PADA tanggal 21 September 2011, sebuah kapal Motor Sri Murah Rezeki tenggelam di perairan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali. Kapal yang mengangkut sekaa angklung Desa Adat Sebunibus ini diduga terbalik setelah dihantam gelombang besar. Insiden ini menyebabkan 11 orang meninggal, 11 selamat dan 14 hilang. Untuk memudahkan ingatan, saya menyebutnya dengan istilah “Tragedi Sebelas” karena terjadi pada tahun 2011, dan dikuatkan oleh komposisi perbandingan korban meninggal dan selamat yakni 11:11.
Tragedi sebelas bermula dari Sekaa Angklung Desa Adat Sebunibus yang hendak menyeberang dari Pulau Nusa Lembongan menuju Pulau Nusa Penida pada malam hari. Sebelumnya (sore hari), Sekaa Angklung Desat Adat Sebunibus ngayah di Desa Jungutbatu. Usai ngayah, sekitar pukul 23.30wita,sekaa hendak menyeberang kembali ke Pulau Nusa Penida dengan kapal motor Sri Murah Rezeki yang disewanya.
Setelah berjalan kurang lebih 2-3 mil dari Pantai Jungutbatu, tiba-tiba kapal yang dinakhodai oleh Made Longgor itu dihantam ombak besar hingga terbalik. Situasi menjadi tak terkendali. Musibah tak dapat dihindari. Lalu, kepiluan membekas di hati dan pikiran masyarakat Nusa Penida hingga kini.
Guru, Seniman, dan Tokoh Masyarakat
Kepiluan atas tragedi sebelas tak cukup diuraikan dengan air mata. Itulah yang mungkin dirasakan terutama oleh warga Desa Adat Sebunibus. Pasalnya, warga Desa Adat Sebunibus tidak hanya terpukul atas kepergian nyawa beberapa warganya, tetapi lebih dari itu. Mereka sangat terpukul karena harus kehilangan seniman penting 4 bersaudara yakni I Made Ngaji, I Gede Muji, I Ketut Ginastra dan I Made Riawan. Pun terpukul karena empat bersaudara ini juga seorang tokoh masyarakat yang disegani masyarakat Sebunibus.
I Made Ngaji | Foto: Dok keluarga
Ngaji bersaudara adalah seniman karawitan yang malang melintang pada era 80-90-an di Nusa Penida. Era ketika berbagai akses kehidupan seperti transportasi, komunikasi, pendidikan dan lain-lainnya masih serba terbatas di pulau itu. Namun, kondisi ini tidak menyurutkan Ngaji bersaudara untuk mengembangkan potensi seninya.
Ngaji bersaudara adalah seniman otodidak dari desa. Bakat alam karawitannya sudah terlihat sejak menginjak usia anak-anak. Dari kecil, mereka sudah biasa memainkan instrumen gamelan (gong) tradisional Bali. Bakat semestanya ini terus bertumbuh dan berkembang seiring waktu –meskipun tidak pernah mengalami sentuhan lembaga manapun. Ngaji bersama sang kakak tidak pernah mengenyam pendidikan formal sekolah seni. Selepas SMP, mereka (berempat) justru melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
Hasilnya, mereka kompak menjadi guru PNS. Kesehariannya, Ngaji bersaudara mengajar di SDN yang ada di Nusa Penida. Dari karakter keguruan inilah yang menggiring mereka pada perjumpaan filosofi long life education. Filosofi ini berimbas pula kepada dunia seni karawitan yang digelutinya.
Bagi mereka, tidak ada kata puas untuk bertumbuh di dunia seni karawitan. Mereka terus menempa dirinya dengan palu ketekunan dan konsistensi. Mereka berguru pada kaset pita tape recorder, berguru pada televisi, berguru dengan seniman karawitan lainnya dan sesekali diimbangi dengan menonton langsung pagelaran karawitan hingga ke Bali daratan.
Namun demikian, bukan berarti mereka lalai dengan rutinitasnya. Menjadi guru adalah tugas kesehariannya. Menjadi pelaku seni karawitan juga tak pernah mereka abaikan. Kedua peran ini dijalaninya mengalir sesuai proporsinya.
Karena itu, kemampuannya dalam seni karawitan tidak bisa dipandang sebelah mata. Sepak terjang seninya sudah teruji di Pulau Nusa Penida hingga ke Bali daratan. Puncaknya, Ngaji bersaudara berhasil mengantarkan sekaa Angklung Desa Adat Sebunibus dalam Festival Angklung Kebyar (Kreasi) pada Pesta Kesenian Bali (PKB) 2009, mewakili Kabupaten Klungkung. Penunjukkan sekaa Angklung Sebunibus sebagai duta Kabupaten Klungkung disebabkan oleh sekaa ini berhasil keluar sebagai juara 1 dalam festival angklung di Kabupaten Klungkung tahun 2008.
Sebelumnya, tahun 1984, Ngaji bersaudara bersama sekaa gongnya juga pernah sukses menjadi yang terbaik, juara 1, pada Lomba Gong Kebyar se-Kabupaten Klungkung. Jejak prestasi inilah yang mengantarkan Ngaji bersaudara 6 kali masuk dalam tim inti gong kebyar mewakili camat dan kabupaten pada ajang PKB.
I Gede Muji | Foto: Dok keluarga
Menurut file atau catatan Pande Bagus Gde Sesana—putra Ketut Ginastra—Ngaji pernah mewakili gong kebyar Klungkung pada tahun 2001, 2003, 2004, 2005, 2006 dan 2008. Sementara, sang kakak, Gede Muji, pernah mewakili duta Klungkung sebanyak 5 kali, Made Riawan sekali dan Ketut Ginastra sekali mewakili Kecamatan Nusa Penida.
Dulu, era 90-an ke bawah, PKB merupakan panggung impian bagi setiap seniman tradisional Bali, termasuk seniman dari Nusa Penida. Bagi masyarakat Nusa Penida (termasuk warga Sebunibus), PKB bukan sekadar panggung prestise dan kebanggaan, tetapi panggung untuk mendapatkan semacam legitimasi sebagai seorang seniman. Mereka yang pernah berpartisipasi dalam panggung PKB akan mendapatkan pengakuan sosial dari masyarakat setempat.
Itulah yang dialami oleh Ngaji pada khususnya. Jam terbang festivalnya membuat Ngaji mendapatkan banyak tawaran melatih sekaa gong di Nusa Penida. Ngaji dikenal sebagai pelatih gong atau karawitan ternama di Nusa Penida. Ia pernah menangani atau melatih beberapa sekaa gong lintas banjar maupun lintas desa adat di Nusa Penida.
Selain piawai bermain gong dan angklung, Ngaji bersaudara, khususnya Gede Muji dan Made Riawan, juga piawai memainkan instrumen gender. Dua kakaknya sering mendapatkan undangan kupah ngender saat musim pitra yadnya. Sang kakak sering berduet ngender di atas bade yang sedang diarak. Pun mengiringi dalang dalam pegelaran wayang.
Keluarga Ngaji Bersaudara
Lalu, siapa sesungguhnya Ngaji bersaudara? Ngaji bersaudara berasal dari keluarga seni. Ayahnya, Jero Mangku Rame adalah seorang undagi, seniman, jro mangku (sekaligus jero balian) dan tokoh adat ternama di Nusa Penida.
Sebagai undagi, karya-karya ayahnya tidak hanya tersebar di Pulau Nusa Penida, termasuk ke daerah transmigran seperti Sumatera. Karya-karya beliau antara lain berupa rumah, sanggah, bade, petulangan dan lain sebagainya.
Selain undagi, sang ayah juga seorang seniman karawitan (pelatih) yang disegani pada zamannya di Nusa Penida. Kiprahnya dalam dunia karawitan masih terbatas di lingkungan Pulau Nusa Penida. Sementara, pada ibunya mengalir basis darah seni tari.
I Made Riawan | Foto: Dok keluarga
Mangku Rame juga seorang Jero Mangku besar. Di bawah tahun 2000-an, sebelum tren menggunakan sulinggih besar model sekarang, Mangku Rame biasa muput upacara besar seperti upacara ngaben (pitra yadnya). Kala itu, masyarakat Nusa Penida memang mentoleransi sumber daya manusia (SDM) yang ada. Mereka memanfaatkan jasa kepemangkuan dalam menuntaskan upacara, karena kala itu belum ada perguruan melinggih seperti sri mpu, rsi, apalagi pedanda—tidak ada griya di Nusa Penida.
Semasa hidupnya, Mangku Rame adalah penglinsir atau mangku utama di Pura Dalem Ped hingga memasuki usia pensiun. Ia mengabdi kurang lebih 35 tahun. Ia juga berperan besar dalam merintis pembangunan Pura Taman Ped. Ia termasuk jero mangku yang sangat disegani tidak hanya di Bali, termasuk di beberapa daerah lainnya di nusantara.
Skill hidup Jro Mangku Rame tergolong komplit. Ia juga dikenal sebagai tokoh adat dan seorang leader. Setidaknya, ia pernah menjabat sebagai Kelih Seket (Klian Dinas) sekitar tahun 1950-an.
Talenta komplit sang ayah rupanya menurun pada Ngaji bersaudara. Bakat yang paling menonjol diwariskan oleh Ngaji bersaudara adalah seni dan ketokohan sang ayah. Ngaji bersaudara tidak hanya dikenal sebagai seniman karawitan di Nusa Penida—tetapi juga dikenal sebagai tokoh adat (masyarakat) di Desa Adat Sebunibus.
Peran ketokohan Ngaji bersaudara yang paling dikenang oleh warga Desa Adat Sebunibus ialah saat mereka menjadi tim pionir yang memperjuangkan dan mendirikan Desa Adat Sebunibus. Sebelumnya, Sebunibus merupakan komunitas banjar yang berada di bawah Desa Adat Sakti. Lewat kekompakkan tangan dingin Ngaji bersaudara bersama tokoh adat Desa Adat Sebunibus yang lainnya, inisiasi pembangunan Pura Puseh dan Pura Desa di Desa Adat Sebunibus dikebut. Syarat administratif digenjot. Jurus-jurus lobi dan negosiasi digencarkan—sampai akhirnya pada tahun 2005, yakni selama rentang 2 tahun, Banjar Sebunibus resmi berubah status menjadi desa adat.
Aksi Ngaji Bersaudara dalam Festival Angklung Kebyar (Kreasi) PKB 2009 bersama Sekaa Desa Adat Sebunibus | Foto: Dok. Taksu Nusa
Kekompakan memang menjadi ciri khas Ngaji bersaudara dalam bekerja. Mungkin, kekompokkan ini terpelihara dari kesamaan interes dan minat mereka dalam menekuni seni karawitan. Mereka biasa tampil bersama baik dalam momen kupah, ngayah dan keikutsertaan dalam kegiatan festival karawitan.
Bagi Ngaji bersaudara, menekuni seni karawitan memberikan efek ganda. Pertama, mereka dapat menemukan jati diri sebagai seniman. Seni karawitan-lah yang telah membukakan kesadaran bahwa mereka memiliki potensi optimal di ranah tersebut—yang menjadikannya bertumbuh, kompetitif dan eksis.
Kedua, mereka juga mendapatkan popularitas. Popularitas ini didapatnya dari konsistensi yang panjang. Konsistensi yang membentangkan kualitas dirinya sehingga menjadi perbincangan masyarakat luas.
Ketiga, mereka dapat membangun fondasi kerekatan persaudaraan. Kerekatan ini tidak hanya terlihat saat pentas (manggung) termasuk di luar panggung. Dalam keseharian, Ngaji bersaudara memang dikenal akur dan kompak.
Kekompakkan ini pula yang menjadikan mereka terkena musibah bersama dalam tragedi sebelas. Ngaji bersaudara yang tergabung dalam satu banjar (satu sekaa) mengalami nasib yang sama. Keempatnya harus kehilangan nyawa. Gede Muji ditemukan meninggal bersama sekaa lainnya. Sementara, jasad Ngaji bersama dua kakak lainnya menghilang entah kemana. Mungkin tersesat di rimba alunan gong, angklung dan gender yang ditabuh warga Desa Adat Sebunibus hari ini dan mendatang. [T]
BACA ARTIKEL BERIKUTNYA:
BACA artikel-artikel menarik tentang Nusa Penida dari penulis KETUT SERAWAN