi di masa mendatang. Tapi, sampai sejauh ini, tampaknya pemerintah abai saja terhadap hal-hal demikian.
Lihatlah, baru-baru ini Yusril Ihza Mahendra, yang dilantik Prabowo sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, bahkan mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan bahwa peristiwa ‘98 bukan termasuk pelanggaran HAM berat.
Keempat, merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah. Menurut Cak Nur, semua usaha itu tidak akan berjalan seiring dengan adanya kemelaratan rakyat. Mengingat, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 masih 25,22 juta orang.
Pengalaman bangsa kita yang baru lalu, dengan sistem ekonomi berat dari atas, telah membuktikan bahwa pola pendekatan top down telah menciptakan lahan subur untuk berbagai bentuk penyelewengan, khususnya kejahatan KKN, dan praktik-praktik yang mengandung pertentangan kepentingan (conflict of interest) seperti paham kefamilian dan perkoncoan atau kroniisme (hal.131).
Kelima, mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata demokrasi: kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers dan akademik), pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan.
Berkaitan dengan semua itu, di antara berbagai hasil gerakan reformasi 1998, kebebasan adalah yang paling berharga dan paling bermakna. Kebebasan itu, yang pelembagaan konkretnya melahirkan noktah-noktah kebebasan warga negara (civil liberties) berupa kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat—walaupun belakangan isu tentang otoritarianisme kembali mencuat.
Keenam, meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional dengan membangun harkat dan martabat personel dan pranata TNI-Polri dalam bingkai demokrasi.
Ketujuh, memelihara keutuhan wilayah negara melalui pendekatan budaya, peneguhan ke-Bhinneka-an dan ke-Eka-an, serta pembangunan otonomisasi (yang berkelanjutan). Pikiran memberi hak kepada daerah untuk mengatur sendiri “urusan rumah tangga” masing-masing terkait erat dengan masalah keadilan, khususnya keadilan antara pusat dan daerah bersangkutan, dan bertujuan mengakhiri eksremitas sentralisme yang telah terbukti merupakan salah satu sumber besar masalah nasional—termasuk dalam hal kurikulum pendidikan.
Kedelapan, meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara. Di antara berbagai macam investment, investasi atau penanaman modal untuk suatu bangsa, tidak ada yang lebih penting, lebih produktif dan lebih bermakna daripada investasi atau penanaman modal manusia melalui prasarana pendidikan yang baik, dengan mutu yang tinggi dan jumlah yang merata.
Dalam hal ini Cak Nur membahas empat hal penting, yakni masalah investasi modal manusia; masalah penelitian; masalah pendidikan agama; pendidikan perempuan; kesehatan sebagai pendidikan; dan pendidikan lingkungan.
Kesembilan, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan bernegara. Ini cita-cita kita bersama. Ringkasnya, penciptaan keadilan sosial adalah sejajar dengan pengertian “negara sejahtera” (welfare state), yang menuntut tersedianya standar hidup minimal untuk setiap warga. Penciptaan keadilan sosial menjadi lebih relevan untuk bangsa kita yang sedang bergerak menjadi negara industri. Ditambah lagi, bahwa urbanisasi sangat mengurangi rasa tanggung jawab antarsesama manusia, sebagai akibat gaya hidup tidak saling kenal (anonymous).
Dan terakhir, kesepuluh, mengambil peran aktif dalam usaha bersama menciptakan perdamaian dunia.
Itulah sepuluh platform membangun kembali Indonesia ala Cak Nur yang saya kutip sepenggal-sepenggal. Selebihnya Anda bisa membaca kembali risalah “Indonesia Kita” secara langsung, supaya dapat menemukan sendiri nilai-nilai dan konteks yang disampaikan Cak Nur.
Akhir kata, mengutip Fachrurozi dalam Indonesia Kita: Menafsir Ulang Negara-Bangsa, uraian Cak Nur yang termaktub di buku ini sangat mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Model uraian seperti ini boleh juga dicontoh kalangan akademik, yang juga dikritik Cak Nur lantaran terlalu mengawang dan menggunakan bahasa rumit yang kurang dipahami masyarakat umum.
Karya ini sangat penting dibaca oleh generasi muda dan para pemimpin bangsa sebab berisi informasi hasil pembacaan ulang atas sejarah nasionalisme klasik serta situasi politik Indonesia kontemporer, sehingga bisa mengubah pandangan jalan hidup bangsa ini. Oh Tuhan, saya lupa, kalau Wakil Presiden kita yang baru saja dilantik, dengan jelas mengaku tidak suka membaca buku.[T]