SETELAH berziarah ke Candi Borobudur dan Candi Prambanan, melanjutkan shopping malam di Malioboro Yogyakarta, pada Rabu, 2 Oktober 2024,rombongan widya wisata SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska) berguru ke UGM. Di UGM rombongan Toska dibagi dalam dua kelompok.
Kelompok peminatan sosial-humaniora berguru ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan kelompok peminatan sains berguru ke Fakultas Kedokteran (FK). Di masing-masing kelompok peminatan didampingi oleh sejumlah guru/pegawai.
Saya mendampingi siswa di FIB UGM. Di sini, rombongan diterima di Lantai 7 Gedung R. Soegondo oleh Ibu Sueti bagian Humas didampingi dua mahasiswa, seorang mahasiswa Pascasarjana (S-2 Linguistik) dari Sulawesi dan mahasiswa S-1 dari Solo. Acara dimulai dengan perkenalan dan tujuan kunjungan Toska ke UGM.
Kemudian, Ibu Sueti dari Program Studi Antropologi menayangkan keberadaan FIB UGM dibantu mahasiswa sebagai operator. Dari tayangan itu, tergambar sejarah FIB berdiri 3 Maret 1946 dengan nama Faculteit Sastra, Filsafat, dan Kebudayaan.
Sejak berdiri, fakultas ini sudah 6 kali berganti nama, yaitu Fakulteit Sastra dan Filsafat; Fakulteit Sastra, Pedagogik, dan Filsafat; Fakultas Sastra dan Kebudayaaan; Fakultas Sastra, dan Fakultas Ilmu Budaya.
Perubahan nama Faculteit Sastra, Filsafat, dan Kebudayaan menjadi Fakulteit Sastra dan Filsafat bersamaan dengan berdirinya Universitas Gadjah Mada, yakni 19 Desember 1949, sebagai Universitas tertua di Indonesia. Itu artinya, Fakultas Ilmu Budaya adalah cikal bakal berdirinya UGM. Mirip dengan FIB Unud yang menjadi cikal bakal berdirinya Unud.
Mencermati perubahan nama itu, secara implisit bahwa cikal-bakal Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) berembrio di Fakultas Ilmu Budaya, itu ditunjukkan oleh perubahan ketiga nama fakultas, yaitu Fakulteit Sastra, Pedagogik, dan Filsafat.
Kata “Pedagogik” mencerminkan asal mula Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kelak, inilah yang melahirkan FKIP kemudian melebur menjadi IKIP Negeri Yogyakarta lalu Universitas Negeri Yogyakarta.
Sejarah ini analog dengan FKIP Unud yang awalnya merupakan bagian dari Universitas Airlangga. Seiring waktu, Unud berdikari lalu FKIP berubah menjadi STKIP lalu IKIP Singaraja kemudian menjadi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja.
Dari sejarah itu, tampak bahwa hubungan Fakultas Ilmu Budaya dengan LPTK yang menaungi pendidikan guru tidak dapat dipisahkan karena keduanya bermula dari satu akar yang sama—bernaung di bawah Fakulteit Sastra, Pedagogik, dan Filsafat.
Pedagogik sebagai ilmu mendidik memerlukan sastra dan filsafat sebagai landasan berpijak. Dengan sastra, pendidikan diharapkan lebih fungsional, selaras dengan fungsi utama sastra sebagaimana menurut Horatius, yaitu dulce et utile—yang berarti menyenangkan dan bersifat mendidik.
Dengan pijakan filsafat, pendidikan lebih terarah dalam merumuskan konsep dan teori untuk membangun pondasi ilmu pengetahuan secara kokoh. Di sinilah tampak pentingnya pembelajaran berdiferensiasi melihat peserta didik seutuhnya.
Saat ini, FIB UGM memiliki 11 Program Studi S-1, 7 Program Magister, dan 3 Program Doktor. Program Studi S-1 antara lain Sejarah, Sastra Prancis, Sastra Jepang, Sastra Jawa, Sastra Inggris, Sastra Arab, Pariwisata, Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Kebudayaan Korea, dan Antropologi Budaya.
Program Studi Magister ada 7, yaitu Magister Sejarah, Magister Sastra, Magister Kajian Amerika, Magister Linguistik, Magister Kajian Budaya Timur Tengah, Magister Arkeologi, dan Magister Antropologi. Selanjutnya, Program Doktor ada 3, yaitu Doktor Pengkajian Amerika, Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, dan Doktor Antropologi.
Sueti juga menjelaskan saat ini UGM memiliki 90 Program Studi bernauang di bawah Fakultas dan Sekolah Vokasi. Dengan 90 Program Studi itu, calon mahasiswa dapat menentukan pilihan studinya di UGM sesuai dengan bakat dan minatnya.
Namun, persaingannya sangat ketat karena calon mahasiswa di UGM berasal dari seluruh Provinsi di Indonesia. Di antara mereka ada yang berkuliah melalui jalur kerja sama dengan Pemerintah Daerah melalui skema beasiswa.
