PUKUL 11.00 malam waktu setempat, pesawat yang saya naiki mendarat di Bandara Interasional Noi Bai, Hanoi. Betapa terkejutnya saya ketika keluar bandara tanpa harus mengisi Custom Declaration Form, langsung menuju petugas imigrasi, tunjukkan passport, dan bisa keluar. Tidak ribet. Dan dari kesekian kali perjalanan saya keluar negeri, ini yang paling cepat, tanpa isi ini dan itu.
Ratusan angkutan, baik mobil maupun motor, sudah siap menunggu, baik online maupun offline. Ke mana pun dan di mana pun wajib mencari tahu informasi biar tidak sesat di jalan atau di “scam”. Saya mencari kendaraan via aplikasi online sampai ke pusat Kota Hanoi.
Perjalanan kurang lebih 30 menit dari bandara. Pak sopir tampak ingin ramah dan menyapa dengan bahasa Vietnam. Saya paham maksudnya, seraya menjawabnya dengan bahasa Inggris. Kurang lebih dia langsung menebak saya dari Indonesia.
Dan ketika saya berkata Bali, ia langsung berkata melalui Google Translate (Vietnam-Indonesia) yang ditujukan kepada saya. Begini katanya, kurang lebih, “Suatu hari saya sangat berharap bisa berkunjung ke pulaumu yang indah.” Lalu saya memberikan kode dengan balasan isyarat, “Negaramu sangat indah juga.” Dia membalas, “Oke.. Oke.. Oke..” Respon khas orang Vietnam jika mengerti ucapan orang luar.
Vietnam, salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang semakin digemari oleh pelancong dari seluruh dunia. Kali ini, tepat Umanis Galungan saya berangkat menuju Hanoi, Vietnam. Bagi saya, perjalanan adalah pelajaran sebenarnya.
Semenjak beberapa tahun, Vietnam seakan menjadi magnet bagi kaum pelancong, tak terkecuali warga Indonesia. Banyak sekali konten tentang bagaimana negara ini mengemas pariwisata berbasis alam. Ada banyak sawah, danau, irigasi, dan budaya penduduknya yang indah di sini.
Setidaknya begitu yang saya baca dan lihat dari banyak sekali postingan kawan dan juga berita seputar wisata di negara yang dikenal tak terkalahkan dalam perang melawan Amerika Serikat ini.
Tokoh besar Ho Chi Min adalah salah satu alasan saya mengunjungi negara sosialis di kawasan Asia Tenggara ini. Dari cerita selama Perang Indochina Kedua, atau Kháng chiến chống Mỹ (Perang Perlawanan Terhadap Amerika) maupun Chiến tranh Việt Nam (Perang Vietnam), negara yang tak terkalahkan oleh Amerika, seakan membuat Vietnam menjadi icon khusus dalam cerita perlawanan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
***
Sesampainya di pusat Kota Hanoi, saya bergegas ke penginapan. Tak menunggu lama saya langsung disuguhi dengan ribuan orang yang lagi menikmati makanan, minuman, di tengah jalan bersama lalu lalang mobil dan motor. Ini hal yang menarik dan unik.
Bunyi klakson seakan seperti perayaan tahun baru. Setir kendaraan di sini berada di sebelah kiri, sama seperti Eropa. Meski ramai dan berdesakan, sesama pengendara tidak ada satu pun yang terlihat kesal. Saya heran, mungkin sudah terbiasa dan menjadi budaya, pikir saya.
Untuk mengisi perut keroncongan setelah 5 jam penerbangan dari Denpasar, saya mencari makanan khas yang kira-kira masuk selera saya. Dan kebetulan, di depan tempat saya menginap, seorang ibu memanggil, mempersilakan saya untuk membeli makanan yang ia jajakan.
Saya menghampirinya dan membeli jualannya. Makanan itu bernama Pho, makanan khas Hanoi, yaitu mie yang berisi daging, bisa babi, sapi, maupun ayam. Tentunya dengan kuah dan pendamping lalapan atau sayuran mentah dalam satu mangkok besar yang disajikan.
Dalam kondisi masih hangat, Pho memanjakan perut lapar ini, rasanya seperti surga yang sebenarnya. Enak itu relatif, tapi varian makanan di sini memang patut dicontoh. Porsinya generous dan selalu ada peneman sayur.
Sambil melahap kuah, mie, dan daging ayam bercampur kakul (keong sawah), mengingatkan saya bagaimana makanan khas tradisional selalu menjadi andalan di seluruh tempat wisata, tak terkecuali di Hanoi.
Ribuan pengunjung, baik lokal maupun internasional, tumpah ruah menikmati suguhan kuliner malam Hanoi. Setiap jalan dan gang kecil memang punya ceritanya sendiri. Mulai musik tradisional, penyanyi lokal, pedagang buah, dan semua hal yang diberi label UMKM di Indonesia, menjadi tuan rumah.
Saya membayangkan Ubud, Kuta, Canggu, yang harusnya dibikin macet dengan hal-hal seperti ini setiap malamnya. Ada yang mekekawin di pojokan, ada yang metembang, dan makanan khas Bali bertebaran di sepanjang jalan. Setidaknya Hanoi mengingatkan kembali bahwa di tengah kemajuan kota, sudut budaya harus terus dihidupkan.[T]