SENIN Kliwon Kuningan, 30 September 2024, begitu masuk mulut Tol Bali Mandara, Pesanggaran, datang sembahyang dari Pura Dasar Bhuana Gelgel, tiba-tiba saja saya teringat dengan peristiwa Ujung pada akhir 1970-an hingga pertengahan 1980-an.
Bagi orang-orang Delod Ceking, sebutan Ujung mengacu pada Pelabuhan Benoa. Ke sanalah orang-orang Delod Ceking menjadi buruh membongkar barang aneka jenis, termasuk bahan makanan (beras, gula, kopi, ikan). Mereka diantar-jemput dengan truk secara berkelompok dan mengikuti jam kerja (siang atau malam). Itu dilakoni para buruh Delod Ceking penuh semangat dedikasi dengan integritas mahatinggi.
Mereka dominan dari Bukit Kutuh, Ungasan, Pecatu. Orang-orang Bualu menyebutnya nak uli beduur—orang dari atas—karena secara geografi ketiga desa itu berada di bukit yang rerata lebih tinggi posisinya daripada Bualu dataran yang relatif lebih subur dengan air yang berlimpah.
Begitu memasuki Gerbang Tol Pesanggaran, tempat menggesek kartu pembayaran, pengguna Tol Bali Mandara dari arah Denpasar disuguhkan pemandangan yang indah di sebelah kiri dengan empat arah seolah pintu ke luar bangunan penunjang.
Entah apa yang akan nanti dibangun di sana. Itu berada di anjungan yang beberapa meter lagi bisa terhubung dengan Jalan Tol Bali Mandara terusan terdekat menuju Bandara Ngurah Rai. Jalan Tol pertama di atas laut Bali (Suung Prapat) ini diresmikan SBY pada 2013, menjelang KTT APEC di Nusa Dua Bali.
Sampai di pertengahan Tol Bali Mandara dengan anjungan mendekat ke timur seakan menggapai taman pelabuhan, tiba-tiba saja menggiring pikiran saya akan ada jalan penghubung hanya beberapa meter lagi. Dari sini tampak Gumi Delod Ceking sangat jelas dan padat aneka bangunan.
Tiang-tiang pemancar TV dan Telkomsel di Tegeh Kaman tampak menjulur ke langit, bangunan-bangunan hotel, vila, patung GWK dan fasilitas pariwisata lainnya tampak mendominasi. Kampus Poltekpar Bali dan Unud juga jelas terlihat. Begitu pula SMA Negeri 2 Kuta Selatan tampak nyata di pinggir rawa-rawa dengan atap genting yang tampak merah bersebelahan dengan Pura Taman Mumbul, tempat orang biasa melukat.
Berdekatan dengan Pura Taman Mumbul juga berdiri Pura Dalem Mumbul dan Pura Ratu Ayu dalam satu Palebahan Pura. Di antara kedua Pura itulah tampak jukung-jukung nelayan tradisional sedang parkir bila laut lagi surut.
Bila mulai pasang manda (panglong/penanggal ping 8,9,10,11,10) para nelayan tradisional itu pun menumpahkan harapannya pada budi baik Pasih Suung Prapat dan terhubung dengan laut Benoa, tempat kapal-kapal pesiar parkir. Jejak nelayan tradisional nyata adanya, sebagai sumber kehidupan. Sebelum 1980-an, di sebelah Timur Pura Taman Mumbul adalah gerombong tempat membakar pamor untuk memelester rumah.
Membaca Gumi Delod Ceking dari Tol Bali Mandara seperti membuat cerita dengan flash back. Dengan kearifan lokal Bali, membaca dari hulu ke teben. Ibarat melakukan refleksi, mulai dari kepala ke kaki. Perlu hati-hati agar tidak tertipu fatamorgana yang menipu mata penglihatan dan menipu mata hati.
Berbeda dengan membaca arah Kaja dari arah Delod Ceking yang berada pada ketinggian, relatif bacaan kita lebih komprehensif. Membaca Delod Ceking dari hulu yang dataran rendah dengan Pasih Suung Prapat, desa-desa yang tampak hanya bagian ulu desa, kecuali Desa Adat Kampial yang paling jelas tampak dengan kepadatan pemukiman yang nyaris tampak tanpa bengang.
