BEBERAPA waktu lalu saya dibuat geleng-geleng dengan peristiwa live mandi lumpur yang sempat viral di media sosial. Siaran langsung itu dilakukan demi untuk memperoleh sejumlah uang saweran dari pengikut media sosial pemilik akun tersebut.
Yang membuat live mandi lumpur ini semakin miris adalah ketika si pemilik akun mulai menampilkan seorang wanita lanjut usia sebagai pemeran live mandi lumpur tersebut. Hal itu membuat peristiwa live mandi lumpur ini semakin terasa penyimpangannya.
Pemilik akun tersebut seakan mengemis secara online dengan cara rela melakukan tindakan ekstrem hingga mengeksploitasi seorang lansia untuk melakukan hal tersebut demi meraih lebih banyak gift—semacam hadiah—dari penonton.
Dan saya sedikit mendapat semacam “pencerahan” mengenai perilaku, sebut saja, “menyimpang” tersebut melalui sebuah film pendek berjudul “2 Kumbang (Bugs)”. Film ini disutradarai oleh Gwai Lou, diproduksi tahun 2022, dan ditayangkan pada acara Minikino Film Week 10 bekerjasama dengan Singaraja Menonton di kedai kopi Dekakiang, Singaraja, pada tanggal 15 September 2024.
Film 2 Kumbang (Bugs) mengangkat kisah serupa seperti fenomena yang saya singgung pada pembukaan tulisan. Film ini mengangkat kisah 2 anak laki-laki yang sedang senang-senangnya melakukan siaran langsung di media sosial. Meskipun bagian awal dari film ini tidak saya nikmati secara visual karena saya datang terlambat, saya masih cukup mengerti inti cerita dari film ini berkat teman saya, Hasby.
Hasby menceritakan bagian awal film yang saya lewatkan. Katanya, di awal film kedua anak itu tengah menyiksa kumbang dengan meledakan tubuh binatang malang itu menggunakan petasan dan merekam aksi tersebut secara live di media sosial menggunakan ponsel dari orang tua salah satu anak itu.
Seperti paham ilmu manajemen, anjay, yang satu bertugas merekam penyiksaan tersebut dan anak satunya lagi menjadi pemeran dalam siaran live itu. Menurut saya, aksi menyiksa kumbang yang dilakukan kedua anak dalam film itu merupakan suatu hal biasa. Bukan bermaksud membenarkan tindakan tersebut, tetapi anak-anak pada umumnya memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang berbagai hal, apa saja bisa jadi bahan mainan dan eksperimen bagi seorang anak.
Saat saya masih kanak-kanak, setiap akhir pekan ayah saya kerap mengajak saya bermain di pantai. Di sana saya gemar mencari ikan-ikan kecil yang terperangkap di karang-karang ketika laut sedang surut. Suatu ketika, saat saya mendapatkan ikan dari pantai, meski sudah tahu jawabannya, karena penasaran, ikan laut malang itu saya tempatkan di wadah yang berisi air tawar.
Suasana pemutaran film “2 Kumbang (Bugs)” | Foto: Singaraja Menonton/Rio
Tentu ikan laut itu mati karena dipaksa hidup di air tawar. Namun, saat itu saya memiliki rasa ingin tahu yang cukup mengganggu. Saya ingin tahu apa yang dialami ikan laut ketika ditempatkan di air tawar sebelum akhirnya ikan laut itu mati.
Saya jelaskan, anjay. Dikutip dari kompas.com, alasan anak menyiksa binatang antara lain adalah penasaran atau ingin melakukan eksplorasi, ikut-ikutan teman atau meniru orang dewasa di sekitarnya, pelepasan dari rasa bosan, dan masih banyak lagi.
Beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan anak-anak terhadap hewan memang bisa menjadi salah satu tanda penyimpangan di masa depan atau tanda kekerasan yang pernah dialami si anak. Namun, seperti yang saya alami, alasan saya menyiksa hewan adalah sekadar penasaran dan setelah puas dengan rasa penasaran saya, saya tidak merasa untuk ingin kembali melakukan hal itu.
Penyiksaan terhadap kumbang yang dilakukan kedua anak pada film “2 Kumbang (Bugs)” itu bagi saya mungkin sama seperti saat saya memasukan ikan laut ke dalam air tawar. Namun, bedanya adalah, mereka merekamnya secara live di media sosial sedangkan saya tidak.
Sehingga ada kemungkinan mereka mendapat penonton dengan kelainan psikologi yang gemar melihat binatang tersiksa dan mengapresiasi tayangan live itu—sehingga membuat kedua anak itu termotivasi untuk membuat tayangan live dengan tema penyiksaan terus-menerus.
Setelah membuat tayangan live menyiksa kumbang, kedua anak itu membuat tayangan live lagi yang memperlihatkan si anak pemeran itu melakukan atraksi dengan mengayun-ayunkan sebilah parang seperti seorang pendekar. Di tengah live itu, si pemeran tidak sengaja melukai tangannya sendiri. Tak diduga ternyata ada salah seorang penonton yang menyukai hal tersebut dan meminta anak si pemeran itu melukai dirinya tapi kali ini secara sengaja.
Penonton itu mengiming-imingi kedua anak itu dengan gift berupa sejumlah uang yang cukup besar. Tanpa pikir panjang si anak pemeran live itu mengambil parangnya dan menyayat tangannya dengan sengaja. Dari adegan ini saya semakin yakin bahwa media sosial bukan untuk anak di bawah umur.
Melalui media sosial anak-anak berpotensi bertemu dengan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jangnkan anak di bawah umur, orang yang cukup umur saja banyak yang menyalahgunakan dan sial dalam bersosial media.
Jika dikaitkan dengan viralnya aksi live lansia yang mandi lumpur beberapa waktu lalu, menurut saya keduanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama melakukan hal bodoh demi mendapatkan penonton dan uang dengan mudah.[T]