PELUKIS yang tidak ingin disebut pelukis, bisa jadi hanya Edi Bonetski menyatakan hal demikian. Perupa kelahiran Jakarta, pada 1971 itu lebih suka menyebut diri sebagai seorang penafsir.
“Saya sejak dulu tidak mau disebut pelukis, melainkan penafsir bunyi, penafsir visual dan penafsir peristiwa atau momentum. Menciptakan momentum, pembuat tubuh dan peristiwa,” katanya, saat ditemui pada Kamis (17/10/2024) di Kerobokan, Badung, Bali.
Edi menuturkan, dirinya menyukai seni dimulai pada usia dini, sejak kelas 3 sekolah dasar (SD). Bahkan, hingga sekarang ia masih ingat nama guru-guru yang pernah mengajarinya menggambar di sekolah.
Saat SD pula, ia mulai melakoni seni musik. Dari hasil berjualan koran, ia bisa membeli alat musik. Wilayah tempat tinggal keluarga Edi berada di dekat sebuah terminal, memberi suasana yang banyak melahirkan inspirasi baginya.
“Pada masa-masa awal saya menggambar bermula dari bunyi musik. Saya membuat komposisi musik, mendirikan kelompok musik atau band. Sambil terus menggambar. Ini bukan soal tekun atau tidak. Saya melihat itu sebagai sebuah keseimbangan, anime atau budidaya rasa yang saya tanam dengan senang hati dan gembira,” ujarnya.
Karya-karya Edi Bonetski | Foto; Angga Wijaya
Budidaya rasa yang menjadi penekanan baginya dalam berkarya, membawa Edi Bonetski menjadi pelukis yang diperhitungkan, baik di dalam maupun di luar negeri. Seni lukis pula yang membawanya hingga ke Belarus, Eropa, selain menggelar belasan pameran tunggal di beberapa kota di Indonesia.
Di Bali, Edi Bonetski menggelar pameran lukisan tunggal ke-18, bertajuk “Cover Me with Paint” bertempat galeri seni Sadik Arts Brokerage, Jalan Gunung Tangkuban Perahu No. 98, Kerobokan, Badung. Pembukaan pameran akan digelar pada Sabtu, 19 Oktober 2024.
Samantha Sadik, seniwati asal Australia sekaligus pemilik Sadik Arts Brokerage mengatakan, Edi Bonetski adalah perupa yang sedang mengikuti program residensi di galeri miliknya.
“Bagi saya, Edi Bonetski adalah seniman jenius yang langka dimana semangat dan kebebasannya dalam berkarya sangat memukau. Pameran lukisan ini juga merupakan pertemuan antara dunia Timur dan Barat, bagaimana idealnya seniman dikeloa, dipromosikan dan didukung,” jelas Samantha.
Bahkan, harapan dia, karya-karya seni dari seniman asal Indonesia bisa menembus pasar global. Ini, kata Samantha, akan bisa terwujud jika manajemen seni benar-benar diterapkan dengan baik.
Karya-karya Edi Bonetski | Foto; Angga Wijaya
Edi Bonetski menambahkan, atmosfer seni yang sehat bisa dilihat dari kerjasama beberapa pihak, misalnya saja seniman, kurator seni, pemilik galeri, jurnalis dan pemerintah.
“Jadi seniman hanya berpikir tentang bagaimana ia bisa terus berkarya, tidak lagi berpikir soal materi karena sudah ada yang mengurus itu, termasuk pemerintah dengan program-program yang mendukung seniman, seperti di negara-negara maju,” ucapnya.
Ditanya tentang Bali, Edi Bonetski menyebut pulau dewata adalah tempat yang memberinya energi positif untuk dia berkarya. Perkenalannya dengan banyak warga membuatnya yakin bahwa Bali begitu ramah, hangat dan terbuka terhadap warga yang berasal dari luar Bali bahkan dari mancanegara.
Edi Bonetski | Foto; Angga Wijaya
“Saat melukis di luar galeri, saya sering dibawakan minuman dan makanan oleh warga sekitar. Itu tercipta karena adanya rasa tenggang rasa dan tepa selira, ciri khas budaya Nusantara yang kini sayangnya mulai hilang,” sebut Edi.
Pameran lukisan ‘Cover Me with Paint’ kemudian menjadi hasil pergumulan Edi Bonetski selama berada di Bali. “Misalnya tentang jalanan yang macet, saya tuangkan ke dalam kanvas, juga tentang orang-orang yang hidup dan menetap di Bali, semua memberi inspirasi bagi saya,” kata Edi. [T]