Sementara itu, Desa Adat Kutuh, Ungasan dan Pecatu juga tampak sebagian, yaitu bagian utara desa. Desa Adat Kutuh tampak ramai dengan pemancar-pemancarnya seperti ranjau menusuk langit. Inilah yang disebut tol langit oleh Jokowi saat kampanye Presiden pada 2019 yang mengaku tanpa beban karena pada 2024 tidak punya kepentingan lagi. Walaupun nyata-nyata berkepentingan menjelang masa akhir jabatannya dan semua orang pun tahu kepentingannya.
Itulah politik, selalu menggelitik. Ibarat kalimat tidak berakhir dengan titik, selalu berakhir dengan koma seakan cerpen dengan akhir menggantung. Tergantung pembaca mengapresiasi secara cerdas dan bernas dengan pisau bedah bertuah sehingga tidak menyesatkan.
Dari Tol Bali Mandara kita dapat memandang timur laut Desa Adat Ungasan tampak Puncak Tegeh Goa Gong yang dikelilingi vila-vila, sedangkan di barat lautnya jelas tampak indahnya Puncak Tegeh Buhu yang berdekatan dengan Patung GWK.
Sementara itu, di utara Desa Adat Pecatu, dari Tol Bali Mandara, pejalan kehidupan dapat menyaksikan kawasan Pecatu Graha dan Bukit Balangan dengan Banjar Cengiling yang menjadi kawasan pemukiman dari 4 desa adat, yaitu Desa Adat Jimbaran, Ungasan, Pecatu, dan Kutuh.
Itu membuktikan, Cengiling adalah kawasan subur yang berhasil ditempati krama dari 4 desa adat yang saling bertetangga dengan tetap memegang teguh sima desa adatnya masing-masing. Dengan kalimat lain, mereka adalah krama pararudan dengan kesetiaan memertahankan desa adatnya masing-masing. Namun, mereka hidup rukun.
Begitulah, membaca Gumi Delod Ceking dari Tol Bali Mandara, ada desa yang tampak jelas, samar-samar, bahkan nyaris tak terbaca. Namun demikian, di seputar Tol Bali Mandara, GM Sukawidana, penyair yang pelaut, banyak mendapatkan mutiara di seputar pasih ini.
Penyair yang pelaut selain gemar memancing ikan juga beroleh mutiara kata yang menjadi mahkota buat puisi-puisinya. Salah satu puisinya berjudul “Puisi Muara Teluk Benoa” (karena kau telah minum, putu satria kusuma).
Putu, apakah kau minum tuak, arak, atau …?
Mari minum saja di sini, putu
Ini lapak tua pan sondri
Tuak yang disadap dari darah dan air mata nenek moyangku
Perih terasa memang tapi mari dan mari bersulang di sini
Tenggak habis seberapa kau bisa
…
Bulan terkapar di tempayan
Anak-anak pesisir teluk benoa
Dengan bara api di tangan
Mencari-cari jejak moyangnya
Ke celah-celah bakau di pasang air payau
…..
Puisi GM Sukawidana itu tegas mengingatkan kita para pejalan kehidupan akan kehidupan masa lalu sebelum Serangan diserang reklamasi; sebelum Teluk Benoa diserang Tol Bali Mandara. Kedua proyek itu sempat mendapat perlawanan pada zamannya. Toh pada akhirnya juga jadi dan digunakan lalu-lalang oleh mereka yang menentang kehadirannya, termasuk GWK yang menjadi mercusuar kegiatan berskala dunia tak luput dari tentangan warga. “Perih terasa memang tapi mari dan mari bersulang di sini/Tenggak habis seberapa kau bisa”.
Betapa pun pembangunan secara masif terjadi, jejak ingatan seyogyanya tidak terhapus oleh proyek mercusuar. Harus ada yang ngeh mencatat agar jejaknya tidak ditelan zaman. GM Sukawidana telah mencatat dengan puisi. Terbuka peluang mencatat dengan lagu pop (Bali, Indonesia), dengan tari Bali, dengan lukisan.
Sangatlah bagus bila semua itu dikerjakan orang Bali. Membaca Bali dari Bali. Gede Prama bilang, berguru ke dalam. Maguru ke tengah. Maguru ke Dalem. Maguru ke Siwa tanpa tabu berguru ke luar, sebagaimana orang-orang Delod Ceking menerima pendatang dari segala negeri.
Membludaknya pendatang ke Delod Ceking tak ubahnya buku yang perlu dibaca secara kritis dan humanis agar harmonisasi tetap terjaga. Diperlukan pembaca literat![T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT