DARTA berteduh di kubu tengah sawah. Capil klangsah yang dipakainya dilepas dijadikan kipas. Ia tampak gelisah. Lelaki paruh baya ini memikirkan nasib anak gadisnya yang baru tamat sekolah menengah atas. Ia tidak ingin anaknya menyandang status pengangguran. Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tidak mungkin. Pilihan paling realistis mencarikan pekerjaan.
Pikiran lelaki tua itu semakin kusut. Ia tahu, mencari pekerjaan itu sulit. Apalagi anaknya yang baru tamat SMA tidak punya keterampilan. Di dunia kerja, tamatan SMA paling laku sebagai cleaning service atau bekerja di gerai handphone. Darta tak ingin anaknya sekadar bekerja sebagai tukang pel atau penjual pulsa. Sebagai orang tua, ia ingin anaknya mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan masa depan. Pegawai negeri sipil adalah impiannya. Tetapi ia sadar, pekerjaan itu sesulit mencari jarum di tumpukan jerami. Meski jual tanah warisan untuk suap, belum jaminan jadi PNS jika tidak punya kenalan pejabat atau penguasa. Bisa-bisa uang melayang, tanah hilang.
Darta membandingkan pada zaman saat ia seusia anaknya. Saat itu, tidak ada yang puyeng memikirkan pekerjaan. Tamat sekolah, mereka meneruskan tradisi mengolah tanah sawah. Setiap hari ‘berkantor’ di sawah. Tanah sawah itulah yang menyejahterakan kehidupan mereka. Perilaku mereka mengolah sawah menjadi magnet turis mancanegara. Tak jarang saat matekap, nandur, hingga panen menjadi target lensa kamera wisatawan. Sawah berundak-undak dan tradisi yang mereka lakoni menjadi konsumsi wisatawan dan pelaku pariwisata.
“Bekerja sebagai petani sudah ketinggalan zaman. Putu tak mungkin aku jadikan petani,” gumam Darta. Hasil tani tidak seberapa apalagi tanah warisan yang diolah hanya belasan are. “Anakku tidak boleh berkubang lumpur!” tekad lelaki itu.
Dalam lamunannya, tiba-tiba ia teringat Gede Santika, teman sebaya yang kini menjabat ketua dewan dan pimpinan partai. Dulu, Santika sama seperti dirinya, kesehariannya bekerja di sawah. Tetapi nasibnya lebih baik, dilamar partai politik dan didaulat sebagai calon legislatif. Darta ikut berperan menyukseskan karibnya menjadi anggota dewan peraih suara terbanyak. Sebagai pekaseh yang mewilayahi 6 subak, ia mampu membulatkan tekad petani untuk memilih Santika. Tak hanya sekali, Darta mengantarkan Santika tiga kali tembus sebagai wakil rakyat dan pimpinan dewan. Setelah menjabat, Santika tidak lupa asal muasal suara pendukungnya. Ia memanjakan petani dengan kucuran dana bantuan sosial.
Darta ingin menemui Santika, barangkali karibnya bisa membantu putrinya mendapatkan pekerjaan. Meski ada pergolakan dalam bhatinnya, untuk kali ini ia mesti singkirkan idealisme. Siap dicap pamerih demi masa depan anak tercinta. Darta pulang dan merencanakan berkunjung ke rumah pimpinan dewan.
***
Malam itu, rumah Santika ramai dikunjungi warga. Ada yang berpakaian santai, ada pula yang kenakan pakaian adat. Di antara mereka ada yang membawa map, mungkin isinya proposal bantuan, bisa juga surat lamaran kerja. Ada pula yang bawa amplop coklat tebal, entah apa isinya. Ada juga gerombolan lelaki berbadan kekar. Mungkin juga ada balian sewaan untuk melindungi pimpinan dewan itu dari serangan jahat lawan-lawan politiknya.
Darta kaget melihat perubahan pada suasana rumah sahabat karibnya. Dulu, rumah itu begitu tenang, kini hiruk pikuk. Mungkin penghuni di dalamnya tidak bisa tidur nyenyak karena fungsi rumah sudah bergeser karena sarat kepentingan. Dulu ia terbiasa di rumah itu, bisa langsung masuk kamar tidur maupun dapur. Tak ada aturan seperti hari ini, saat ia datang pertama kali setelah sahabatnya jadi pejabat. “Lain dulu lain pula sekarang. Jangan-jangan Santika tak mengenaliku lagi,” ada kecemasan terbersit di pikiran Darta.
“Dar, kenapa kau tak telepon aku dulu. Kamu tidak musti antre hanya untuk menemuiku. Ini rumahmu. Kau bisa masuk sesuka hati seperti dulu,” Santika datang dan memeluk Darta.
Darta tersenyum. Santika yang sudah punya derajat peringainya masih seperti dulu. Disambut penuh keakraban memunculkan keberanian Darta untuk mengutarakan maksud kedatangannya.
“He, Putu juga ikut. Kau sudah besar sekarang, Nak. Bagaimana sekolahmu? Ayo silakan duduk!” tak lupa Santika menyapa anak karibnya.
Suasana malam itu sungguh akrab. Darta merasa tidak ada jarak lagi dengan Santika yang kini jadi orang penting di kabupaten.
“Kau sudah kuanggap saudara, jangan formal-formallah sama sahabat sendiri. Tanpa kau, aku tak mungkin tiga kali menjadi anggota DPR dan pimpinan dewan. Ini berkat kau dan teman-teman petani,” urai Santika sambil mempersilakan Darta dan putrinya mencicipi kue dan teh jahe.
“Aku dari dulu ingin ke rumahmu, Dar. Aku berutang budi padamu. Sampai hari ini aku belum sempat sampaikan terima kasih atas jasa-jasamu mengantarkan aku jadi anggota dewan. Aku kesulitan mengatur waktu. Kau lihat sendiri, selain kerja di kantor, aku juga kedatangan warga. Tak mungkin aku menolak kehadiran mereka. Atau meniru teman lainnya sembunyi dengan membeli rumah di kota. Aku harap kau mengerti. Aku dan keluarga bisa makan juga berkat kau yang beri jalan ke gedung dewan. Aku dan keluarga tak melupakan jasa-jasamu.”
Bahagia sekali Darta mendengar kalimat yang meluncur dari mulut sahabatnya. Ia inginkan Santika tidak berubah mesti sudah jadi orang penting. Ia semakin yakin menyampaikan keinginan minta pekerjaan kepada sahabatnya.
“Oya, Putu masih sekolah?”
Momentum pertanyaan itu seakan memberi jalan bagi Darta untuk mengutarakan maksud kedatangannya bertamu. Tanpa ragu, lelaki paruh baya itu menjawab putrinya baru tamat SMA dan sudah pegang ijazah.
“Putu akan melanjutkan kuliah?”
“Pak Gede sudah tahu dan dari dulu tahu keadaan kami. Saya tidak ada kemampuan melanjutkan pendidikan anak-anak meski ada keinginan untuk itu,” ungkap Darta. Tiba-tiba mulut Darta terasa kelu untuk melanjutkan kalimatnya. Ia ingin sekali menyampaikan inti kedatangannya, namun detak jantungnya tak beraturan. Malu jika disebut aji mumpung atau pamerih dari pekerjaan mencarikan Santika suara ke warga tani.
“Kalau Putu mau dan kau setuju, jadi pegawai kontrak dulu di kantorku. Siapa tahu nanti ada bukaan PNS,” Santika berikan penawaran.
Darta amat gembira mendengar tawaran itu. Wajahnya sumringah. Keinginannya terkabulkan meski belum tersampaikan.
“Sekarang ini ada moratorium pengangkatan PNS jadi aku belum bisa bantu jadikan anakmu pegawai negeri. Kanggoang malu cari pengalaman. Nanti tinggal atur waktu, kerja sambil kuliah! Putu mau?”
Putu Mirna mengangguk setuju.
Meski anaknya setuju, Darta masih ada ganjalan di hati. Ia masih kumpulkan keberanian untuk menyampaikannya. Mengatur kalimat agar sahabatnya tidak tersinggung.
“Sebagai orang tua saya sangat mengharapkan Putu dapat pekerjaan dan doaku terkabul berkat kebaikanmu. Semoga semuanya berjalan mulus, semoga…..,”
“Aku paham maksudmu, Dar,” potong Santika. “Kamu tak usah memikirkan yang lainnya. Tenang saja, aku dan kamu adalah keluarga. Semuanya pasti berjalan mulus.”
Suasana yang sempat kaku kini mencair kembali. Gelak tawa di antara dua sahabat itu meramaikan suasana. Cerita masa kecil, kenangan saat remaja, hingga suka duka menjadi prajuru subak menghiasi cerita mereka. Hampir satu jam mereka bernostalgia hingga akhirnya ajudan rumah tangga mengingatkan masih ada tamu lainnya yang menanti.
“Dar, kau jangan tersinggung dan tolong pahami kondisiku saat ini. Ajudan tidak mengusirmu dari rumah ini tapi kamu harus maklum ada warga lainnya juga menyampaikan aspirasi. Untuk kamu Putu, kamu datang ke kantor mulai tanggal satu. Pakai pakaian putih hitam,” Santika mengakhiri pertemuan malam itu.
Santika mengantarkan karibnya pulang hingga di depan rumahnya. Sikap pimpinan dewan mengantarkan tamunya pulang membuat tetamu lainnya terkagum-kagum.
***
Awalnya, Putu Mirna mengawali pekerjaan dengan canggung. Namun semua itu telah dilalui berkat arahan dan tuntunan dari senior di kantor itu. Gadis tamatan SMA yang punya tubuh sintal dengan wajah mirip artis ibu kota ini makin terampil bekerja. Sebagai sekretaris pribadi, tugasnya mengatur jadwal acara pimpinannya dan mengatur pertemuan dengan warga yang hampir setiap hari ke kantor dewan menyampaikan aspirasi. Intinya, Santika menyukai pegawai barunya itu.
Tutur kata yang lemah lembut, tata kesopanan terjaga membuat rekan kerja dan warga menyukainya. Pujian untuk Putu Mirna juga kerap disampaikan tetamu yang berkunjung kepada Santika. Pimpinan dewan itu merasa beruntung punya pegawai cakap, terampil, dan disukai banyak orang. Diam-diam ia memuji sahabatnya, Darta dinilai sukses mendidik dan membina anak. Ia tahu Darta, petani yang jago masatua Bali. Ia mewariskan cerita-cerita rakyat dari kakeknya yang suka mendongengkan sebelum ia tidur. Termasuk Santika yang kerap menginap di rumah Darta sewaktu SD, sering dihadiahi dongeng ‘Pan Balang Tamak’ oleh kakek Darta. Dongeng Pan Balang Tamak menjadi kesukaannya dan ia terapkan dalam kehidupan berpolitik. “Jadi orang harus cerdik. Politisi harus belajar banyak dari Pan Balang Tamak,” bisik kata hati Santika.
Sepulang para tetamu dari kantornya, Santika memanggil Putu Mirna ke ruangannya. Ia meminta sekretaris pribadinya ikut ke acara pertemuan politik di Denpasar. Tentu ini aneh bagi Putu Mirna, sebab biasanya yang diajak tugas keluar adalah sekpri lelaki. Kenapa kali ini ia diminta mendampingi ke Denpasar.
“Ada pra musyawarah nasional di Bali. Pimpinan partai harus hadir membahas segala persiapannya. Wayan baru saja permisi, ditelepon istrinya untuk antarkan anaknya ke rumah sakit. Jadi kamu gantikan dia sekarang,” pinta Santika.
Tugas adalah amanah, pesan itu terngiang di telinga. Kata itu pernah diucapkan ayahnya saat menasehati Putu Mirna sebelum berangkat kerja. Meski merasa tidak nyaman, ia tak berani menolak tugas pimpinannya. Ia mengangguk meski hatinya penuh tanya.
Senja menapak hari. Santika dan Putu Mirna turun dari mobil setiba di hotel. Lokasi hotel dekat pantai. Angin segara menyambut kedatangan mereka. Biasanya, Santika bepergian dengan sopir pribadi, kali ini tidak.
“Ayo, kita masuk!” ajak Santika.
Bagi Putu Mirna ini pertama kali masuk hotel. Pikirannya tiba-tiba disergap ketakutan. Anak gadis masuk hotel dengan lelaki beristri, meski pada ranah pekerjaan, tentu melahirkan pergunjingan. Namun selama bekerja dengan Santika, ia belum pernah mendengar pergunjingan pegawai diajak masuk hotel. “Saya ini bekerja, bukan yang lainnya,” Putu Mirna mencoba menepis bayang-bayang buruk yang menari-nari di pikirannya.
Gadis itu terperanjat ketika mengetahui pimpinannya booking kamar. [T]
Catatan:
- Capil Klangsah: Topi terbuat dari anyaman daun kelapa
- Matekap: membajak sawah dengan sapi
- Nandur: Menamam mundur, tanam padi di sawah
- Pekaseh: pimpinan kelompok tani di Bali
- Subak: organisasi tata guna air di Bali
- Balian: dukun
- Kanggoang malu: Maklumi dulu
- Prajuru subak: pengurus organisasi subak
- Masatua: mendongeng
BACAcerpen laindi tatkala.co