Ketatnya persaingan untuk merebut kursi kuliah di UGM perlu disiapkan sejak dini agar bisa memenangkan persaingan, dengan sejumlah keuntungan: membangun jejaring lebih luas, pilihan studinya banyak dan bervariasi, biaya hidup relatif terjangkau, berada di pusat kota pelajar dengan objek wisata berkelas—Malioboro dan Kraton Yogyakarta.
Selain itu, warganya masih kuat memegang adat dan tradisi tetapi selalu mengisi diri, bergaul dengan orang-orang dari segala penjuru dan kampus sebagai pusat pengkajian. Keuntungan ini selaras dengan teori Trikon Ki Hadjar Dewantara: konsentris, kontinuitas, dan konvergensi.
Sayangnya, gagasan besar itu dipuja dan dipuji, tetapi sumur peradaban Ki Hadjar Dewantara di Perguruan Taman Siswa ditinggal, fenomena ini sejalan dengan puisi “Teratai” karya Sanusi Pane yang dipersembahkan buat Ki Hadjar Dewantara.
Membaca puisi “Teratai” hari ini ibarat membaca wajah Pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara. Keindahannya tersembunyi, tidak dilihat orang berlalu. Ia diabaikan orang, tetapi kembangnya terus memancar gemilang di Jalan Raya Indonesia.
Dua bait terakhir puisi ini; Teruslah, o Teratai Bahagia// Berseri di kebun Indonesia// Biar sedikit Penjaga taman// Biarpun engkau tidak dilihat// Biarpun engkau tidak diminat/Engkaupun turut menjaga Zaman//.
Boleh jadi Teratai yang dimaksud Sanusi Pane itu tumbuh di Perguruan Taman Siswa. Taman Siswa sebagai Perguruan Swasta yang mencetak banyak kader bangsa pada zamannya, setelah kemerdekaan tidak banyak dilirik orang. “Biarpun engkau tidak dilihat/Biarpun engkau tidak diminat/Engkaupun turut menjaga Zaman”.
Dalam konteks kekinian, puisi Sanusi Pane itu boleh jadi sebagai bentuk sindiran terhadap dunia pendidikan. Namun, UGM yang memiliki SDM yang mumpuni sudah sejogjanya berada di garda terdepan dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara.
Aktualisasi itu, misalnya, terlihat setiap Kamis, FIB seperti menggelar festival karena memberikan nuansa Bhineka Tunggal bagi mahasiswa dalam merayakan perbedaan dengan menggunakan pakaian adat daerah masing-masing, termasuk mahasiswa asing dan mahasiswa Program Studi Jepang, Inggris, Korea, Prancis dengan mengenakan pakaian negaranya masing-masing.
Maka, jadilah Kamis berbudaya ceria di FIB UGM. Ini selaras dengan semangat multikulur yang dilembagakan dan dikembangkan di Bulak Sumur untuk memuliakan semboyan Bhineka Tunggal Ika senyatanya. Kampus Bulak Sumur adalah sumur peradaban dengan mutiara berlimpah untuk Indonesia Raya.
Perbedaan dirajut dan ditenun menjadi kain berwarna-warni dengan mengedepankan kearifan (lokal) masing-masing, sesuai dengan asal mahasiswa. Semangat “Glonakalisasi” (global, nasional, lokal) diberikan ruang untuk saling menguatkan tenunan kebangsaan yang penuh mosaik aneka warna.
Melalui cara itu, akan terjadi dialog antarbudaya untuk saling memahami sehingga tidak sampai gagal berguru di UGM. Begitulah sejogjanya jembatan komunikasi dibangun secara humanis melalui terowongan silaturahmi (meminjam istilah Putu Setia) dalam rangka membangun Indonesia Raya dengan memuliakan perbedaan. Perbedaan didekati secara humanis untuk menghindari purbasangka yang menyesatkan.
Sebagai kampus tua, UGM memiliki SDM yang mumpuni dan dihormati. Mereka diabadikan sebagai nama gedung seperti tertera di FIB. Sejumlah tokoh diabadikan namanya sebagai pengingat atas jasanya terhadap FIB.
Fasilitas air minum pun juga tersedia di sini dengan langsung diambil dari keran yang airnya diwadahi tambler oleh mahasiswa untuk diminum. Hanya di UGM saya menemukan model keran keren sekali—airnya langsung diminum.
Sebagai kampus tertua dan terbesar di Yogyakarta, FIB pantas memiliki fasilitas secanggih perguruan tinggi ternama di luar negeri. Apalagi alumninya banyak menjadi orang penting di pemerintahan dan banyak pula berhasil dalam berbagai bisnis yang tentunya tidak sulit untuk selalu bermitra mengembangkan dan membangun kampus.
Banyak teladan yang bisa dipetik dari UGM. Kesederhanaan dan kebersahajaan mahasiswanya tergambar dari moda transportasi yang dipakai; sepeda gayung yang tidak memerlukan tempat parkir yang luas. Lagi pula bebas dari polusi dan menyehatkan pula. Tidaklah rugi kami berguru ke UGM.[T]
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT